Membaca Fenomena Perdagangan Manusia Dari Kacamata Kekuatan Hukum

TIMESINDONESIA, MALANG – Perdagangan manusia (human trafficking) telah menjadi masalah global dan terhitung dalam lima masalah utama yang dikategorikan sebagai kejahatan internasional terbesar di dunia saat ini. Demikian besarnya, sehingga masalah ini tidak pernah luput dari perhatian banyak kalangan. Berbagai upaya telah dilakukan baik pada skala internasional, nasional, regional maupun lokal untuk mencegah dan menanggulanginya. Namun, hingga kini masalah ini tetap bertahan dan malah cenderung meningkat dari waktu ke waktu dan kian kompleks.
Indonesia sendiri tidak luput dari masalah perdagangan manusia dan bahkan dikenal sebagai negara dengan tingkat kasus perdagangan manusia yang tinggi. Anak-anak dan perempuan menjadi korban perdagangan manusia paling banyak. Selain itu, kebanyakan korban perdagangan manusia di Indonesia berasal dari kantong-kantong kemiskinan yang terdapat di beberapa propinsi.
Advertisement
Bentuk-bentuk perdagangan manusia antara lain: menjadikan korban sebagai pekerja migran baik internal maupun internasional dengan upah murah dan tanpa perlindungan hukum, pekerja anak, perdagangan anak melalui adopsi, perkawinan, dan implantasi organ tubuh. Dan salah satu aspek pengaruhnya juga bisa datang dari banyak hal, diantaranya adalah para pekerja imigran dan pekerja anak.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Pekerja migran merupakan orang yang bermigrasi dari wilayah asalnya ke daerah lain dan kemudian bekerja di daerah baru tersebut dalam jangka waktu tertentu. Kebanyakan pekerja migran dari negara-negara sedang berkembang semisal Indonesia berasal dari kelompok masyarakat menengah ke bawah yang umumnya miskin dan menganggur. Mereka keluar dari daerah atau negara asal untuk mencari pekerjaan yang bisa meningkatkan pendapatan bagi kehidupan keluarga dan pribadinya. Pengiriman tenaga kerja ke wilayah atau negeri lain sangat rentan dengan perdagangan manusia.
Fenomena pekerja anak terdapat di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Fenomena ini sebenarnya merupakan suatu bentuk eksploitasi terhadap anak. Hal ini bukan hanya melanggar hak-hak anak, tetapi juga membawa dampak buruk bagi anak-anak baik secara fisik maupun psikis. Lebih jauh, bekerja dikhawatirkan akan mengganggu masa depan anak untuk mendapat kehidupan yang lebih baik. Banyak kasus perdagangan manusia terjadi dalam bentuk pekerja anak. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya permintaan terhadap pekerja anak. Anak-anak dipilih untuk mengerjakan suatu pekerjaan karena dilihat sebagai pribadi yang lemah, mudah diatur dan dibayar dengan gaji yang kecil.
Ditambah lagi dengan maraknya industri seks di perkotaan dan tempat-tempat lain meningkatkan pemasokan perempuan-perempuan muda termasuk anak perempuan yang masih di bawah umur ke rumah-rumah pelacuran. Kasus yang terjadi pada anak-anak (di bawah usia 18 tahun) tidak memperhitungkan cara yang dipakai oleh trafficker untuk merekrut korban.
Dengan berbagai aspek diatas maka perlu diketahui juga ada peraturan khusus dalam undang-undang di Indonesia yang mengatur mengenai aspek tersebut. Aspek ini tertuang dalam UndangUndang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Akan tetapi bagaimana peran UU tersebut pada proses pencegahan praktik perdagangan manusia? Dan apa evaluasi yang perlu dipertimbangkan lebih lanjut mengenai kualitas hokum tersebut? Berikut adalah ulasannya.
Melihat beberapa kasus yang terjadi tentu setiap aparat hokum yang bertindak untuk menyelesaikan masalah memiliki beberapa strategi khusus. Misalnya ada pada contoh penegakkan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang di Polda NTB dilaksanakan dua tahapan yaitu penyelidikan dan penyidikan.
Pertama tahap penyelidikan dimulai dari, menerima Surat Pemberitahuan Pemulangan WNI/PMI yang diduga korban TPPO, membuat laporan informasi, membuat surat perintah penyelidikan kemudian mengumpulkan bahan keterangan/ wawancara terhadap saksi, membuat laporan hasil penyelidikan (LHP), melakukan gelar perkara, membuat laporan polisi, membuat surat perlindungan terhadap saksi ditujukan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, dan menerima surat pelimpahan perkara dari Mabes Polri.
Kedua masuk ke tahap penyidikan yang dimulai dari, membuat surat perintah penyidikan, membuat surat perintah tugas, membuat surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, membuat surat panggilan terhadap korban, saksi, dan ahli, melaksanakan gelar perkara penetapan tersangka, membuat surat panggilan terhadap saksi terlapor menjadi tersangka, melakukan pemeriksaan saksi kemudian dilanjutkan pemeriksaan sebagai tersangka, membuat surat ketetapan tersangka, mengirim berkas perkara ke kejaksaan.
Tahapan tersebut memberikan asumsi dasar bahwa kualitas penegakan hokum mengenai kasus perdagangan orang telah sesuai prosedur. Akan tetapi apa yang menjadi alasan utama jumlah kasus tersebut masih terus bertambah.
Salah satu asumsi dasar mengapa kasus perdagangan manusia masih tetap terjadi tentu berhubungan dengan kekuatan serta penegakan hokum.
Berbicara mengenai proses penegakan hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum dalam mengatur dan memaksa masyarakat untuk taat kepada hukum. Penegakan hukum tidak terjadi dalam masyarkat karena ketidakserasian antara lain nilai, kaidah, dan pola perilaku. Oleh karena itu, permasalahan dalam penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum itu sendiri, hal inilah yang membuat masalah masih subur berkembang.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*)Penulis: Muhammad Nafis S.H,. M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |