Kopi TIMES

Mencegah Anomali Praktik Keadilan Restoratif

Senin, 19 Juni 2023 - 13:07 | 110.92k
Ribut Baidi, Advokat/Pengacara dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Madura (UIM); Pengurus DPD Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI).
Ribut Baidi, Advokat/Pengacara dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Madura (UIM); Pengurus DPD Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI).

TIMESINDONESIA, MADURA – Akhir-akhir ini, praktik penyelesaian perkara pidana melalui mediasi pelaku kejahatan dengan korban kejahatan di tingkat Kepolisian dan Kejaksaan menjadi trend yang banyak menghiasi pemberitaan media yang dikenal dengan istilah keadilan restoratif (restorative justice), dimana tujuannya untuk menghentikan perkara karena telah tercapainya kesepakatan damai korban-pelaku dengan beberapa syarat yang harus diikuti oleh pelaku sebagaimana ketentuan yang dituangkan di dalam peraturan internal masing-masing instansi aparat penegak hukum.

Secara filosofis dalam perspektif keadilan restoratif kejahatan tidak lagi dikatakan sebagai suatu serangan yang menciderai negara, tetapi hanya terbatas pada tindakan seseorang yang merugikan atau berdampak terhadap korban akibat tindak pidana. Tentu, hal ini didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan, baik dari sisi korban maupun pelaku kejahatan, sehingga menyebabkan keadilan restoratif mempunyai tujuan untuk mengobati luka atau kerugian yang diderita korban akibat dari tindak pidana.

Advertisement

Peran Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan untuk mengurangi pemenjaraan bagi pelaku tindak pidana melalui keadilan restoratif merupakan terobosan positif dalam dunia penegakan hukum pidana. Dalam artian, penegakan hukum pidana tidak lagi sepenuhnya menjadikan pemenjaraan sebagai instrumen penyelesaian perkara, melainkan ditempuh upaya mediasi korban-pelaku kejahatan sepanjang mediasi tersebut tidak melanggar hak asasi manusia (HAM) korban dan pelaku, serta tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Keadilan Restoratif dalam Perspektif 

Topo Santoso (2010) menyatakan keadilan restoratif adalah konsep pemikiran yang merespon perkembangan sistem peradilan pidana dengan titik tekan kepada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana konvensional yang ada pada saat ini. Konsep keadilan restoratif memiliki perbedaan mendasar dengan konsep keadilan retributif yang menjiwai sistem peradilan pidana di kebanyakan negara. Keadilan retributif menekankan pemidanaan sebagai akibat nyata (mutlak) yang harus ada sebagai bentuk pembalasan terhadap pelaku tindak pidana dan memiliki fokus perhatian kepada pelaku melalui pemberian derita dan masyarakat melalui pemberian perlindungan dari kejahatan. Sedangkan, keadilan restoratif lebih menitikberatkan terhadap pemulihan dan memfokuskan kepada korban, pelaku, dan masyarakat terkait. Keadilan restoratif merupakan model pendekatan pemecahan masalah yang dalam berbagai bentuknya melibatkan korban, pelaku jejaring sosial mereka, lembaga peradilan, dan masyarakat. Program keadilan restoratif didasarkan pada prinsip dasar bahwa tindak pidana pelaku kriminal tidak hanya melanggar hukum, namun juga melukai korban dan masyarakat. Oleh sebab itu, setiap langkah untuk mengatasi konsekuensi dari pelaku kriminal harus (jika memungkinkan) melibatkan pelaku serta pihak-pihak yang dirugikan, sambil juga memberikan bantuan dan dukungan yang dibutuhkan oleh korban dan pelaku.

Angkasa (2020) menyatakan keadilan restoratif adalah alternatif penyelesaian masalah atas terjadinya viktimisasi/tindak pidana dengan tidak menggunakan sistem peradilan pidana (criminal justice system), yang berorientasi pada pemenuhan kepentingan korban yang diwujudkan dalam bentuk penggantian kerusakan yang dialami oleh korban akibat viktimisasi. Disisi lain, melalui keadilan restoratif akan tercipta dorongan yang kuat bagi pelaku agar memahami kesalahannya yang berimplikasi pada tanggung jawab berupa pemulihan korban, serta terciptanya kehidupan yang aman dan damai dalam masyarakat.

Pasal 1 angka 3 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif menyebutkan: “Keadilan restoratif adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula”. 

Selanjutnya, Pasal  1 angka 1 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif menyebutkan: “Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, Korban, keluarga pelaku/Korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan”.

Kemudian, Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung RI Nomor: 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum menyebutkan: “Keadilan restoratif merupakan salah satu prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan dan merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana melalui pendekatan dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak-pihak lain yang terkait dalam rangka bersama-sama membuat kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada situasi semula, dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat”. Meskipun, penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif (restorative justice) di lingkungan Mahkamah Agung RI saat ini telah ditangguhkan, tapi spirit penegakan hukum progresif dan humanis dengan tidak sepenuhnya menjadikan sarana pemenjaraan sebagai solusi terakhir harus terus muncul dan diwujudkan melalui kebijaksanaan, kinerja, dan integritas para hakim.

Mengawasi Praktik Keadilan Restoratif

Meskipun, penerapan keadilan restoratif merupakan solusi mengurangi sanksi pemenjaraan bagi pelaku kejahatan, tetapi dalam praktiknya harus dipantau dan diawasi secara bersama-sama. Baik, dari pengawas internal instansi aparat penegak hukum, Komisioner Kepolisian Nasional (Kompolnas), korban, keluarga korban, keluarga pelaku kejahatan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), pendamping hukum korban, pendamping hukum pelaku kejahatan (tersangka/terdakwa) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media/pers, serta publik secara umum agar praktik keadilan restoratif tidak terjadi anomali (penyelewengan) yang mengarah dan berpotensi melawan hukum. 

Tujuan pengawasan tersebut adalah mencegah agar praktik keadilan restoratif tidak dirusak oknum-oknum aparat penegak hukum dengan praktik transaksional perkara melalui intervensi atau tekanan kepada korban maupun pelaku kejahatan. Hal tersebut, berpotensi terjadi di tengah ekslusifitas proses pemeriksaan perkara yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap pelaku kejahatan, korban kejahatan, dan saksi-saksi yang dihadirkan. Jika, hal itu terjadi, maka yang menjadi korban oknum-oknum aparat penegak hukum adalah pelaku kejahatan dan juga korban kejahatan itu sendiri, sehingga keadilan restoratif yang diharapkan menjadi alternatif terbaik, justru menjadi anomali yang menambah daftar panjang problematika penegakan hukum pidana di republik ini.

Kesadaran dan kesepahaman bersama untuk memonitor dan mengawasi secara bersama-sama terhadap praktik keadilan restoratif, disamping untuk membantu Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan dalam penegakan hukum yang “spirit”-nya untuk mengakomodir norma dan nilai yang hidup dalam masyarakat (living law), juga dalam rangka memberikan kepastian hukum, manfaat penegakan hukum, dan rasa keadilan bagi masyarakat, terutama untuk korban dan keluarga korban. Jika, hal tersebut bisa dilakukan secara integratif, maka kekhawatiran terhadap terjadinya anomali hukum dalam praktik penerapan keadilan restoratif (restorative justice) bisa diantisipasi. 

***

*) Oleh: Ribut Baidi, Advokat/Pengacara dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Madura (UIM); Pengurus DPD Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rochmat Shobirin

Konten promosi pada widget ini bukan konten yang diproduksi oleh redaksi TIMES Indonesia. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES