Kopi TIMES

Perubahan Kurikulum Minus Perubahan Paradigma?

Selasa, 20 Juni 2023 - 12:06 | 110.94k
Arie Hendrawan, Kepala SMA Islam Al Azhar 14, KS PSP Kemendikburistek Angkatan 3.
Arie Hendrawan, Kepala SMA Islam Al Azhar 14, KS PSP Kemendikburistek Angkatan 3.

TIMESINDONESIA, SEMARANG – Sudah hampir satu tahun kurikulum merdeka menjadi salah satu opsi yang bisa dipilih secara sukarela oleh satuan pendidikan. Rencananya, kurikulum merdeka akan menjadi kurikulum nasional dan berlaku unifikatif pada tahun 2024. Permasalahannya, apakah kurikulum merdeka sejauh ini telah berjalan secara “substansial”, atau baru sebatas “prosedural”?
    
Kurikulum bersifat kompleks dan multidimensional. Kurikulum adalah jantungnya pendidikan, tetapi belum ada pengertian kurikulum yang mengikat secara universal. Ralph Tyler dalam bukunya The Basic Principle of Curriculum (1950) menjelaskan, paling tidak ada empat buah komponen dalam kurikulum, yakni: tujuan, konten, metode, dan evaluasi.

Bagi guru, kurikulum berfungsi untuk memandu proses pembelajaran. Meskipun demikian, pada dasarnya kurikulum adalah perangkat (tools). Bagaimana perangkat tersebut dioperasikan, sangat tergantung dari penggunanya (the man). Perubahan kurikulum yang tak diikuti oleh perubahan paradigma penggunanya hanya akan berakhir secara prosedural.

Advertisement

Sebenarnya, perubahan kurikulum bukan “dosa” jika dilakukan. Zaman terus berubah, demikian juga dengan peradaban umat manusia yang selalu berkembang. Karakteristik dan kebutuhan murid di suatu era, pasti berbeda dengan di era lain, sebab dipengaruhi oleh kondisi saat mereka tumbuh. Maka, ada “pembabagan generasi” (boomers, x, y, z, alpha) dengan keunikannya masing-masing.

Kurikulum merdeka, atau sebelumnya dikenal dengan nama kurikulum prototipe dan kurikulum paradigma baru, sejatinya bertujuan menciptakan pembelajaran paradigma baru yang berdiferensiasi, menyenangkan, serta berpusat pada anak. Tujuan tersebut sangat baik, tetapi bukankah semua kurikulum juga memiliki tujuan yang baik? Apa yang membedakannya?

Miskonsepsi

Kurikulum sangat erat kaitannya dengan konten dan metode. Ada sebuah ungkapan cukup populer, “metode lebih penting daripada materi, tetapi jiwa gurulah yang lebih penting dari keduanya”. Jadi, penerapan kurikulum baru perlu senantiasa didukung dengan kebaruan jiwa dan paradigma guru. Jika tidak, maka perubahan kurikulum hanya akan berdampak secara administratif.

Pada tataran praksis misalnya, masih banyak guru yang kesulitan kembangkan proses pembelajaran berkualitas, meskipun telah “mengimplementasikan” kurikulum merdeka secara mandiri. Para guru terus terjebak pada proses pembelajaran yang terpaku pada buku teks. Selain itu, materi pembelajaran juga sering kehilangan relevansi dari dunia nyata, sehingga sukar dipahami.

Selanjutnya, salah satu program unggulan dalam kurikulum merdeka adalah Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Fokus P5 terletak pada proses pengembangan karakter dan kompetensi murid terhadap isu-isu penting di lingkungan sekitarnya. Namun praktiknya, P5 sering mengalami miskonsepsi, seperti terlalu fokus pada festivalisasi produk, alih-alih pada proses dan kinerja.

Sementara itu, di sisi lain, kurikulum merdeka diklaim mampu memerdekakan guru dari belenggu administrasi. Tetapi kenyataan di lapangan, masih kerap dijumpai guru yang energinya habis oleh kepatuhan administrasi dan kelengkapan dokumen, bukan perubahan dalam diri murid. Misalnya, dikarenakan tuntutan pengembangan modul ajar yang dianggap lebih kompleks dari RPP.

Terlepas dari berbagai persoalan di atas, bukan berarti kurikulum merdeka itu tidak baik. Kurikulum merdeka sebenarnya ideal pada tataran konseptual. Namun demikian, kurikulum perlu dimaknai sebagai “alat” untuk mencapai tujuan pembelajaran, bukan sebagai “tujuan utama”. Jika perubahan kurikulum dipandang sebagai tujuan, maka guru hanya akan disibukkan urusan administratif.

Growth Mindset

Lantas, bagaimana cara terbaik untuk menyikapi perubahan kurikulum merdeka? Kurikulum merdeka harus dilihat dengan kacamata “growth mindest”. Mindest sangat mempengaruhi tindakan yang dilakukan oleh seseorang. Profesor Psikologi Stanford University bernama Carol S. Dweck mengkategorikan dua tipe pola pikir, yaitu fixed mindset dan growth mindset.

Fixed mindset adalah pola pikir yang cenderung menghindari tantangan dan berfokus pada sesuatu yang sudah diketahui saja. Sementara itu, growth mindset percaya, bahwa kecerdasan dapat dikembangkan. Jika seseorang memiliki keinginan memperbaiki diri, tantangan apapun pasti bisa dilalui. Jadi, faktor pencapaian potensi tidak mutlak dari kemampuan, tetapi cara pandang dan kepercayaan.

Hal tersebut menjadi alasan, mengapa perubahan kurikulum jangan sampai “minus” perubahan paradigma. Dengan paradigma baru, guru tidak lagi terpancang pada buku teks, sebab dapat mencari dan menemukan sumber-sumber belajar baru. Bahkan dari lingkungan sekitar anak, agar ruang kelas tidak terputus dengan realita di kehidupan sehari-hari. 

Berikutnya, dengan perubahan paradigma, guru tidak lagi “menyalahpahami” bahwa modul ajar harus lebih lengkap dari RPP. Tetapi, sebenarnya bisa dimodifikasi secara fleksibel, selama itu memuat komponen inti (tujuan, kegiatan, dan asesmen) dengan kriteria yang esensial, menarik, bermakna, menantang, kontekstual, relevan, serta berkesinambungan.

Terakhir, kegiatan P5 tidak ditafsirkan secara sempit hanya fokus pada produk dan gelar karya semata, melainkan lebih menitikberatkan pada performa maupun kinerja murid selama proses pelaksanaan P5. Dengan demikian, setiap anak akan mengalami pengetahuan sebagai proses penguatan karakter, sekaligus berkesempatan untuk belajar dari lingkungan di sekitarnya. (*)

 

*) Oleh: Arie Hendrawan, Kepala SMA Islam Al Azhar 14, KS PSP Kemendikburistek Angkatan 3.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

Konten promosi pada widget ini bukan konten yang diproduksi oleh redaksi TIMES Indonesia. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES