Politik dan Prahara Prasangka: Sudut Pandang Psikologi Sosial

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Setiap momentum politik tidak pernah lepas dari huru-hara masyarakat dalam memeriahkan pesta demokrasi yang dihelat setiap 5 tahun. Partisipasi masyarakat dalam demokrasi adalah amanat undang-undang dengan memberikan hak pada setiap warga negara hak pilih. Tak mau kalah, Baliho-baliho dan laman media massa penuh dengan kampanye partai dan calon yang akan maju, perekrutan timses dan pembentukan arus poros dalam politik praktis Indonesia tidak bisa dihindarkan.
Satu hal yang luput dari potret fenomena demokrasi, pertengkaran dan saling menuduh tidak ada habisnya yang menyisakan ingatan buruk tentang ketidakdewasaan berdemokrasi, politisi tidak pernah peduli efek agitative dan propaganda yang telah dilancarkan pada masyarakat. Intinya adalah kemenangan dengan perolehan suara paling banyak diantara calon atau partai lain, pasca pemilu semua mulai reda dan dianggap kembali normal. Namun tidak benar-benar seperti sebelumnya, sebab setelah dinamika pasti akan melahirkan perubahan khusunya dalam sebuah kelompok masyarakat.
Advertisement
Litbang Kompas merilis hasil survei dengan tajuk ‘toleransi’, data diambil pada tanggal 8-10 November 2022, jumlah 512 responden yang mencakup 34 provinsi di Indonesia, dengan tingkat kepercayaan 95%, yang menghasilkan data yang mengarah keatas tingkat kekhawatiran mencapai lebih dari setengahnya, yakni 77,8%. Hal tersebut mengindikasikan adanya kekhawatiran dalam sebagian masyarakat mengenai momentum politik yang nantinya akan mengganggu kondisi masyarakat.
Sebab sejak mula politik praktis yang meniscayakan kompetisi untuk meraup suara sebanyak-banyaknya dengan mempengaruhi masyarakat yang karenanya banyak intrik yang dimainkan termasuk membangun identitas kompetisi calon yang diunggulkan. Sehingga meniscayakan pada pengelompokan sesuai calon yang dipilih dan memainkan stereotype yang akan dibangun dalam setiap persepsi masyarakat. Dimana sebuah stereotype sendiri merupakan awal mula dari munculnya prejudice (prasangka) dalam suatu kelompok, terlebih-lebih saat momentum kompetisi politik.
Prahara Prasangka
Menurut David O. Sears (1991), prasangka sosial merupakan penilaian yang didasarkan pada keanggotaan kelompok terhadap individu atau keolmpok dengan melakukan generalisir dari pengetahuan dan stereotype sementara. Prasangka atau prejudice merupakan perilaku negatif yang mengarahkan kelompok pada individualis berdasarkan pada keterbatasan atau kesalahan informasi tentang kelompok. Prasangka juga dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat emosional, yang akan mudah sekali menjadi motivator munculnya ledakan sosial.
Ciri-ciri prasangka sosial menurut Brigham (1991) dapat dilihat dari kecenderungan individu untuk membuat kategori sosial (social categorization). Kategori sosial adalah kecenderungan untuk membagi dunia sosial menjadi dua kelompok, yaitu “kelompok kita” (in group) dan “kelompok mereka” (out group). In group adalah kelompok sosial dimana individu merasa dirinya dimiliki atau memiliki (“kelompok kami”). Sedangkan out group adalah grup di luar grup sendiri (“kelompok mereka”).
Salah satu faktor yang mempengaruhi adanya prasangka dalam tubuh masyarakat adalah politik dan ekonomi, dengan adanya prasangka sosial akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang dalam berbagai situasi. Prasangka sosial dapat menjadikan seseorang atau kelompok tertentu tidak mau bergabung atau bersosialisasi dengan kelompok lain dan bahkan dalam situasi tertentu menimbulkan agresi yang ditujukan untuk melampiaskan keinginan untuk melukai atau menyakiti pada kelompok lain.
Politik tidak lagi dikembalikan pada kodratnya yakni dialog antar manusia dengan bebas dan egaliter melainkan menjadi pasar dari partai-partai yang berkompetisi dengan mengekploitasi masyarakat melaui agitasi, seperti yang telah dikririk Hannah arendt. propaganda dan manipulasi melalui berbagi cara. Baik menggunakan media massa maupun narasi-narasi yang menjebak pikiran rakyat sehingga terjadi dis informasi dan fanatisme. Prasangka yang muncul dalam tubuh masyarakat sebab budaya politik indonesia yang eksploitatif pada rakyat.
Seyogyanya politik berbasis moral haruslah dikedepankan, baik dari kalangan ellit hingga masyarakat partisipatif, dengan dimulainya hubungan yang saling menyempurnakan dengan mengedepankan etika moral politik : dengan mengedepankan nilai agama, memperhatikan norma universal, menyesuaikan dengan budaya lokal yang baik dan menggunakan psikologi sosial sebagai salah satu pisau analisa dalam merumuskan strategi politik praktis.
***
*) Oleh: Abdul Hasib, Mahasiswa Konsentrasi Psikologi Pendidikan Di UIN Sunan Kalijaga.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |
Konten promosi pada widget ini bukan konten yang diproduksi oleh redaksi TIMES Indonesia. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.