Kopi TIMES

Pantaskah Ajaran Ma’had Panji Gumilang Dilestarikan?

Sabtu, 24 Juni 2023 - 21:35 | 127.22k
Salman Akif Faylasuf: Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.
Salman Akif Faylasuf: Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Kasus Pesantren Al-Zaytun yang menuai kontroversi hingga kini tak kunjung mereda, gentayangan di mana-mana. Bagaimana tidak menyita perhatian publik, saat masyarakat aksi unjuk rasa kemaren dengan massa 5000, Panji Gumilang, pimpinan Ma’had Al-Zaytun, berhasil mengerahkan massa tandingan dengan jumlah 10.000.

Saat aksi unjuk rasa, Panji Gumilang terlihat meninjau pagar duri yang terpasang di depan gerbang diikuti massa pendukungnya. Panji juga meminta agar polisi lebih mengamankan pihak unjuk rasa. Bahkan, pengerahan massa di depan gerbang dilakukan bukan untuk anarkis. Tak hanya itu, yang tak kalah  menyita perhatian publik, pimpinan Ma’had Al-Zaytun itu terekam membentak pria yang diduga seorang polisi saat sedang melakukan aksi demo. Atas aksinya itu, tak heran jika Panji Gumilang semakin menjadi sorotan.

Advertisement

Melansir dari laman Detiknesw (15/6/2023), Panji mengatakan: “Polisi jangan amankan kami, amankan mereka, kami sudah aman, amankan mereka (pendemo). Di sini aman, orang baik-baik di sini, Pancasilais, nasionalis. Jangan khawatir, kami nasionalis, kami Pancasilais, ini aset negara,” kata-kata Panji Gumilang saat meninjau lokasi pengamanan massa aksi.

Namun demikian, yang menjadi pertanyaan dan menjanggal di benak penulis, apakah pantas begitu ajaran orang yang mengaku Pancasilais, nasionalis, bahkan aset negara, yang dengan mudahnya secara serampangan menafsirkan ayat al-Quran. Bahkan, tanpa sedikit pun merasa berdosa, dengan lantang ia mengatakan bahwa perzinahan boleh-boleh saja, menganggap Indonesia tanah suci disamakan dengan tanah haram di Makkah, shalat Idul Fitri perempuan diletakkan di shaf terdepan.

Tentu saja, hal yang demikian (ideologi) ini tak pantas dilakukan oleh pesantren (apalagi tidak memiliki landasan yang kuat dan jelas). Justru, seharusnya dizaman sekarang, kiai (pimpinan ma’had) itu bertugas menyembuhkan luka dan trauma penjajahan Belanda, Jepang, maupun penjajahan lainnya.

Termasuk juga menetralisir kegilaan zaman (now), di mana mabuk agama dan kekuasaan hampir sulit dibedakan. Tak ayal, modernitas, pada gilirannya, membawa manusia pada kemajuan (saintek) di satu sisi, dan kemunduran (pekerti) di sisi lain. Bukan malah sebaliknya membuat ajaran (sesat) yang tidak berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah.

Lalu apa yang menyebabkan mereka bersikap ekstrem (tatharruf)?

Jawabannya adalah, karena ketidakpahaman dan ketidakselesaianya dalam tiga ranah ajaran Islam. Tiga ranah itu pertama adalah ranah Paradigma (wijhatu an-nadhar), kedua, ranah metode (al-Manhaj) dan ketiga, adalah wilayah produk (al-fiqh wa asy-syari’ah).

Itu artinya, untuk membangun moderatisme sebagai watak dasar ajaran Islam, maka harus menata kembali dan memahami kembali tiga ranah di atas, ranah paradigma, ranah manhaj dan ranah produk syariah menjadi pekerjaan rumah umat beragama. Bukan malah sebaliknya. Jelasnya, tugas kita hari ini adalah melanjutkan, mengembangkan, dan menyebarkannya ajaran salafus shalih, bukan membuat aliran sesat menyesatkan.

Rasulullah Saw. pernah bersabda:

إن العبد ليتكلم بالكلمة لا يرى بها بأسا يهوي بها في النار سبعين خريفا

Artinya: “Sungguh ada seorang hamba yg berbicara dengan suatu perkataan yg dia tidak menyangka bahwa ada bahaya dalam perkataan itu, (meskipun demikian) dia tetap jatuh ke neraka yg jaraknya sampai ke dasar perjalanan 70 tahun.” (HR. At-Tirmidzi).

Senada dengan sabda Nabi, apa yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Abdullah bin Husain bin Thohir dalam kitabnya Sullam al-Taufiq:

وقد كثر في هذا الزمان التساهل في الكلام حتى انه يخرج من بعضهم ألفاظ تخرجهم عن الاسلام ولا يرون ذلك ذنبا فضلا عن كونه كفرا

Artinya: “Pada zaman ini benar-benar telah banyak peremehan terhadap suatu perkataan, sehingga keluar dari sebagian orang kata-kata yang dapat mengeluarkan mereka dari Islam, dan mereka tidak menyangka bahwa itu dosa apalagi kekufuran.”

Hemat penulis, idealnya, beragama itu harus memadukan baina al-ashalah wa al mu’asharah (antara otentisitas dan kekinian), antara tauhid, tasawwuf dan fiqih, antara wahyu dan akal, antara masa lalu dan masa depan, antara idealitas dan realitas, antara ketuhanan dan kemanusiaan dan lainnya.

Tetaplah berpijak pada tuntunan dan tradisi yang dibawah oleh para pewaris Nabi. Sebuah kaidah mengatakan:

المحُاَفَظَةُ عَلَى القَدِيْمِ الصَالِحِ وَالأَخْذُ باِلجَدِيْدِ الأَصْلَحِ

“Menjaga tradisi terdahulu yang baik, serta mengambil hal baru yang lebih baik.”

Catatan Pinggir 

Kita tahu, kelompok Salafi-Wahabi, sangat mudah dan senang menuduh kelompok Islam lainnya sebagai pembuat bid’ah. Imbalan bagi pelaku sesat itu adalah neraka. Tidak jarang sifat kafir sering disematkan kepada siapapun yang pandangan keberagamaannya lain dengan mereka. Perilaku tidak bersahabat itu muncul dari keyakinan teguh pada satu atau beberapa teks dari al-Quran atau Hadis. Padahal, kelompok yang sering dituduh sesat pun mengambil rujukan dan dasarnya dari al-Quran dan Hadits yang sama.

Yang jelas dan sudah pasti, muara masalahnya adalah pada teks. Teks di dalam kajian ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora) juga dalam ilmu-ilmu sosial adalah sangat penting. Para peneliti dan sarjana selalu berhubungan dengan teks. Sejarawan, agamawan, pengkaji film, kritikus sastra, kesusasteraan, kebahasaan, kearsipan, arkeologi, sosiologi, dan antropologi selalu bekerja dengan teks. Ilmu tentang kajian naskah dan teks itu, atau Filologi, (atau kajian teks lainnya, tekstologi, discourse analyse, dan lainnya) amat bermanfaat dalam kajian Islam.

Khazanah klasik Islam dapat terbaca seperti sekarang berkat kerja keras para filolog. Dengan bantuan kajian naskah, akan membentuk dan memberikan hujjah yang sangat kuat. Sebab, semua hujjah berdasarkan teks yang berasal dari masa lampau, yaitu dari masa dan waktu yang menjadi inti kajian tersebut.

Kelompok-kelompok seperti Salafi-Wahabi, sering kali berpaku pada teks, tanpa melihat konteks sejarah teks tersebut, proses pembuatan teks, latar belakang, dan keadaan yang mengitari teks itu, dan lainnya. Filologi mendorong peneliti dan para sarjana untuk melihat teks dari berbagai sudut pandang. Ia sangat bermanfaat untuk melihat teks-teks keagamaan dari segala arah keilmuan. Filologi mendekati kepada teks dan maksud yang asli dari penulis atau pembuatnya. Namun, tidak bermaksud memberikan penafsiran tunggal.

Kajian atas naskah-naskah teks keagamaan amat berguna untuk melihat bahwa produksi teks tidak dihasilkan dari ruang hampa. Teks berkait-kelindan dengan lingkungan, bahasa, budaya, dan rasa yang berada dan melingkupinya. Dalam hal ini, al-Qur’an yang merupakan kalam suci tidak luput dari proses kebudayaan dan kesejarahan. Latar belakang masyarakat, keadaan politik, sifat dan sikap kebahasaan, perasaan dan perilaku orang, dan semua aspek kemanusiaan dan kealaman memengaruhi pembentukan al-Qur’an itu, apalagi hadits dan sunah.

Apa yang universal dalam Islam adalah apa yang tercakup dalam kalimat Islam rahmatan lilalamin. Dengan kata lain, hal yang harus diikuti umat Islam adalah hal-hal yang bernilai universal. Artinya, berlaku umum di manapun dan kepada siapapun: menghormati orang lain, mengasihi mereka yang dhuafa’ dan mustadh’afin, menjaga alam dan merawat lingkungan-hutan dan mencegah perusakan hutan, menjaga laut dan sungai dari sampah dan limbah, berlaku jujur, tidak mencuri, membunuh, memperkosa, dan lainnya.

Sikap mencoba memahami dan membedakan mana yang masuk dalam ranah pribadi Rasulullah dan mana yang masuk dalam ranah kesunahan, sesungguhnya didukung penuh dan telah diajarkan oleh keilmuan amat penting dalam Islam, yaitu Ushul Fiqh atau Filsafat Hukum Islam. Kita bisa ambil satu kitab Usul Fikih kontemporer, seperti karya Muhammad Abu Zahrah (w. 1974): Ushul al-Fiqh.

Dengan amat gamblang, Abu Zahrah menjelaskan bahwa apa yang terkait dengan pribadi dan kebiasaan Nabi Muhammad Saw., dan itu bagian dari adat dan kebiasaan masyarakat Arab bukanlah sunah yang harus diikuti. Dalam kajian Ushul Fiqh, hal-hal yang bisa jadi kita anggap melampaui teks dan tidak islami, ternyata merupakan pembahasan yang lumrah.

Bagi yang berpandangan kurang terbuka, akan berpendapat bahwa landasan dalam Islam adalah hanya al-Qur’an dan Hadits (dikenal sebagai gerakan pasca-mazhab). Oleh karena itu, Ushul Fiqh yang mengandalkan kemampuan kajian teks yang kuat dianggap tidak bersumber dalam Islam, dan akibatnya harus dikesampingkan.

Tentulah, bagi yang punya pandangan seperti ini hanya memperlihatkan bahwa ia tengah menolak ilmu pengetahuan. Justeru, saat para fuqaha’ (ahli hukum Islam) mencoba memahami al-Qur’an dan Hadits, mereka menemukan metodologi yang bisa digunakan oleh fuqaha’ setelah mereka. Bapak pendiri Usul Fiqh ini adalah Imam Syafi’i, pendiri mazhab Syafi’i yang menjadi panutan Muslim se-Asia Tenggara.

Keilmuan di dalam Islam sangat mengandalkan kemampuan mengkaji teks. Filologi atau metodologi dan pendekatan lainnya atas teks akan menjadi alat bantu yang amat baik bagi para sarjana dan ustad dalam memahami teks-teks keislaman. Memang, menjadi ahli agama itu harus orang yang sudah melalui pendidikan, seperti di pesantren, sehingga ia mampu memahami teks keagamaan.

Sebagai penutup, sekarang, siapapun bisa dan mendadak jadi ahli agama berkat mesin pencari Google (trend sekarang adalah artificial intelligence), atau mengaku langsung berguru kepada Rasulullah dan para sahabat, kemudian mereka para ustadz karbitan berceramah di hadapan khalayak ramai, dan memberikan informasi yang salah. Jadilah mereka dallun-mudillun, tersesat dan menyesatkan (umat). Pendek kata, menelan bulat-bulat dan mengambil satu teks suci agama secara harfiah akan berdampak fatal bagi kehidupan masyarakat dan bangsa.

Wallahu a’lam bisshawaab.

***

*) Oleh: Salman Akif Faylasuf: Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang  Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES