
TIMESINDONESIA, WONOGIRI – Idul Adha 1444 H sudah di depan mata. Sesuai kalender, Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) tahun 2023, Idul Adha tepat pada Kamis (29/6/2023). Sidang isbat juga memutuskan Idul Adha Kamis pekan ini. PP Muhammadiyah sudah memutuskan Idul Adha pada Rabu (28/6/2023). Di dalam tulisan ini, penulis tidak mengupas perbedaan penentuan waktu itu. Di sini, kajian yang ingin dibahas adalah mengenai Moderasi Beragama dalam Idul Kurban.
Di Indonesia, sebagian masyarakat menyebut Idul Adha dengan nama Hari Raya Kurban. Penyebutan itu tidak terlepas dari sejarah Nabi Ibrahim a.s yang tiga kali bermimpi supaya menyembelih anaknya, Ismail. Nabi Ibrahim a.s. yang dikenal sebagai Bapak para Nabi itu sebenarnya sudah menantikan kehadiran anak dalam waktu lama.
Advertisement
Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran Surat Ash-Shaffat ayat 102 yang artinya: "Maka tatkala anak itu sampai (pada usia sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: 'Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku sedang menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!', Ismail menjawab: 'Wahai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."
Nabi Ibrahim a.s adalah sosok yang taat dan patuh kepada Allah SWT. Beliau kemudian melaksanakan apa yang diperintahkannya itu. Allah SWT dengan kuasa-Nya menggantikan Ismail dengan kambing. Kurban menjadi salah satu rangkaian kegiatan dalam Idul Adha di samping Salat ‘Id
Moderasi Beragama
Di dalam Buku Tanya Jawab Moderasi Beragama (2019) disebutkan bahwa moderasi beragama berarti cara beragama jalan tengah. Dengan moderasi beragama seseorang tidak ekstrim dan tidak berlebih-lebihan saat menjalani ajaran agamanya. Orang yang mempraktikkannya disebut moderat. Prinsip moderasi adil dan berimbang.
Pemahaman dan pengamalan keagamaan bisa dinilai berlebihan jika ia melanggar tiga hal: pertama, nilai kemanusiaan; kedua, kesepakatan bersama; dan ketiga, ketertiban umum. Prinsip ini juga untuk menegaskan bahwa moderasi beragama berarti menyeimbangkan kebaikan yang berhubungan dengan Tuhan dengan kemaslahatan yang bersifat sosial kemasyarakatan
Alangkah indahnya jika penganut agama yang satu dan lainnya saling menghargai perbedaan dan bisa hidup rukun. Mengingat di Indonesia banyak keragaman termasuk ada enam agama yang diakui yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Pesan-pesan moderasi beragama juga terkandung dalam peringatan Idul Kurban yang sebentar lagi diperingati umat Islam. Drs Priyono, M.Si dalam bukunya Resonansi Pemikiran (2016) menyebutkan bahwa penyembelihan hewan kurban menyimpan makna solidaritas dari kaum muslimin yang memiliki kelebihan harta. Mereka dapat menyumbangkan sebagian hartanya berupa hewan kurban untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT sekaligus menjalin keharmonisan dengan sesama.
Daging kurban tidak hanya dibagikan kepada sesama muslim. Sebagai bentuk toleransi dan kebersamaan dalam bersuka cita, daging itu juga dibagikan kepada non-muslim. Islam adalah agama yang mengajarkan kepedulian kepada kaum duafa dan fakir miskin. Agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw ini juga mengajak kepada pemeluknya untuk peka terhadap keadaan saudara-saudaranya yang membutuhkan uluran tangan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Umat Islam yang baik dan diberikan kemampuan berkurban tahun ini tentu akan peduli kepada saudara dan tetangga sekitar yang benar-benar membutuhkan baik itu muslim atau non muslim. Memberi daging kurban bukan dengan maksud sombong atau merendahkan orang lain tetapi berharap ridho Allah SWT.
Bagi para pengurus pendistribusian daging kurban, upaya pengolahan pun bisa dilakukan jika daging berlebihan dan belum tersalurkan. Perlu inovasi dan kesiapan agar daging kurban benar-benar bisa bermanfaat. Mengacu kepada Fatwa MUI No 37 tahun 2019, tentang pendistribusian daging kurban dalam bentuk olahan, maka daging kurban dapat diolah menjadi berbagai produk. Di antaranya bakso sapi, rendang, kornet dan makanan kemasan lain yang bisa lebih tahan lama.
Upaya itu diharapkan mampu meminimalisasi kemubaziran daging-daging yang belum tersalurkan ataupun rusak karena telat pendistribusiannya. Daging-daging yang telah diolah menjadi makanan kemasan selain praktis, lezat, higienis dan halal tentu lebih mudah untuk disistribusikan.
Wallahu’alam bish showwab.
***
*) Oleh: Nadhiroh, Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) STAIMAS Wonogiri.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |
Konten promosi pada widget ini bukan konten yang diproduksi oleh redaksi TIMES Indonesia. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.