Menyingkap Hikmah di Balik Pensyariatan Ibadah Kurban
TIMESINDONESIA, KEDIRI – Kurban atau disebut juga dengan udhhiyah atau dhahiyyah secara harfiah berarti hewan sembelihan.
Pakar linguistik Arab Ibn Mandzur (w. 711 H) dalam karyanya Lisan Al-‘Arab mengartikan udhhiyah dengan dua hal: Pertama, kambing yang disembelih pada waktu dhuha, maksudnya pada waktu siang hari. Kedua, kambing yang disembelih pada saat hari raya Adha. Sedangkan, dalam tinjauan terminologi dimaknai sebagai sesuatu yang disembelih guna mendekatkan diri kepada Allah SWT pada hari nahar dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
Advertisement
Kurban merupakan salah satu bentuk ritual ibadah pemeluk agama Islam, ritual ini dilakukan pada bulan Dzulhijjah dalam penanggalan Islam, yakni tanggal 10 (hari nahar) dan 11, 12 dan 13 (hari tasyrik) bertepatan dengan hari raya Idul Adha. Idul Adha yang di rayakan pada setiap tanggal 10 Dzulhijjah juga dikenal dengan sebuatan "Hari Raya Haji", dimana kaum muslimin sedang menunaikan pelaksanaan haji yang utama, yaitu wukuf di Arafah. Disamping Idul Adha dinamakan hari raya haji, juga dinamakan dengan "Idul Kurban", karena merupakan hari raya yang menekankan pada arti pengorbanan.
Ibadah kurban disyariatkan pada tahun kedua Hijriah, yakni tahun dimana disyariatkannya pula pelaksanaan salat Idul fitri dan Idul Adha serta zakat harta. Dalil normatif disyariatkannya ibadah kurban ini diantara lain adalah firman Allah SWT yang berbunyi:
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ
Artinya: "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dialah yang terputus." (Q.S. Al-Kautsar: 1 - 3)
Selain ayat diatas, dalam salah satu redaksi hadis Rasulullah Saw. pernah bersabda:
مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ يَوْمَ النَّحْرِ مِنْ عَمَلٍ أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ إِرَاقَةِ الدِّمَاءِ، أوْ مِنْ إِرَاقةِ دَمٍ، وَإِنَّهَا لَتَأتِيْ يَومَ القِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأظْلاَفِهَا، وَإِنَّ دَمَهَا لَيَقَعُ مِنَ اللهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ عَلَى الأَرْضِ، فَطِيْبُوْا بِهَا نَفْسًا
Artinya: "Tidak ada suatu amalan pun yang dilakukan oleh manusia pada hari raya kurban yang lebih dicintai Allah SWT dari menyembelih hewan kurban. Sesungguhnya hewan kurban itu kelak pada hari kiamat akan datang beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulunya dan kuku-kukunya. Dan sesungguhnya sebelum darah kurban itu menyentuh tanah, ia (pahalanya) telah diterima di sisi Allah, maka beruntunglah kalian semua dengan (pahala) kurban itu." (H.R. Tirmidzi)
Nilai-nilai filosofis (hikmah) di balik pensyariatan kurban sebagaimana disinggung oleh ulama terkemuka Al-Azhar Asy-Syarif Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi (w. 1380 H) dalam Hikmah At-Tasyri’ wa Falsafatuhu mengungkapkan setidaknya terdapat dua hal:
الْحِكْمَةُ فِيْ ذَلِكَ هُوَ الْإِقْتِدَاءُ بِسَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ الْخَلِيْلِ عَلَيْهِ الْصَّلاَةُ وَالْسَّلاَمُ. إِذْ أَمَرَهُ اللهُ فِيْ الْمَنَامِ بِذَبْحِ وَلَدِهِ إِسْمَاعِيْلُ عَلَيْهِ الْسَّلاَمِ فَامْتَثَلَ. وَفِيْ هَذَا حِكْمَتَانِ: الْأُوْلَىْ: إِظْهَارُ تَمَامِ الْطَّاعَةِ لِلْخَلْقِ جَلَّ شَأْنُهُ حَتَى وَلَوْ أَمَرَنَا بِذَبْحِ أَوْلاَدَنَا. الْثَّانِيَةُ: الْقِيَامُ بِشُكْرِ اللهِ تَعَالَىْ عَلَىْ نِعْمَةِ الْفِدَاءِ حَيْثُ جَعَلَ مَنْ يُقَدَمُ الْهَدْيَ مِنَ الَّذِيْنَ يَتَصَدَّقُوْنَ مِمَّا أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ وَلَمْ يَجْعَلْهُ مِنَ الْفُقَرَاءِ الَّذِيْنَ يَسْتَحِقُّوْنَ الْصَّدَقَةَ. وَهَذَا كَمَا لاَ يَخْفَىْ نِعْمَةُ الْكُبْرَىْ
Artinya: "Hikmah dalam kurban ialah sebagai bentuk mengikuti Nabi Ibrahim A.S. tatkala Allah SWT memerintahkannya dalam mimpi untuk menyembelih putra tercintanya Nabi Isma’il A.S. lantas ia patuh melaksanakan perintah tersebut. Dan dalam peristiwa ini terdapat dua hikmah, pertama tampaknya ketaatan terhadap Tuhan meski diperintahkan untuk menyembelih anaknya sendiri. Kedua, sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT atas nikmat tebusan sekiranya menjadikan orang yang menyembelih hewan kurban termasuk kategori orang-orang yang bersedekah atas nikmat yang dikaruniakan padanya, dan tidak menjadikannya termasuk dalam golongan fakir yang berhak menerima sedekah. Dan inilah termasuk kategori nikmat yang agung." [Ali bin Ahmad Al-Jarjawi, Hikmah At-Tasyri’ wa Falsafatuhu (Beirut: Dar Al-Fikr), vol. 1, h. 190]
Selain dua hal yang dikemukakan diatas, menurut pakar fikih terkemuka asal Suriah, Syekh Dr. Wahbah Az-Zuhaili (w. 2015 M) dalam karya monumentalnya Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu hikmah disyariatkannya kurban juga sebagai ungkapan rasa syukur terhadap kesempatan hidup yang Allah SWT berikan kepada kita dari tahun ke tahun. Daripada itu, juga sebagai pelebur terhadap kesalahan-kesalahan yang kita lakukan, baik itu kesalahan yang berupa berlawanan dengan perintah syariat atau menguranginya.
Kemudian yang terakhir menurut beliau, adalah guna memberikan keluasan dengan membagi-bagikan daging kurban terhadap keluarga orang yang kurban ataupun selainnya seperti handai tolan, tetangga, kolega bisnis dan lain sebagainya. [Wahbah bin Mustafa Az-Zuhaili, Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu (Beirut: Dar Al-Fikr), vol. 4, h. 2702]
Selanjutnya, nilai filosofis di balik pensyariatan kurban ialah sebagai reminder (pengingat) terhadap seorang mukmin akan kesabaran Nabi Ibrahim A.S dan Nabi Ismail A.S serta mendahulukannya beliau berdua terhadap ketaatan, kecintaan pada Allah SWT ketimbang hawa nafsu dan syahwatnya belaka.
Oleh karenanya, setelah menilik hikmah-hikmah pensyariatan kurban yang telah dijelaskan diatas semakin mempertegas bahwa perintah dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah SWT, harus dilaksanakan tanpa reserve (syarat). Namun, selayaknya dilakukan dengan tekad sami’na wa atha’na. Nabi Ibrahim A.S istri dan anaknya, telah memberikan contoh bahwa bila perlu, jiwa sendiri pun haruslah dikorbankan, demi melaksanakan perintah-perintah Allah SWT
Demikian uraian perihal hikmah di balik pensyariatan ibadah kurban yang dikutip dari pelbagai sumber otoritatif.
Wallahu a’lam bis shawab.
***
*) Oleh: A. Zaeini Misbaahuddin Asyuari, Mahasantri Pascasarjana Ma'had Aly Lirboyo Kediri Takhasus Fiqh wa Ushuluhu. Konsentrasi Kajian Fiqh Kebangsaan dan Tafsir Al-Qur'an.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Rizal Dani |