
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Idul Adha atau sering kita sebut sebagai Lebaran Haji dan Hari Raya Kurban, merupakan hari raya kaum Muslim yang dilaksanakan pada setiap 10 Dzulhijah—pada hari tersebut, kaum muslim melaksanakan salat ied, dan dilanjutkan dengan agenda penyembelihan hewan kurban, yang kemudian disalurkan kepada masyarakat sebagai wujud kecintaan kepada-Nya, Sang Maha Cinta. Di balik peristiwa megahnya Idul Adha, terdapat kisah cinta dan kasih sayang seorang ayah dan anak, yaitu Ibrahim dan Ismail.
Ibrahim telah menjadi suri teladan bagi semua, terutama bagi anaknya, Ismail. sehingga tak heran, dalam catatan sejarahnya, Ismail begitu hormat dan sangat memuliakan sosok ayahnya, Ibrahim punya pribadi yang selalu dapat bertutur baik dan penuh kelembutan.
Advertisement
Sebagaimana firman-Nya dalam QS. asy-Syu’ara[26]: 84. Sehingga Ismail, merasa nyaman didekatnya dan selalu mendengar apapun yang dikisahkan oleh ayahnya.
Sebab kekokohan iman yang dimiliki Ibrahim kepada Yang Maha Kuasa, ia menjadi Ma’shum, yaitu pribadi yang selalu dibimbing dan dijaga Allah dalam setiap perilaku dan tindakannya, bahkan sejak sebelum ia diutus sebagai Rasul, oleh karenanya, putranya, Ismail mewarisi keimanan atau keyakinan yang begitu kuat atas kebesaran dan kebijaksanaan Allah Swt.
Dalam firman-Nya lagi, QS. an-Nahl [16]: 120-122. Allah kembali menegaskan tentang sosok Ibrahim “Sesungguhnya Ibrahim adalah umat (sosok yang penuh keutamaan dan keteladanan) lagi patuh kepada Allah dan hanif (cenderung kepada kebenaran lagi konsisten melaksanakannya). Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik. (Nabi Ibrahim AS) mensyukuri nikmat-nikmat-Nya, Dia telah memilihnya dan membimbingnya ke jalan lebar yang lurus. Dan kami anugerahkan kepadanya (Nabi Ibrahim AS) kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang saleh.”
Saking agung dan istimewanya Ibrahim di sisi-Nya, sehingga namanya diabadikan menjadi nama surat dalam Al-Quran. Bahkan nama Ibrahim telah disebut dalam Al-Quran sebanyak 69 kali di 24 surat. Dan karena kesalehannya, Ibrahim dijuluki sebagai “Bapak para Nabi”, tercatat dalam sejarah sebanyak 19 keturunannya menjadi Nabi dari 25 Nabi yang disebutkan dalam Al-Quran.
Bahkan Ibrahim juga dikenal sebagai “Bapak semua agama”. Ia merupakan tokoh penting yang disebut dalam agama Islam dan agama-agama samawi terdahulu.
Keindahan budi pekertinya terhadap sesama, dari hal yang sederhana, Ibrahim adalah sosok yang sangat memuliakan dan memperlakukan dengan baik setiap tamunya, ia selalu gemar menyediakan makanan dan minuman untuk tamu yang datang bersilaturahmi ke rumahnya, sehingga Ibrahim disebut dalam QS. an-Nisa’ [4]: 125, sebagai al-Khalil, Kesayangan-Nya. Al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi saw bertanya: “Wahai Jibril, mengapa Allah yang Mahatinggi memilih Ibrahim AS sebagai al-Khalil (Sang Kesayangan)? Jibril menjawab: “Karena kegemarannya menyediakan makanan (untuk tamunya), wahai Muhammad!”.
Kolaborasi Kebaikan Ayah dan Anak
Peristiwa Idul Adha dapat juga kita simpulkan bahwa sejarah tersebut merupakan teladan bagi umat manusia, secara umum.
Namun secara khusus dapat dimaknai sebagai sebuah peristiwa penuh makna, yaitu kolaborasi kebaikan seorang ayah dan anak. Ismail tumbuh besar menjadi anak muda yang percaya diri, berani, dan cerdas. hal tersebut tak lepas dari pengaruh pola pendidikan dan pengasuhan ayahnya, Ibrahim.
Bila kita kaitkan dengan berita belakangan ini di tanah air yang tengah menjadi perbincangan publik di media sosial, yaitu fenomena fatherless.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti mengungkapkan bahwa Indonesia menempati urutan ketiga di dunia sebagai fatherless country atau negara dengan anak-anak tanpa pengasuhan ayah.
Edward Smith Psikolog asal Amerika mendefinisikan fatherless country yaitu negara yang memiliki kecenderungan tidak merasakan keberadaan dan keterlibatan sosok ayah dalam kehidupan tumbuh kembang anak, baik secara fisik maupun psikologis.
Di Indonesia, para ahli mengungkap bahwa penyebab adanya fatherless karena budaya patriarki yang melekat di masyarakat. Dalam budaya patriarki meyakini bahwa laki-laki bertanggung jawab pada urusan nafkah.
Sedangkan untuk urusan domestik dan mengurus anak merupakan urusan dan tanggung jawab perempuan. Selain faktor budaya, anak bisa mengalami fatherless karena ayah yang terlalu sibuk.
Akibat kesibukan bekerja, menjadikan ayah sulit untuk terlibat dalam pengasuhan anak. Otomatis interaksi ayah dan anak menjadi sangat kurang.
Namun penelitian terkini mengungkapkan bahwa keikutsertaan ayah dalam pengasuhan ternyata memberikan dampak yang signifikan.
Anak-anak yang didampingi sosok ayah sepanjang tumbuh kembang dipercaya memiliki kepercayaan diri tinggi, mental yang kuat, serta kemampuan problem solving yang baik dibandingkan anak-anak fatherless.
Kita bisa rasakan bagaimana kualitas diri Ismail yang mendapat pengasuhan dan pendidikan berkualitas dari ayahnya Ibrahim, di negeri kita, belakangan ini, nama Putri Ariani, menjadi buah bibir masyarakat dunia karena keberhasilannya meraih Golden Buzzer di ajang pencarian bakat American Got Talent (AGT) 2023 di Amerika Serikat.
Putri Ariani tampil percaya diri dan berhasil memukau para juri AGT, dan bahkan Simon memberikannya Golden Buzzer. Putri Ariani mengakui di banyak kesempatan wawancaranya, bahwa peran ayahnya sangat berpengaruh dalam keberhasilannya, berkat pendampingan dan keikutsertaan ayahnya dalam pola asuh dan pendidikannya, Putri Ariani sukses tampil menjadi dirinya sendiri dan berhasil menampilkan bakat, keberanian dan kepercayaan dirinya dengan sangat baik.
Pentingnya Quality Time Ayah
Di tengah posisi Indonesia yang sekarang ini disebut sebagai fatherless country, peringatan Idul Adha menjadi oase dan refleksi utamanya bagi para ayah di tanah air untuk ikut serta, berperan aktif dan dapat membagi waktu yang berkualitas—di tengah kesibukannya dalam mencari nafkah—dalam pengasuhan dan pendidikan anak sebagaimana yang telah dicontohkan Ibrahim kepada putranya Ismail.
Ibrahim sebagai contoh ayah sukses dalam mengasuh, mendidik, dan membesarkan anaknya, poin-poin hikmah keteladanan Ibrahim dapat dirumuskan diantaranya; pertama, Ibrahim selalu memiliki quality time untuk Ismail dan pola asuh yang adaptif, bahkan ketika Ismail berusia ABG alias masa remaja, Ibrahim menempatkan pola asuh sebagaimana usia remaja pada umumnya, Ibrahim yang pada saat itu sudah berkedudukan sebagai nabi dan berusia lanjut mengajak Ismail “duduk bareng (dubar)” dan berdiskusi terkait mimpinya yang berisi perintah Allah tentang penyembelihan atas dirinya.
Kedua, sikap Ibrahim sebagaimana yang digambarkan QS. al-Baqarah [2]: 124 “Dan itu hujjah (bukti yang jelas dari) Kami yang Kami anugerahkan kepada Ibrahim atas kaumnya”. Bahwa Ibrahim adalah pribadi yang dianugerahi Allah ketajaman berargumentasi.
Karenanya, ketika berdiskusi dengan Ismail terkait perintah Allah tersebut, Ibrahim menyampaikannya dengan argumentasi yang kuat dan perlakuan yang baik.
Dengan demikian, Ismail dapat menyerap dan memahami apa yang disampaikan ayahnya terkait mimpinya tersebut. Sebab keteladanan sang ayah dan keyakinan Ismail bahwa mimpi ayahnya yang juga sebagai nabi adalah sebuah kebenaran dan perintah-Nya yang harus dilaksanakan, tanpa ragu ia mengatakan “Ayah, laksanakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu.” kemudian Ismail juga berkata sebagaimana dalam QS. ash-Shaffat [37]: 102) “Engkau akan mendapatiku, insya Allah, termasuk para penyabar”.
Ketiga, dalam keikutsertaan ayah dalam pendampingan, pengasuhan dan pendidikan anak, hendaknya harus banyak bersabar sebagaimana yang dicontohkan Ibrahim. Berkat kesabaran dan ketabahannya, Ibrahim dianugerahi mahkota Ulul ‘Azmi Ibrahim, lima nabi pilihan Allah SWT sebagai gelar kenabian paling prestisius dan spesial yang diberikan kepada para rasul berkat ketabahan dan kesabaran luar biasa yang dilakukan Ibrahim dalam menyebarluaskan agama Allah Swt kepada umat manusia.
Ada sebuah ungkapan bijak “kesabaran akan menolong setiap aktivitas atau perbuatan” dalam pelajaran pesantren dikatakan “siapa saja yang bersabar ia akan berhasil”, dan lebih luhur lagi Allah menegaskan bahwa “sesungguhnya Allah selalu bersama orang-orang yang sabar”.
Insya Allah, ketika para ayah menyertai kesabarannya dalam pengasuhan dan pendidikan anaknya, Allah anugerahi anak yang saleh, berakhlak, bermanfaat dan berdampak sebagaimana Ismail As.
***
*) Oleh : Eddy Aqdhiwijaya, Ketua Gerakan Islam Cinta (GIC).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Rochmat Shobirin |