Kopi TIMES

Mengkalkulasi Derajat Kemabruran Haji

Jumat, 30 Juni 2023 - 14:09 | 159.89k
Dr. Suheri, M.Pd.I, Ketua STAI At Taqwa Bondowoso Jatim
Dr. Suheri, M.Pd.I, Ketua STAI At Taqwa Bondowoso Jatim
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Jutaan jamaah haji telah menunaikan rukun Islam kelima. Wukuf di Arafah merupakan momentum penting yang wajib dilalui dalam manasik haji. Jutaan jamaah berkumpul dalam event tersebut. Tidak terkecuali ribuan jamaah haji dari tanah air.

Impian dari kita semua tentu berharap kelak bisa mengikuti jamaah haji tersebut, lebih dari itu bisa menyaksikan dan merasakan langsung jejak dan puing-puing prasasti sejarah mulai nabi Adam dan siti Hawa, Nabi Ibrahim dan putranya nabi Islam as tidak terkecuali baginda Rasulullah saw.

Advertisement

Dibalik “ritualitas” haji terdapat napak tilas dari jejak-jejak pendahulu seperti Keluarga Nabi Adam, Nabi Ismail dan Nabi Ibrahim yang sarat dengan makna dan spirit sosial.

Makna sosial ini sangat kentara saat jamaah haji berada di Arafah yang merupakan moment dimana seluruh jamaah haji berkumpul dalam mengawali ibadah haji setelah ihram. Karena dari titik ini, sekat-sekat sosial, suku, ras melebur dalam bingkai ibadah untuk mencari ridho Ilahi.

Simbol kesamaan dan kebersamaan ini ditandai dengan pakaian ihram yang tidak membedakan status sosial, sekaligus untuk mengenang bahwa manusia asalnya dari Nabi Adam yang bertemu di tempat itu (Jabal Rahmah) dan mereka berkumpul untuk saling mengenal sebagai satu saudara dan seiman.

Lebih dari itu, Justru yang akan membedakan seseorang saat itu adalah kualitas ketaqwaannya, hal ini tercermin saat di Arafah, seseorang tiada henti berdzikir dengan harapan meraih ridho Nya, berdoa, membaca kalimah toyyibah. Hal itu merupakan makna ketaqwaan seseorang yang dibangun saat itu.

Disamping itu keberadaan jamaah haji di padang ‘Arafah merupakan inti pelaksanaan ibadah haji. Sebenarnya dalam ibadah haji penekanan nilai ibadah horisontal (hablum minannas) lebih dominan dari pada nilai vertikal (Hablum minallah), termasuk dalam ibadah haji lebih banyak aspek gerakan (fi’liyah) daripada bacaannya, meskipun bacaan tidak bisa ditinggalkan tetapi ibadah tawaf, sa’i, jumroh, wukuf di Muzdalifah dan mabit di Mina misalnya merupakan ibadah jasmani dan tidak ada bacaan wajib dan rukun melainkan hanya sebatas bernilai bacaan-bacaan sunnah.

Namun, makna dibalik gerakan-gerakan itu merupakan rekonstruksi spiritual atas suatu peristiwa besar yang pernah terjadi pada penghulu manusia yakni nabi Adam serta rekonstruksi spiritual yang dialami Nabi Ibrahim dan nabi Isma’il.

Dengan menjelajah jejak-jejak beliau dalam ibadah haji, kita diharapkan bisa meneladani dan memiliki kesamaan bentuk, perilaku, sikap yang sama seperti Nabi Ibrahim serta untuk memahami potret kehidupan sosial beliau dengan mengambil hikmah untuk ditransformasikan ke dalam dimensi sosial masyarakat sepulang dari ibadah haji. Misalnya ketika jama’ah berada di Mina, mereka diingatkan kepada jejak nabi Ibrahim yang beribadah dengan menyembelih sekian ratus binatang ternaknya hingga membuat kaget malaikat.

Akhirnya beliau berkomitmen untuk menyembelih putranya sebagai bentuk penghambaan dan totalitas kepada Allah. Maka berkurban ini merupakan potret ibadah yang bernilai sosial dan patut untuk kita teladani dari sikap dan perilaku nabi Ibrahim.

Kurban yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim, dilandasi dengan perasaan ikhlas yang bertujuan mengembalikan harta melimpah yang dianugerahkan kepada beliau untuk dikembalikan kepada Allah sebagai pemilik yang sebenarnya.

Ketika kita di Arafah, diingatkan dengan ibadah nabi Ibrahim ketika mengawali hajinya dan pertemuan antara nabi Adam dan Siti hawa demikian seterusnya.

Oleh karena itu, haji mabrur berarti dimensi sosial dan spiritualnya artinya orang yang sudah melakukan haji lebih baik dari sebelumnya bukan saja pada aspek ibadah, tetapi juga pada aspek ucapan, sikap, perilaku sosial dalam segala aspek kehidupan. Tentunya dengan meneladani Nabi-nabi tersebut yang sudah dirasakan jejak langkahnya dalam pelaksanaan haji.

Dawuh almarhum Kiai Abdul Haq Nurul Jadid Paiton Semua jama’ah haji mabrur, namun sejauh mana mereka bisa menjadi label kemabruran ketika sudah pulang ke tanah air.

Sebab, sirkulasi kemabruran dalam perjalanan spiritual dari ibadah haji ini tidak hanya stagnan sampai tibanya jamaah haji kerumah masing-masing. Ada satu harapan besar dari mereka sendiri serta keluarga dan lingkungannya. Yakni keberkahan sepulang dari tanah suci benar-benar bisa mensucikan lingkungan dengan perilaku, akhlak dan sikap yang ditampilkan sebagai manifestasi kemabruran dari pelakunya?

Mengapa? Karena Allah janjikan sendiri siapapun yang mendapat predikat haji mabrur maka Golden tiket surgawi menjadi jaminan untuk dirinya. Salah satu upaya untuk sampai pada predikat haji mabrur tersebut tentunya dengan niat yang benar ketika akan berangkat haji dan mewujudkan niatnya selama pelaksanaan haji serta terus mengimplementasikan nilai-nilai spiritual dari tanah suci dalam kehidupan sosial di lingkungannya.

Sebab, haji tidak hanya sekedar menggugurkan kewajiban atau hanya “menyabet” status Haji semata, melainkan kontribusi apa yang bisa dilakukan pasca ibadah haji tersebut. Jangan sampai berangkat ke tanah suci justru lalai artinya mencampur adukan religiusitas agama dengan rutinitas sosial yang bersifat duniawi, Seperti berniaga maupun tujuan jalan-jalan (tamasya), sebab garis demarkasi keduanya sangat sulit dibedakan.

Padahal pelaksanaan haji dalam al Qur’an sudah diberi panduan bagaimana seharusnya perilaku yang baik dalam berhaji, yakni barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.

Firman tersebut, salah satu pedoman serta akhlak dan etika bagi jama’ah selama pelaksanaan haji. Oleh karena itu, pelaksanaan haji merupakan “madrasah kolosal” dan riyadhah (latihan) serentak bagi siapapun selama perjalanannya. Hasil dari perjalanan spiritual ini diharapkan bisa diaktualisasikan untuk mencapai insan yang memiliki kesalehan sosial dan spiritual.

Titik klimak dengan bertambahnya kebaikan (ziyadatul khoir) bagi orang yang telah melakukan ibadah haji ini yang kemudian menjadi barometer kelayakan seseorang disebut haji mabrur.

Bahkan kebaikan ini tidak hanya berimplikasi untuk dirinya sendiri, melainkan juga mampu mempengaruhi dan memberi contoh kepada orang lain dengan meneladani karena mereka sudah terinspirasi dan termotivasi perilaku para Rasul, nabi, sholihin selama napak tilas, termasuk interaksi sosial untuk saling toleransi dan menghormati antar sesama jamaah haji.

Jadi, indikasi haji mabrur setidaknya bermuara pada tambah dan tumbuhnya kebaikan kepada orang lain dalam sikap, perilaku, budi pekerti. Demikian sebaliknya, indikasi dari ibadah haji yang ditolak (mardud) saat tidak ada atsar (pengaruh) yang membawa perubahan akhlak, iman dan amal baik penyandang label Haji.

Kemabruran ini tidak dinilai dari kuantitas dan durasi kunjungan ke Haromain, tetapi lebih pada kualitas kebaikan yang dilakukan saat akan, sedang dan sudah haji. Banyak orang berkali-kali ibadah haji tetapi belum mencapai predikat mabrur, tidak sedikit hanya sekali haji tetapi sudah mampu mencapai status mabrur.

Jadi, predikat Haji yang telah disandang setidaknya mengingatkan bahwa para jamaah Haji telah menyempurnakan keislamannya tentu harus diiringi oleh kesempurnaan akhlak dan aqidahnya. Untuk itu, bagi yang akan dan ingin meraih predikat mabrur tersebut seyogyanya sudah menancapkan niat sholat sedini mungkin saat masih menabung, persiapan, tujuan dan proses pelaksanaan yang dilandasi semata-mata beribadah kepada Allah swt dan berziarah untuk bersimpuh di hadapan Rasulullah saw. (*)

 

*) Dr. Suheri, M.Pd.I, Ketua STAI At Taqwa Bondowoso Jatim

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES