
TIMESINDONESIA, PALEMBANG – Prinsip jurnalisme untuk melaporkan dan mencakup dua belah pihak (cover both sides) tidak selalu diterapkan. Waktu telah berubah saat ini. Jurnalis sebuah media hanya melihat apa yang ingin mereka lihat.
Lihat saja fenomena kerusuhan baru-baru ini di Perancis. Orang-orang melihat kendaraan terbakar di jalanan dan petugas polisi mengejar dan menangkap pengunjuk rasa. Ini jelas merupakan bukti bahwa ada masalah yang sudah lama berurat dan berakar di Prancis, seperti rasisme atau reaksi terhadap imigrasi. Namun, media barat tidak melihatnya seperti itu.
Advertisement
Coba lihat artikel di Politico pada 3 Juli 2023 yang berjudul “The Politics of the French riots” (Politik kerusuhan Perancis) yang menulis, "This is largely an insurrection without aims... The riots are, in a sense, anti-France" (Ini sebagian besar adalah pemberontakan tanpa tujuan... Kerusuhan tersebut, dalam arti tertentu, anti-Perancis). Bila kerusuhan ini berlangsung di Indonesia, Malaysia, Bangladesh atau Afrika Selatan, media Barat dengan cepat bakal menyebut para demonstran ini pro-demokrasi.
Kita juga bisa baca The Washington Post pada 5 Juli 2023) yang menulis "Franc's riots create an opening for the far right" (Kerusuhan Perancis membuka jalan bagi sayap kanan). Orang-orang memprotes dan marah dengan rasisme sistemik. Mereka muak diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. Tetapi ketika mereka memprotes, mereka dituduh membantu partai sayap kanan. Bagi The Washington Post, kerusuhan ini adalah persoalan kelas.
The Guardian juga mengambil sudut pandang yang problematis. Lihatlah tajuk utama surat kabar ini saat merespons kerusuhan di Perancis, “a grim tale of the growing gulf between haves and have-nots” (kisah suram tentang jurang yang tumbuh antara kaya dan miskin).
The Guardian memandang kerusuhan ini sebagai pertarungan antarkelas. Boleh jadi ada unsur-unsur kelas di sana, tapi menembak seorang anak berusia 17 tahun, bukan hanya masalah kelas. Ini adalah isu rasisme.
Lalu The New York Times pada 29 Juni 2023, menyebut penembakan polisi di Perancis sebagai tantangan baru bagi Macron, “Police Shooting in France Presents New Challenge for Macron". Surat kabar terbesar di dunia ini tidak menyinggung cacat kebijakan Macron, tapi hanya menyebutnya tantangan.
Tulisan The Wall Street Journal pada 3 Juli 2023 bahkan tidak peduli dengan aksi protes dan hanya khawatir terhadap polisi Perancis. Silakan baca dua laporannya, “French Riots Test Macron's Loyalty to Police” (Kerusuhan Perancis menguji kesetiaan Macron kepada polisi). Judul lain pada 2 Juli 2023 mengatakan, "Behind French Riots Lie Years of Anger Over Police Conduct” (Di balik kerusuhan Perancis ada kemarahan menahun atas perilaku polisi). Jadi kerusuhan tersebut bukan rasisme sistemik dan juga bukan sentimen anti-imigrasi. Ini semua tentang perilaku polisi.
The New York Times mengatakan hal yang sama, “French Police won Authority to Shoot at drivers, but Got No training Whatsoever” (Polisi Perancis punya wewenang untuk menembak pengemudi, tetapi belum terlatih). Apakah seseorang butuh pelatihan untuk membunuh? Menembak seorang bocah berusia 17 tahun secara secara alamiah, tak harus diajarkan atau dilatih. Namun di Perancis itu semua karena kurangnya pelatihan. Kita dapat memahami strategi yang diterapkan media massa Barat di sini; jangan salakan pemimpin, jangan salahkan lembaga-lembaga. Kesalahan harus dipulangkan kepada persoalan yang kompleks, seperti kelas dan sejarah. Sayangnya di negara-negara lain yang berlaku adalah kebalikannya.
Hal yang sama juga kentara di Le Monde, koran Prancis. Lihatlah liputannya tentang Presiden Macron pada 3 Juli 2023, "Riots in France: Macron bases three-stage response on empathy, firmness and a moral jolt" (Kerusuhan di Prancis: Macron mendasarkan respons tiga tahap pada empati, keteguhan dan gerakan moral). Artinya, penangkapan tiga ribu orang adalah perwujudan empati. Macron juga menyarankan agar media sosial dibatasi.
Faktanya adalah media sosial dapat mengobarkan situasi seperti itu, tetapi ketika pemerintah lain melakukannya, itu adalah kejam. Saat Macron melakukannya, itu adalah sentakan moral apa pun artinya. Media Barat kerap menerapkan pola-pola ini pada kebanyakan pemimpin Asia dan Afrika.
Coba baca juga berita utama Politico tentang Bangladesh paa 10 Maret 2022 lalu: “Does Bangladesh's Prime Minister still believe in democracy?" (Apakah Perdana Menteri Bangladesh masih percaya pada demokrasi?). Beberapa laporan juga mempertanyakan penangkapan para kritikus pemerintah. Kita tidak mengatakan itu buruk. Kita hanya meminta, lakukan hal yang sama terhadap Perancis.
Media Barat memperlakukan kerusuhan Perancis secara lembut, tidak ada tajuk berita eksplosif, tidak ada editorial yang tajam. Semuanya bagus dan sopan. The New York Times pada 3 Juni 2023 bahkan mengeluarkan artikel informatif ini, "Traveling to France. What You Need to Know about The Protests" (Kunjungilah Prancis. Apa yang perlu Anda ketahui tentang protes.)
Laporan media seperti itu berasal dari rasisme yang kental. Kerusuhan di Barat adalah anomali bagi mereka. Namun kerusuhan apa pun di Asia atau Afrika adalah norma dan sangat mungkin dilakukan oleh pemerintah atau pemegang kekuasaan.
*) Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
______
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Sholihin Nur |
Konten promosi pada widget ini bukan konten yang diproduksi oleh redaksi TIMES Indonesia. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.