Kopi TIMES

Pendidikan Sekolah Menengah, Penentu Sukses Jadi ASN

Senin, 17 Juli 2023 - 10:52 | 62.14k
Galan Rezki Waskita (Alumni HMI Malang).
Galan Rezki Waskita (Alumni HMI Malang).

TIMESINDONESIA, MALANG – Satu di antara persoalan terberat yang dihadapi masyarakat dan negara adalah kurangnya lapangan kerja. Sementara satu di antara indikator seseorang dikatakan sejahtera adalah karena ia bekerja. Maka disimpulkan banyak orang belum sejahtera karena belum bekerja. Kenyataan ini sangat mungkin dapat dilihat langsung di sekeliling kita.

Pemerintah secara konsisten membuka lowongan pekerjaan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Secara konsisten pula banyak yang tidak mampu lolos seleksi ASN. Padahal, soal-soal seleksi 70-80 %serupa materi sekolah menengah. Maka seharusnya setiap yang lulus SMA pasti bisa lulus tes ASN.

Advertisement

Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), Tes Intelegensi Umum (TIU), dan Tes Karakteristik Pribadi (TKP) telah menjadi bagian dari kurikulum sekolah. Materi serupa tetap ada di ujian kenaikan kelas dan kelulusan. Hanya saja materi ini disusun dalam mata pelajaran yang berbeda-beda. Pada tolok ukur seperti itu, tenaga ASN semestinya hanya tinggal di pilih dari tamatan siswa SMA sederajat.

Namun atas dasar kondisi yang berlaku hari ini, tes ASN seolah menegaskan hasil dari pendidikan sekolah menengah masih diragukan. Padahal produk pendidikan itu juga adalah produk negara. Anggapan serupa juga dapat dilihat dalam tes seleksi BUMN yang di dalamnya termasuk tentang pelajaran Bahasa Inggris. Materi Toefl jelas telah diajarkan di tataran SMP dan SMA.

Mungkin memang tidak hanya perkara pemahaman terhadap materi, melainkan juga terkait penjaringan nilai tertinggi. Banyak orang yang lolos passing grade namun tak lulus karena kalah skor. Tapi harus diketahui bahwa jumlah mereka yang nilainya di bawah passing grade jauh lebih banyak. Maka benar bahwa kualitas pendidikan sekolah menengah adalah jalan penentu sukses menjadi ASN.

Sebenarnya beberapa kebijakan penunjang telah diterapkan Pemerintah. Dimulai dari pengaturan penyaluran dan penggunaan dana Bantuan operasional Sekolah (BOS). Ada pula program sekolah penggerak, Guru penggerak, empat pokok program merdeka belajar, dan lain sebagainya. Semua telah diatur secara holistik. Kebijakan konsentrasi pada metode, instrumen ajar, dan sumber daya pengajar.

Sayangnya instrument ini tidak menyasar pada dunia profesi. Sehingga, Jenjang sekolah menengah selain SMK dominan berkutat pada teori. Karena itu umumnya para siswa condong berorientasi hanya pada angka hasil ujian. Siswa menjadi telat berpikir terkait indikator dan definisi kesejahteraan.

Keterangan ini tidak dimaksudkan untuk menyatakan menjadi ASN adalah satu-satunya profesi yang menjamin kesejahteraan. Penulis hanya mengajak untuk lebih realistis. Menjadi ASN adalah profesi alternatif paling tepat bagi para pencari kerja di Indonesia. Situasi ini terjadi terutama pada daerah non industri.

Tidak semua kota seperti Jakarta dan Surabaya yang memiliki banyak opsi pekerjaan bagi masyarakatnya. Ada tempat-tempat yang masih sangat terbatas untuk mengakses segala sesuatu. Karena itulah dikenal istilah daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar (3T). Singkatnya daerah ini jauh terbelakang dibanding daerah lainnya terutama soal ekonomi.

Pola pendidikan di Indonesia sebenarnya telah lebih fleksibel dibandingkan sebelumnya. Guru diminta berinovasi dan siswa diberikan ruang berekspresi. Maka semestinya ada banyak pos-pos baru yang menjamin kesejahteraan. Misalnya dengan belajar pengaplikasian prinsip matematika dalam wirausaha. Guru juga bisa membahas prospek bahasa asing dalam profesi Penerjemah Naskah, Tour Guide, dan sebagainya.

Tentunya pendidikan konvensional seperti tuntutan TIU, TWK, dan TKP tetap diadakan. Hal ini karena negara sendiri melalui tes CPNS dan BUMN menstandarkan kompetensi seseorang berdasarkan materi tersebut. Kewajiban ini terlepas apakah para siswa ini berniat menjadi ASN atau pegawai BUMN.

Sayangnya inovasi atau kewajiban yang dititipkan pada guru sampai dengan hari ini belum menunjukkan hasil yang maksimal. Tentu tidak bisa diklaim 100% salah. Mengingat fleksibilitas kegiatan belajar mengajar terhitung sebagai kebijakan yang baru diterapkan saat periode Mendikbud Nadiem A Makarim.

Kedepannya para guru harus sedikit lebih praktis dan teknis dalam membawakan sebuah materi. Kebijakan telah bergerak pada porsinya. Menuju kesejahteraan akan selalu memerlukan tindakan kolektif. Memang benar pendidikan tidak hanya soal meraih profesi. Tapi ekonomi tetaplah menjadi bagian terpenting dari tujuan pendidikan.

***

*) Oleh: Galan Rezki Waskita (Alumni HMI Malang).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

Konten promosi pada widget ini bukan konten yang diproduksi oleh redaksi TIMES Indonesia. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES