Kopi TIMES

Kesenjangan dalam Pendidikan: Studi Kasus Akses Pendidikan di Masyarakat Adat

Senin, 17 Juli 2023 - 14:02 | 310.46k
Widhy Vania Malinda, Alumni Magister Universitas Andalas.
Widhy Vania Malinda, Alumni Magister Universitas Andalas.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pendidikan merupakan salah satu bentuk humanisasi yang dapat melepas belenggu manusia dari situasi-situasi di luar batas manusia. Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam membangun peradaban bangsa. Pendidikan menjadi hak preogratif yang harus diterima oleh setiap individu, oleh karenanya pendidikan harus bersifat merata.

Pendidikan pada hakekatnya haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Di era yang sudah modern ini, pendidikan pun sudah dielaborasi dan disesuaikan dengan peradaban digitalisasi yang semakin maju tanpa menghilangkan esensi dari pendidikan itu sendiri. Di Indonesia misalnya, perubahan kurikulum terus mengalami inovasi seiring tuntutan dunia pendidikan yang terus berkembang mengingat juga harus mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi masa yang akan datang. Kendati demikian, nilai dan moral menjadi acuan utama sebagai landasan fundamental dalam sistem pendidikan di Indonesia.

Advertisement

Perkembangan peradaban yang semakin modern merubah wajah pendidikan agar dapat menciptakan model-model pendidikan berbasis teknologi. Pendidikan yang sah dan dijalankan saat ini adalah pendidikan dengan standarisasi nasional yang telah ditetapkan beradasarkan undang-undang dan keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sistem pendidikan yang dijalankan di setiap daerah tetap mendapatkan kurikulum yang sama di setiap tingkat sekolahnya. Hal ini agar semua peserta didik mendapatkan hak mereka secara merata tanpa adanya pengkategorian antara sekolah di kota dengan sekolah yang ada di desa. Meskipun tidak dapat dipungkiri realita di lapangan memperlihatkan bagaimana  diferensiasi antara keduanya.

Kendati demikian pemerintah pun juga terus melakukan upaya penyelarasan agar peserta didik yang tinggal di desa tidak tertinggal.  Keterbatasan akses dan kemampuan SDM menjadi salah satu faktor mengapa pendidikan di desa tertinggal dibandingkan dengan di kota, hal ini tentu akan berimplikasi kepada kesenjangan dalam pendidikan. Tidak hanya itu kondisi masyarakat yang heterogen di Indonesia tidak dapat dipungkiri, hal ini dapat dilihat dari adat budaya, hukum, sosial, bahkan pendidikan sekalipun yang cenderung berbeda dengan masyarakat pada umumnya.

Katakan saja masyarakat adat misalnya, mereka yang mempunyai adat istiadat sendiri dalam mempertahankan kehidupannya secara turun temurun dari pendahulunya bahkan jarang terdampak dalam perubahan sosial. Demikian halnya dengan pendidikan bagi masyarakat adat, tidak menutup kemungkinan bahwasannya pendidikan masyarakat adat juga memiliki mekanisme yang berbeda dari standar pendidikan nasional.

Pendidikan di masyakarat adat merupakan salah satu gambaran bagaimana keberagaman wajah pendidikan di Indonesia. Pendidikan masyarakat adat yang cendrung mengadopsi lebih banyak budaya setempat yang menjadi bagian kearifal lokal (local wisdom) jika dibandingkan dengan pendidikan nasional yang sebagian besar didasarkan pada budaya arus utama dan cenderung meminggirkan perspektif dan pengalaman masyarakat adat dengan yang menjadikan kurikulum sebagai tolok ukur. 

Dilansir dari lipi.go.id, menurut (Anggi Afriansyah, dkk, 2019), Keberadaan masyarakat (hukum) adat telah diakui oleh konstitusi, dipagari oleh beberapa undang-undang sektoral, beberapa peraturan menteri, hingga berbagai peraturan daerah. Terkait sektor pendidikan, sesuai amanat UU Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 5 ayat 3 disebutkan bahwa Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, merupakan sebuah pengakuan bahwa keberadaan masyarakat adat menjadi bagian dari kebijakan sistem pendidikan nasional. Secara lebih eksplisit, Permendikbud 72 tahun 2013 tentang Pendidikan Layanan Khusus (PLK) memberikan fokus tentang pentingnya pendidikan untuk masyarakat adat. 

Lantas bagaimana menyelaraskan pendidikan nasional dengan pendidikan masyarakat adat ? Jika saat ini pendidikan nasional menggunakan kurikulum merdeka, apakah pendidikan masyarakat adat juga menggunakan sistem yang serupa atau tetap menggunakan kurikulum yang itu-itu saja seperti kurikulum 2006 atau kurikulum 2013. 

Menyoal Pendidikan Masyarakat Adat di Indonesia

Masyarakat adat merupakan kesatuan masyarakat yang tetap dan teratur dimana para anggotanya bukan saja terikat  pada tempat kediaman suatu daerah tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani tempat pemujaan roh-roh leluhur (teritorial) tetapi juga terikat pada hubungan keturunan dalam ikatan pertalian darah atau kerabat yang sama dari satu leluhur mereka baik secara tidak langsung melalui ikatan perkawinan atau pertalian adat (genealogis) (Himan, 2003). Menurut PBB, masyarakat adat adalah pewaris dan praktisi dari budaya dan cara-cara unik dalam hubungan antara masyarakat dan lingkungan. Orang-orang adat mempertahankan karakteristik sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang berbeda dari masyarakat dominan di mana mereka tinggal. 

Berbicara mengenai masyarakat adat, dapat dilihat bagaimana paradigma terhadap masyarakat adat itu sendiri dengan berbagai aspek kehidupan mereka termasuk pengetahuan, keterampilan hidup, serta permasalahnya. Narasi pembangunan yang linear ala Walt Whitman Rostow (1959) memandang masyarakat adat yang hidup tradisional merupakan kelompok yang berada di urutan paling belakang dalam tahap pembangunan ekonomi. Pengetahuan mereka dianggap sebagai pengetahuan kuno, tertinggal, atau sekadar artefak masa lampau.

Melihat kondisi tersebut, masyarakat adat seharusnya sudah ditarik untuk maju mengikuti arus modernitas dengan memperhatikan pendidikan bagi anak-anak di masyarakat adat, hal ini bukan berarti menghilangkan kultur yang sudah dijaga semenjak dahulunya tetapi menciptakan generasi dari masyarakat adat itu sendiri secara intelektual, berifikir kritis dan adaptif agar nantinya para generasi muda di masyarakat adat tidak mengalami cultural shock meghadapi perdaban modern sehingga  tetap mampu mempertahankan identitas dan budaya konservatif mereka.  

Pendidikan bagi masyarakat adat yang ada di Indonesia merupakan hal yang krusial karena masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku dan adat istiadat. Selama ini pendidikan nasional berpatokan kepada kurikulum dan capaian-capaian untuk memenuhi standar pendidikan dapat dilihat bagaimana sistem pendidikan bersifat dinamis sesuai dengan kebutuhan industrialisasi. Sebagian besar pendidikan nasional didasarkan pada budaya arus utama dan cendrung mengesampingkan perspektif dan pengalaman masyarakat adat. Sementara itu di sisi lain, pendidikan masyarakat adat harus disesuaikan dengan konteks budaya lokalisasi setempat serta memasukkan sejarah dan budaya masyarakat adat ke dalam sistem pendidikan untuk memastikan betapa pentingnya kontribusi mereka bagi masyarakat secara keseluruhan.

Dikutip dari kompas.id, menurut Butet Manurung dalam webinar “Komunitas Adat dan Indonesia Sebagai Proyek Bersama” yang diselenggrakan Pusat Studi Heritage Nusantara Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2021 lalu, Butet menekankan pendidikan adat harus berkontirbusi pada keseharian hidup dan penyeleseian masalah mereka. Sebab jika sekadar nostalgia ia akan ditinggalkan. Pengetahuan adat tersebut akan diterima dan akan terus bertahan selama alam serta lingkungannya juga bertahan. Oleh karenanya pendidikan masyarakat adat yang ada di Indonesia harus relate berdasarkan nilai-nilai budaya lokal, nilai kebangsaan Indonesia dan nilai-nilai HAM.

Kendati demikian, realitas keberadaan masyarakat adat di Indonesia yang sangat heterogen khususnya terkait kondisi geografis, interaksi dengan budaya luar, dan akses terhadap pendidikan menjadikan Pendidikan Layanan Khusus (PLK) untuk masyarakat adat sangat bervariasi. Tidak ada suatu model yang dapat diaplikasikan pada semua ekosistem masyarakat adat di Indonesia. Dilansir dari lipi.go.id, menurut (Anggi Afriansyah, dkk. 2019) memaparkan hasil penelitannya bahwa narasi pendidikan bagi masyarakat adat, tidak dapat diperlakukan secara seragam.

Tiga model empiris pendidikan untuk masyarakat adat, yaitu pendidikan pada Orang Rimba wilayah Makekal di Taman Nasional Bukit Dua Belas Jambi; pendidikan sekolah dasar negeri di Kasepuhan Cirompang Lebak Banten; dan pendidikan Sekolah Uma di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Ketiga model tersebut memberikan berbagai kekayaan modal sosial dan kultural yang sulit untuk diseragamkan. Tetapi belajar dari ketigat model pendidikan tersebut, beberapa hal yang mempunyai kesamaan adalah, (1) adanya orang-orang yang secara konsisten merawat keberadaan pendidikan tersebut, (2) adanya organisasi non pemerintah yang terlibat dan (3) keberadaan pemerintah sebagai fasilitator.

Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan pendidikan untuk masyarakat adat yang berdasarkan pada nilai-nilai adat lokal, basis produksi lokal, dan pertemuan dengan nilai-nilai kebangsaan Indonesia bukanlah hal yang saling meniadakan, melainkan saling melengkapi. Hal ini terjadi karena nilai-nilai kebangsaan itu sendiri banyak dilandasi oleh nilai-nilai lokal dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Ketiga model pendidikan adat tersebut telah membuktikan pertemuan nilai-nilai tersebut telah membuktikan pertemuan nilai-nilai tersebut.

Menguak Problema Pendidikan di Masyarakat Adat, Menghampus Kesenjangan dalam Pendidikan

Realita pendidikan masyarakat adat di Indonesia masih menghadapi tantangan dan keterbatasan. Masih banyak problematika yang musti menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah pusat dan daerah. Peran pemerintah setempat juga harus dapat lebih memfasilitasi dalam membuat regulasi bagaimana mekanisme pendidikan adat agar dapat seimbang dengan standar pendidikan nasional.

Melihat berbagai problema yang dihadapi, pertama, keterbatasan akses pendidikan, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil dan terisolir. Hal ini tentu menjadi point utama mengingat jika daerah terpencil tentu juga akan susah di jangkau oleh jaringan internet yang menjadi salah satu penunjang pembelajaran selain buku panduan. Perkembangan peradaban saat ini tidak bisa menepiskan peran teknologi untuk dapat berkontirbusi dalam keseharian manusia. Kita sudah dituntut untuk dapat hidup dengan beriringan dengan era digitalisasi.

Demikian halnya dengan pendidikan, ada banyak ilmu pengetahuan yang tidak tertuang dalam buku panduan pembelajaran, namun dapat diperoleh di internet. Tidak hanya sebatas penggunaan internet untuk pembelajaran, hal ini sangat penting dalam menciptakan generasi yang akan datang tidak mengalami literasi teknologi. Meskipun masyarakat adat memiliki ekosistem yang berbeda dengan budaya masyarakat pada umumnya, mereka juga berhak mendapatkan kesetaraan dalam pengetahuan teknologi terutama dalam hal pendidikan bagi anak-anak di sana.

Kedua, fasilitas dan sarana pendidikan yang belum memadai di wilayah mereka. Kurangnya sarana seperti gedung sekolah, perpustakaan, laboratorium atau alat peraga menjadi kendala dalam pembelajaran. Fasilitas pendidikan seperti ini memang tampaknya tidak begitu krusial, namun memberikan implikasi yang berarti seperti mereka tidak nyaman jika belajar di ruangan  yang serba terbatas dan cendrung membosankan.

Ketiga, kurikulum yang tidak relevan. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, secara dominan kurikulum pendidikan formal tidak mempertimbangkan kearifan lokal dan budaya masyarakat adat. Hal ini tentu menjadi pertimbangan bagi pihak yang membuat kurikulum mengingat betapa banyaknya budaya dan adat istiadat yang ada di Indonesia untuk dimuat sejarahnya dalam satu buku.

Tetapi sistem pendidikan nasional memang sejak dulunya sudah memasukkan budaya lokal setempat di dalam kurikulumnya. Jadi, masing-masing provinsi yang ada di Indonesia ada tambahan pembelajaran mengenai budaya daerah mereka. Tapi hal ini tidak secara gamblang untuk menguak bagaimana kehidupan masyarakat adat yang ada di masing-masing daerahnya. Hal ini mengakibatkan kurangnya pemahaman dan apresiasi terhadap kebudayaan dan tradisi masyarakat adat.

Problematika selanjutnya yaitu tenaga pendidik yang mengajar di wilayah masyarakat adat kurang memahami tentang kearifan lokal dan budaya masyarakat adat tersebut mengingat tenaga pendidik yang ditugaskan untuk mengajar di mayarakat adat tidak hanya berasal dari wilayah setempat, tetapi juga berasal dari luar. Tidak heran jika tidak semua tenaga pendidik paham dengan budaya setempat. Sosialiasi dan adaptasi dapat dilakukan kepada tenaga pendidik yang baru memasuki wilayah masyarakat adat agar tidak menghambat proses pembelajaran yang relevan bagi masyarakat.

Tantangan dalam memadukan  pendidikan formal dan kearifan lokal menjadi problema selanjutnya. Masyarakat adat kerap dilema untuk menyelaraskan pendidikan nasional dengan budaya mereka. Terdapat tekanan untuk mengikuti kurikulum nasional yang sering kali tidak memperhatikan keunikan dan kekhasan budaya masyarakat adat. 

Seyogyanya, pendidikan yang dijalankan dengan standar nasional ataupun pendidikan yang dijalankan di masyarakat adat beralaskan kearifan lokal budaya setempat tetap berjalan pada koridor hakikat pendidikan yakni humanisme atau memanusiakan manusia  agar tidak terjadi dehumanisasi hanya saja  mekanisme implementasinya yang berbeda. Melalui pendidikan, internalisasi nilai dan norma dapat di sosialisasikan kepada generasi muda. Standar pendidikan nasional yang ditetapkan dan diimplementasikan sebagai rujukan pelaksanaan pendidikan yang ada di Indonesia  melalui kurikulum yang telah ditetapkan nyatanya belum memenuhi kebutuhan pendidikan masyarakat adat di Indonesia yang beragam melihat dari kondisi geografis dan interaksi dengan budaya luar.

Poblema pendidikan di masyarakat adat harus dibahas tuntas tanpa mengesampingkan kebutuhan dari masyarakat adat itu sendiri agar kesenjangan dalam pendidikan tidak terjadi terus menerus. Akses pendidikan bagi masyarakat adat tetap mengadopsi nilai esensi budaya setempat mereka dan tentunya juga dipadupadankan dengan kurikulum pendidikan nasional  agar generasi muda tetap melestarikan budayanya serta dapat menyesuaikan diri dengan peradaban yang terus berkembang.

Upaya pemerintah pusat dan daerah sangat penting dalam membangun hubungan dengan masyarakat adat dan membangun pendidikan bagi masyarakat adat. Sehingga nantinya akan menciptakan iklim pendidikan yang setara tanpa adanya diferensiasi dalam dunia pendidikan.

***

*) Oleh: Widhy Vania Malinda, Alumni Magister Universitas Andalas.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES