
TIMESINDONESIA, PONTIANAK – Apel Siaga Perubahan Partai Nasdem di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta, Ahad (16/7/2023) adalah peristiwa politik. Pesan utama yang bisa ditangkap adalah bahwa Partai Nasdem hendak menunjukkan soliditasnya dalam persiapannya menghadapi Pileg dan Pilpres tahun 2024 melalui konsolidasi internal dengan format apel siaga yang dihadiri sekitar 200 ribu kader seluruh Indonesia.
Dalam apel siaga itu, yang ditunggu oleh publik adalah tentu saja pidato politik bacapres Anies Baswedan dan tokoh kunci koalisi Perubahan, Surya Paloh. Pidato politik itu penting disimak dan diamati sebagai gambaran terbaru dari dinamika politik mutakhir terutama dalam arus silaturahmi politik antar partai jelang pendaftaran capres-cawapres bulan Oktober mendatang. Sejauh ini, narasi perubahan yang digemakan oleh koalisi perubahan belum menampakkan distingsinya yang kuat terutama terhadap apa yang telah dicapai oleh pemerintahan Jokowi yang mengantongi kepuasan publik 80 persen.
Advertisement
Sehingga, menempatkan gagasan perubahan di tengah-tengah kepuasan publik terhadap pemerintah yang tinggi memiliki kesulitannya sendiri. Di samping itu, positioning Partai Nasdem diantara koalisi pemerintahan Jokowi yang masih tersisa satu tahun lebih dan posisi dan gerakan politiknya yang 'memisahkan diri' dari 'arena politik' Jokowi menambah jalan koalisi perubahan makin berkelok dan mendaki. Anies sendiri dalam pidato pendeklarasiannya telah menduga akan ada jalan terjal dan mendaki di depan. Sehingga, jika dalam perjalanan pengenalan dirinya di berbagai tempat menemukan jalan terjal dan mendaki, sesungguhnya telah sesuai dengan daya prediksinya.
Jika realitas keterjalan atau bahkan lebih jauh 'penjegalan' ini akan digunakan sebagai cara untuk mendapatkan simpati publik, tentu menjadi bagian dari pilihan-pilihan komunkasi politiknya. Dalam era post-truth dimana konstruksi media sosial yang makin efektif, akan terjadi 'pertarungan wacana' yang sengit. Pada saat yang sama harus diakui bahwa masyarakat pemilih telah menempati kecerdasannya sendiri dalam melihat, mengamati, dan mengalami para aktor politik di Indonesia.
Objektivikasi rekam jejak
Tulisan ini tidak akan mempercakapkan simpang siur koalisi dan penantian cawapres untuk tiga besar bacapres dengan seluruh dinamika dan drama-dramanya di 'panggung depan' politik. Tulisan ini hanya hendak merefleksikan sebagian karakter politik Indonesia dimana faktor religuisitas selalu menyertai perjalanan politik Indonesia baik pada ranah ideologis maupun praktis. Agama di Indonesia, juga di sebagian belahan negara lain akan mudah dibawa masuk dalam gelenggang politik. Identitas keagamaan dengan seluruh narasinya seringkali terbukti efektif sebagai 'alat komunikasi' menuju tangga kekuasaan. Bahkan, dalam sejarah perjalanan politik Islampun, praktek 'politisasi agama' telah ada di era awal Islam.
Sekarang coba kita perhatkian peristiwa politik yang berkaitan dengan aktor bernama Anies Baswedan. Sebagai bacapres dari koalisi perubahan, diakui atau tidak ia merupakan aktor yang melakoni (setidaknya menikmati) proses kontestasi kekuasaan dengan penyertaan agama sebagai 'komoditas politik' dalam pilkada DKI tahun 2016 silam. Terjaganya percakapan publik tentang pemanfaatan - setidaknya pembiaran - agama oleh Anies Baswedan dan team-nya sebagai 'alat kampanye' di Pilkada DKI tahun 2016 menjadi dilema bagi pematangan demokrasi itu sendiri. Artinya, tidak mungkin berharap terhadap sehatnya demokrasi dengan membiarkan kegiatan 'politisasi agama' memasuki gelanggang politik demokrasi Indonesia.
Jejak sosiologis pasca pilkada DKI dan jelang pilpres 2019 adalah jejak terburuk dalam sejarah politik Indonesia pasca reformasi. Fakta keterbelahan masyarakat Indonesia akibat pertarungan politik yang dibasahi oleh 'air kebencian' antar kelompok hampir memporakporandakan keutuhan sebagai bangsa. Anies bisa saja 'cuci tangan' dari labelisasi menguatnya politik identitas dalam Pilkada DKI terhadap dirinya. Tetapi, percakapan publik tentang pengidentifikasiannya dengan aktor politik identitas menjadi tak terhindarkan.
Bagi pendukung lawannya, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dan para penyokong Jokowi di pilpres 2019, jejak pilkada 2016 akan selalu memoreble dan akan menjadi prefernsi sosial dalam pilpres 2024. Jika peristiwa ini dinggap sebagai 'jalan terjal' bagi Anies, maka kemempuan untuk mengajak menghilangkan sejarah menjadi tantangan yang tidak mudah. Bagi saya, sebagai 'aktor populis' Anies dan para penyokongnya berhasil mengelola narasi keagamaan untuk meyakinkan 'the people' (ummah) dalam politik elektoral pada masa itu. Pertanyaannya sekarang, apakah akan mengalami keberhasilan yang mengulang pada pilpres 2024?
Di bagian lain, legacy Anies dalam kapasitasnya sebagai gubernur DKI terus 'diperkarakan' oleh mereka yang tidak mengehndakinya menjadi presiden. Pertarungan program dan narasi antara 'naturalisasi' dan 'normalisasi' sungai di Jakarta, pelebaran jalan-jalan di Jakarta untuk pejalan kaki, dan yang paling heboh soal kelayakan Jakarta International Stadion (JIS) untuk Piala Dunia U-17 adalah jalan-jalan terjal yang lain sebagai bagian dari resiko seseorang untuk bertarung. Bagi Anies dan pendukungnya, semua legacy itu adalah rekam karya sebagai modal untuk menaiki tangga kekuasaan yang lebih luas.
Tapi bagi pendukung pesaingnya, justru sebaliknya: menganggap sebagai 'proyek gagal'. Untuk semua narasi itu, sejatinya tidak hanya Anies yang mengalaminya. Jokowi sejak pilpres 2014 dan terlebih di pilpres 2019, stigmatisasi buruk bahkan kejam terhadap dirinya bisa jadi jauh 'lebih terjal' . tuduhan sebagai antek PKI, 'plonga-plongo', 'jongos partai', 'anti ulama', 'tukang kayu' tidak bisa bahasa Inggris telah menjadi bagian dari kampanye negatif bagi dirinya menjadi capres.
Kenyataannya, di berbagai survei - terlepas diakui atau tidak - kepuasan terhadap kepempinannya di atas 75 persen. Artinya, Jokowi berhasil menjawab aneka tuduhan negatif itu dengan karya. Sementara, profil Anies Baswedan merupakan kebalikan - untuk tidak mengatakan antitesis dari Jokowi, yaitu anti-PKI, pintar, independen (nonn partai), pencinta ulama, seorang dosen, dan mahir berbahasa Inggris. Mungkin perlu realese hasil survei tingkat kepuasan warga Jakarta terhadap kinerja kepemimpinan Anies sebagai barometer untuk menaiki tangga pilpres 2024. Karena politik, sekali lagi tidak jauh dari persepsi apalagi hidup dalam alam post-truth.
Sekarng mari kita lihat Jokowi. Narasi kritik terhadap pemerintahan Jokowi - sejauh mengenai issu keagamaan - adalah bahwa rezim Jokowi dipersepsi sebagai yang anti kebebasan bicara dan lebih jauh, telah banyak melakukan 'kriminalisasi ulama' dan karenanya jauh dari cita-cita demokrasi yang sehat. Posisi Capres KH Ma'ruf Amin sebagai representasi ulama yang bukan 'kaleng-kaleng' dan memiliki jamaah mayoritas, oleh sebagain pengkritik Jokowi, tidak dianggap sebagai yang mewakili kelompok agama.
Anggapan ini jelas sedang menunjukkan bahwa yang sedang terjadi bukanlah 'peristiwa ideologis'. Melainkan 'peristiwa politik' yang hanya bisa dipahami dari aspek politik semata, yaitu siapa menang apa dari siapa dengan cara apa. Bahwa proses menuju kemenangan dan atau kekalahan - disadari atau tidak - telah menyertakan fariabel keagamaan, itu bagian dari metode dan strategi saja. Dipilihnya KH Ma'ruf Amin sebagai capres Jokowi sekalipun - dalam batas-batas tertentu - bagian dari cara mencapai kemenangan.
Argumen politik dan sosial-keagamaan dapat diajukan untuk melegitimasi keputusan-keputusan yang bersifat taktis-stratategis. Karena itu, baik kemenangan Anies-Sandi dalam Pilkada DKI 2016 dan kemeanangan Jokowi-Ma'ruf Amin dalam pilpres 2019 dapat dikatakan sebagai peristiwa politik demokrasi yang tanpa sadar telah melibatkan faktor agama sebagai varian yang tak terpisahkan dari perjalanan demokrasi yang khas Indonesia. Narasi tentang penganalogian rezim Jokowi sebagai 'rezim Fir’aun' hingga aksi people power yang dimotori politisi senior Amien Rais adalah resiko-resiko yang harus ditanggung oleh calon pemimpin negara besar. Sehingga, sejatinya, masalah yang diadukan oeh Anies secara vertikal kepada Tuhan dan horizontal kepada para pendukungnya, dalam skala calon pemimpin nasional belumlah seberapa.
'Doa politik' di tahun politik
Tak terduga, pidato politik Anies di panggung semegah GBK penuh dengan doa. 'suasana spiritual' Anies yang baru saja kembali dari berhaji di tanah suci bisa jadi salah satu pemicunya. Lagi-lagi, jika kita masih menyepakati bahwa 'peristiwa politik' dan peristiwa agama' tidak bisa dipisahkan dalam panggung politik Indonesia, maka doa-doa Anies dalam pidato politiknya menjadi sesuatu yang inhern dalam prilaku politik Indonesia. Meskipun, agak susah dibayangkan bagaimana menikmati tingkat kekhusyu’an doa dalam panggung politik yang hingar bingar dan 'sekuler'. Agak susah juga membayangkan 'kenikmatan spiritual' dalam sajian doa-doa dalam arena pertarungan politik.
Dalam tangkapan layar kaca, jarang ditemukan ada kamera yang berhasil menyorot air mata tanda kekhusyu’an dalam doa. Meskipun beberapa kritik Anies disajikan dalam lirik-lirik doa, publik penobton dan pendengar memiliki kecenderungan untuk menempatkannya sebagai 'doa politik' di tahun politik. Meskipun demikian, pilihan Anies untuk mengkritik dalam lirik doa dianggap sebagai 'langkah moderat' dan memiilki dimensi religuisitas.
Itu menunjukkan bahwa Anies adalah bacapres yang sealur dengan ceruk pemilihnya terutama para kader PKS dan pemilih Anies di Jakarta dan sebagian mantan pemilih Prabowo-Sandi di Pilpres 2019. Langkah ini juga diduga sebagai jalan untuk memasuki 'arena tengah' yang bergerak dari 'arena kanan'. Dan itu artinya, secara elektoral sedang menyaingi Prabowo yang relatif berhasil memasuki arena tengah sejak diendors oleh Jokowi dalam banyak kesempatan.
Doa-doa politik Anies sekaligus menegaskan dalam memelihara calon pemilihnya yang selama ini setia mendukungnya. Tetapi apakah 'jalan moderat' dengan memilih mengkritik dalam doa akan menjadi komunkasi politik yang berkontribusi signifikan secara elektoral? Dalam hemat saya akan jauh efektifitasnya dibanding dengan 'pengelolaan aspek agama' di Pilkada DKI 2016.
Dalam politik Pilkada DKI, aktor-aktor agama terutama yang datang dari kalangan civil society seperti GNPF-MUI dan FPI sangat efektif dalam membakar 'emosi politik keagamaan' yang berujung pada politik elektoral. Panggung-panggung politik Anies kini lebih banyak ditemani justru oleh partai yang dulu dimusuhi oleh elit-elit agama pendukung Anies. Agak susah membayangkan bagaimana para elit agama seperti tokoh-tokoh eks FPI dan alumni persaudaraan 212 tiba-tiba memuji muji tokoh sentral seperti Surya Paloh dan medianya.
Jika itu terjadi, maka semakin menguatkan tesis bahwa narasi dan argumen keagamaan dalam panggung politik selalu bersifat pragmatis: dulu membenci sekarang mencinta, dulu lawan sekarang kawan. Dan, tanpa sadar, sejatinya sebagian besar kita tengah melenggengkan adigum lama bahwa 'dalam politik, tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan abadi'. Semua pada akhirnya akan berdalih, 'atas nama rakyat', 'demi rakyat', 'untuk rakyat' dan demi masa depan bangsa dan negara. Ya, begitulah dunia.
***
*) Oleh: Abdul Mukti Ro’uf, Dosen Filsafat di Pascasarjana IAIN Pontianak.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |
Konten promosi pada widget ini bukan konten yang diproduksi oleh redaksi TIMES Indonesia. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.