
TIMESINDONESIA, SURABAYA – Setelah mmperhatikan dan menelaah isi dari Draft UU Kesehatan dan juga berbagai tanggapan oleh ahli ada beberapa catatan dan tanggapan mengenai hal tersebut :
Pertama, pembahasan RUU tertutup dan tanpa partisipasi publik yang bermakna.
Advertisement
Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa dari 478 pasal dalam RUU Kesehatan, total DIM batang tubuh sebanyak 3020: sebanyak 1037 tetap, 399 perubahan redaksional, dan 1584 perubahan substansi. Akan tetapi DIM yang dibahas sejak Agustus 2022 baru diketahui publik sekitar Maret 2023. Hingga saat ini, publik juga belum disuguhkan draft terbaru RUU Kesehatan. Adapun naskah yang dipublikasi oleh Kementerian Kesehatan melalui kanal partisipasisehat.kemkes.go.id merupakan naskah per Februari 2023 dan disebut oleh pihak Kemenkes sudah mengalami sejumlah perubahan.
Perumusan RUU Kesehatan dapat disebut menempuh proses senyap dan tanpa melibatkan partisipasi publik yang bermakna. Perumusan RUU Kesehatan juga tidak melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk organisasi profesi, anak muda, kelompok perempuan dan ibu, pakar, akademisi, ilmuwan, dan kelompok disabilitas secara bermakna untuk memastikan kepentingan kesehatan segenap kelompok warga terlindungi dalam RUU Kesehatan. Seharusnya, perumus UU melibatkan publik sejak awal pembahasan, bukan sekedar sosialisasi draft yang sudah disusun.
Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUUXVIII/2020, partisipasi publik bermakna tak sebatas pemenuhan hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), melainkan pula menguji sejauh mana pemerintah mempertimbangkan hak warga dalam memberikan pendapatnya (right to be considered). Bahkan bila tidak diakomodasi, masyarakat berhak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Hal demikian, tidak dilakukan oleh pihak pemerintah maupun DPR dalam merumuskan RUU Kesehatan.
Partisipasi publik yang bermakna sangat penting untuk menjamin hasil undang-undang yang memenuhi rasa keadilan (social justice) dan perlindungan kesehatan publik. Selain itu, proses yang tidak partisipatif melenceng dari amanah UU No. 13 tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Karenanya, pengesahan RUU Kesehatan harus ditunda hingga pemerintah dan DPR berkomitmen melakukan proses perancangan dan pembahasan yang memenuhi prinsip keterbukaan, kejujuran, dan kemanusiaan serta keadilan.
Kedua, lemahnya urgensi kebutuhan RUU Kesehatan dengan metode omnibus law. DIM RUU Kesehatan tidak cukup menjelaskan urgensi mengapa diperlukan metode omnibus law dengan meleburkan 10 (sepuluh) peraturan perundang-undangan. Tidak terlihat masalah dasar yang dijadikan basis perlunya membuat RUU omnibus law. Karenanya, gagasan transformasi kesehatan yang digulirkan Kementerian Kesehatan melalui RUU Kesehatan ini perlu dikaji ulang secara komprehensif.
Waktu pembahasan yang begitu singkat, terburu-buru, tidak adanya transparansi, dan luasnya cakupan RUU Kesehatan di satu sisi, dan komunikasi publik yang dilakukan pemerintah yang cenderung fokus pada isu terkait organisasi profesi telah membingungkan sekaligus menyulitkan publik untuk memahami isinya. Dominasi isu terkait organisasi profesi ini menyembunyikan substansi penting lainnya, seperti isu yang ada dalam siaran pers ini dan isu- isu penting lainnya yang telah dikemukakan oleh berbagai organisasi. Dominasi isu terkait organisasi profesi mengaburkan ancaman terabaikannya pemenuhan hak atas kesehatan.
Apa Dampaknya ?
Pertama, RUU Kesehatan cenderung mengarah pada liberalisasi sistem kesehatan dan memperluas privatisasi/komersialisasi layanan kesehatan, yang menjadikan layanan kesehatan, termasuk tenaga medis, sebagai komoditi.
Komersialisasi sektor kesehatan tidak hanya akan berpotensi memusatkan pasar kesehatan terutama di wilayah perkotaan, namun juga berpotensi memperluas kesenjangan akses layanan kesehatan di wilayah 3T di Indonesia. Ini bertentangan dengan tujuan yang hendak dicapai dengan RUU, yaitu memperluas penyediaan layanan kesehatan ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk daerah 3T.
Naskah RUU Kesehatan sangat kental mendorong kemudahan investasi di bidang layanan kesehatan, pendidikan dokter, dan farmasi yang memiliki potensi untuk mengabaikan pemusatan perlindungan kepentingan kesehatan publik. Ini sejalan dengan usulan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia kepada pemerintah pada akhir 2021 untuk membentuk undang- undang omnibus law di sektor kesehatan menyusul minimnya minat investor asing menanamkan modal mereka di industri kesehatan dalam negeri, menyusul minimnya bahasan industri kesehatan dalam Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker).
Selain itu, dalam liputan Bisnis Indonesia, Kadin berharap undang-undang omnibus law di sektor kesehatan diharapkan dapat mencakup aturan terkait dengan pendidikan kedokteran, dan pembangunan rumah sakit. Sekali lagi, ini senada dengan isi naskah RUU Kesehatan yang ada saat ini.
Bahkan sebelum RUU disahkan pemerintah (Kemenkes) sudah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan The Bill & Melinda Gates Foundation (BMGF) untuk agenda transformasi pelayanan kesehatan yang melibatkan sektor swasta pada 08 Juni lalu.Denganini pemerintah memaksa publik untuk menerima begitu saja RUU Kesehatan, meskipun publik belum mengetahui isi dan konsekuensi dari RUU tersebut.
Kedua, RUU Kesehatan meniadakan alokasi minimal anggaran kesehatan yang potensial berdampak pada semakin minimnya dukungan anggaran untuk pelayanan kesehatan.
Pasal 171 ayat 1 dan 2 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur alokasi anggaran kesehatan minimal 5% dari APBN dan 10% dari APBD di luar gaji dan diprioritaskan untuk pelayanan publik. Dalam draft RUU Kesehatan versi pemerintah (pasal 420 (2) dan (3) menghapus alokasi anggaran minimal 10% dari APBN dan 10% dari APBD yang ada dalam draft RUU versi DPR, dengan disertai beberapa alasan, salah satunya adalah bahwa terlalu banyak belanja negara yang bersifat mandatory mengakibatkan kapasitas APBN/APBD menjadi sempit dan tidak fleksibel/inefisiensi. Alokasi anggaran minimal untuk sektor kesehatan adalah hasil reformasi yang sudah lama diperjuangkan masyarakat dan kini hendak dihapuskan begitu saja oleh RUU Kesehatan.
Penghapusan ketentuan alokasi anggaran minimal tersebut bertentangan dengan tujuan dibuatnya RUU Kesehatan, yaitu memperluas dan meningkatkan kualitas layanan kesehatan hingga ke desa-desa, termasuk ke daerah 3T (terpencil, tertinggal, terluar), yang tentu saja membutuhkan peningkatan pembiayaan kesehatan yang menuntut adanya alokasi anggaran yang memadai. Dihapuskannya alokasi anggaran minimal akan berdampak pada kondisi di mana pemenuhan hak atas layanan kesehatan bergantung pada “kebaikan hati” penguasa pusat dan daerah.
Padahal pemenuhan hak atas kesehatan adalah kewajiban negara dan pemenuhan kewajiban itu dibuktikan dengan adanya alokasi anggaran minimal untuk sektor kesehatan. Tidak adanya alokasi anggaran minimal dapat berdampak pada penganggaran dana kesehatan yang semakin minim dan berkonsekuensi pada semakin buruknya pelayanan kesehatan. Bila RUU ini disahkan maka pihak yang paling dirugikan adalah kelompok miskin, penyandang disabilitas, kelompok rentan -termasuk perempuan dan anak, dan kelompok masyarakat di daerah 3T.
Ketiga, sentralisasi tata kelola kesehatan oleh pemerintah pusat dapat mengurangi independensi pengetahuan di sektor kesehatan.
Pada dokumen narasi RUU Kesehatan, terdapat beberapa klaster yang memuat usulan perluasan kewenangan pemerintah pusat. Di antaranya memuat usulan perluasan kewenangan pemerintah dalam ranah profesi kesehatan. Pendidikan dan Pelatihan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan serta kolegium yang mengampu body of knowledge profesi kesehatan yang selama ini independen. Dengan ditariknya semuanya di bawah wewenang pemerintah pusat akan mengancam independensi pengembangan body of knowledge tersebut. Selain itu menjadikan tata kelola SDM kesehatan akan berada di bawah kekuasaan Kementerian Kesehatan mulai dari hulu hingga hilir. Absolutisme kekuasaan ini berpotensi terjadinya abuse of power terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan.
Pemerintah mengkritik organisasi profesi yang disebut-sebut sebagai masalah utama dalam sistem kesehatan di Indonesia Perbaikan tentu diperlukan, namun, dengan RUU Kesehatan ini, pemerintah mengambil alih seluruh fungsi/peran dari organisasi profesi, Kolegium, Konsil Kedokteran dan Konsil Tenaga Kesehatan dan meletakkannya di tangan Menkes. Artinya pemerintah melakukan apa yang dikritiknya sendiri, hanya memindahkan masalah dari satu aktor (organisasi profesi) ke aktor lain (Menkes).
Keempat, substansi RUU pada dirinya sendiri memuat berbagai kontradiksi yang bila diabaikan jelas akan membuat RUU ini gagal mencapai tujuannya.
Artinya, penyusunan dan pembahasan RUU secara tergesa-gesa dan serampangan hanya akan membuang-buang sumberdaya negara yang sudah semakin terbatas. Beberapa kontradiksi itu, di antaranya adalah perluasan dan peningkatan kualitas layanan kesehatan sampai ke tingkat desa vs penghapusan alokasi anggaran minimal dari APBN/APBD untuk sektor kesehatan; dominasi organisasi profesi vs dominasi Menkes; percepatan produksi dokter lokal vs kemudahan masuknya dokter asing; peningkatan peran negara vs perluasan peran swasta; pertimbangan nilai-nilai ekonomi vs pertimbangan nilai-nilai hak asasi manusia.
Selain itu, Kemenkes dalam RUU Kesehatan dimandatkan melakukan pengendalian potensi penyalahgunaan pelayanan dan kendali mutu biaya pelayanan kesehatan terhadap peserta, fasilitas kesehatan, dan BPJS Kesehatan. Namun, berkaca dari kondisi saat ini kami melihat pengelolaan dana kesehatan tidak menggunakan prinsip transparansi, inklusifitas, dan tak jarang mutu pelayanan tidak maksimal. Salah satu masalah dalam pelayanan JKN yang dikelola oleh BPJS Kesehatan selama ini yaitu out of pocket peserta BPJS. Selama ini, pemerintah sudah diberikan kewenangan untuk menetapkan besaran tarif yang akan dibayarkan ke fasilitas kesehatan melalui skema INA CBGs. Tetapi dalam skema tersebut terdapat beberapa komponen yang tidak ditanggung oleh pemerintah dan menyebabkan tingginya out-of-pocket masyarakat. Pengendalian ini juga terkesan mengeksklusi masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam pengawasan penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Kelima, RUU Kesehatan tidak cukup menjawab persoalan pelayanan kesehatan yang rentan korupsi dan berbagai bentuk fraud.
Korupsi dan segala bentuk fraud adalah persoalan besar dalam pelayanan kesehatan. Sepanjang 2022, aparat penegak hukum sedikitnya telah menindak 27 kasus korupsi terkait kesehatan dengan kerugian negara sekitar Rp 73,9 miliar. Angka tersebut terus meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Kasus yang ditindak penegak hukum umumnya berkaitan dengan pembangunan (khususnya pembangunan puskesmas) dan pengadaan alat kesehatan. Di luar kasus yang telah ditangani penegak hukum, korupsi dan fraud kesehatan diyakini terjadi lebih masif dan berdampak signifikan pada belum optimalnya layanan kesehatan dan mahalnya akses publik terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu. Termasuk didalamnya mengenai praktik kolusi dan gratifikasi peresepan obat serta registrasi dan perizinan praktik tenaga medis dan tenaga kesehatan.
Sayangnya, RUU yang disebut menjadi pembaharu layanan kesehatan di masa depan tidak cukup menangkap dan memitigasi persoalan fraud sektor kesehatan. Diantaranya yaitu, bagaimana upaya peningkatan transparansi harga obat di seluruh fasilitas kesehatan, bagaimana upaya pencegahan dan penanganan praktik kolusi dan gratifikasi yang melibatkan perusahaan farmasi, dan lainnya. Untuk dokter PNS, pencegahan gratifikasi diatur dalam UU No. 20 tahun 2001 dan UU No. 5 tahun 2014. Semestinya, RUU ini mengisi kekosongan hukum terkait dengan gratifikasi terhadap dokter swasta.
Harapan Regulasi Kesehatan ke Depan
Regulasi yang harus ditelurkan oleh pemerintah adalah regulasi yang bertumpu pada hasil riset dan kajian atas kebutuhan kongkrit seluruh rakyat Indonesia. Dengan kekayaan sumber daya alam yang membentang dari hulu sampai hilir, tentunya tidak mustahil untuk pemerintah mewujudkan kesehatan gratis bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali. Optimalisasi dan pembangunan SDM secara kontinnyu dan merata menjadi kunci dalam membangun bangsa Indonesia yang bermartabat dan mampu mensejahterakan rakyatnya.
Harapan terhadap regulasi kesehatan di Indonesia mencakup sejumlah aspek penting yang dapat berkontribusi pada peningkatan kesehatan masyarakat dan sistem kesehatan secara keseluruhan. Beberapa harapan tersebut antara lain:
1. Akses Kesehatan yang Merata: Harapan utama adalah memiliki regulasi yang memastikan akses kesehatan yang merata bagi seluruh penduduk Indonesia, tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau geografis. Regulasi ini harus memastikan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau.
2. Kualitas Layanan Kesehatan yang Tinggi: Masyarakat berharap regulasi yang dapat meningkatkan kualitas layanan kesehatan di seluruh fasilitas kesehatan. Hal ini mencakup standar yang ketat untuk penanganan medis, keselamatan pasien, dan keberlanjutan program pelayanan.
3. Perlindungan Hak Pasien: Regulasi yang kuat diharapkan dapat melindungi hak-hak pasien, seperti hak atas informasi, kerahasiaan medis, persetujuan informasi medis, serta hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan terhormat selama perawatan.
4. Peningkatan Pelayanan Kesehatan Masyarakat: Harapan lainnya adalah regulasi yang mendorong fokus pada pelayanan kesehatan masyarakat, seperti program pencegahan penyakit, promosi kesehatan, dan edukasi tentang kesehatan.
5. Penggunaan Teknologi Kesehatan yang Canggih: Masyarakat berharap ada regulasi yang memfasilitasi adopsi teknologi kesehatan canggih dan inovatif, seperti telemedicine, health informatics, dan digitalisasi data kesehatan, yang dapat meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam layanan kesehatan.
6. Pengendalian Biaya Perawatan Kesehatan: Regulasi yang cermat diharapkan dapat membantu mengendalikan biaya perawatan kesehatan, termasuk pembatasan kenaikan harga obat dan pengaturan biaya pelayanan medis.
7. Kolaborasi antara Pemangku Kepentingan: Harapan lainnya adalah adanya kolaborasi yang erat antara pemerintah, penyedia layanan kesehatan, sektor swasta, dan organisasi masyarakat untuk merumuskan dan mengimplementasikan regulasi kesehatan yang efektif dan relevan.
8. Pengawasan dan Penegakan Hukum: Harapan terakhir adalah memiliki regulasi yang kuat dalam hal pengawasan dan penegakan hukum terkait masalah kesehatan, termasuk praktik medis yang tidak etis, penyalahgunaan obat, dan kecurangan dalam layanan kesehatan.
Harapan-harapan ini mencerminkan aspirasi masyarakat untuk memiliki sistem kesehatan yang berkualitas, inklusif, dan berkelanjutan di Indonesia. Pencapaian harapan-harapan tersebut memerlukan komitmen dan kerjasama dari berbagai pihak untuk menciptakan regulasi kesehatan yang efektif dan berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat.
***
*) Oleh: Moh. Sholikhul Hadi (Sekretaris PKC PMII Jatim)
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |