Nirbapak Nirmamak: Dilema Orang Tua Pekerja Migran Indonesia

TIMESINDONESIA, MALANG – Bonus demografi di Indonesia berjalan beriringan dengan meningkatnya angka penempatan pekerja migran Indonesia (PMI) di luar negeri. Per Juni 2023, berdasarkan data dari BP2MI, penempatan PMI meroket 30% dari angka 15.700 ke 20.388 apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Lebih lanjut, mayoritas PMI menyandang status pernikahan.
Di balik kegemilangan numeral yang memikat lampu sorot media, ada kisah dari pinggiran yang tidak media katakan. Sebut saja Bapak Tejo, pria yang telah ditinggal sang ibu bekerja di luar negeri selama 37 tahun.
Advertisement
Sehingga, selama 37 tahun itulah Bapak Tejo bertumbuh dan berjuang tanpa sosok ibu. Syukurnya, takdir memberi restu bagi Bapak Tejo dan sang ibu untuk kembali bersama sebagai sebuah keluarga.
Bapak Tejo tak ubahnya menjadi sebuah potret di antara beribu-ribu kisah anak pekerja migran Indonesia. Mereka tumbuh dengan dompet tebal penuh kapital hasil kiriman dari luar negeri, tetapi minim afeksi.
Dengan fakta bahwa mayoritas PMI menyandang status pernikahan, apakah hal itu akan melahirkan Bapak Tejo baru di masa depan?
Kondisi ini memang dilematis. Lapangan pekerjaan di Indonesia terlalu sedikit untuk generasi produktif yang berjubel. Pun, upah minimum di Indonesia terlampau mini dan tidak sebanding dengan inflasi yang terus terbang tanpa kendali. Sehingga, orang tua memilih jalan sebagai PMI demi menghantarkan keluarga menuju masa depan yang lebih cerah.
Absennya orang tua dalam proses perkembangan anak berbanding lurus dengan tidak berjalannya fungsi keluarga secara paripurna. Apabila diperinci, ada delapan fungsi keluarga yang juga menjadi bagian dari hak anak, yaitu fungsi sosial kebudayaan, keagamaan, afeksi, reproduksi, perlindungan, pendidikan, ekonomi, dan lingkungan. Orang tua PMI berusaha untuk memenuhi fungsi ekonomi.
Sedangkan, anggota keluarga yang lain mengambil peran untuk memenuhi fungsi-fungsi lainnya, seperti fungsi sosial kebudayaan, perlindungan, dan lingkungan.
Ketidakhadiran orang tua dalam kehidupan anak mengosongkan fungsi pendidikan dan afeksi.
Meskipun fungsi pendidikan dapat dipenuhi akan hadirnya institusi pendidikan, orang tua tetaplah memainkan peran penting. Apabila institusi pendidikan berperan dalam proses transfer ilmu, institusi keluarga berperan dalam proses pembentukan kepribadian, moral dan etika. Masalah menjadi rumit karena kosongnya fungsi afeksi.
Semua makhluk hidup tumbuh dengan afeksi, tidak terkecuali manusia. Afeksi merujuk kepada definisi kasih sayang, ikatan, dan dukungan emosional yang bersifat tulus tanpa syarat. Dalam kasus PMI yang juga menyandang status sebagai orang tua, faktor jarak menciptakan kerenggangan dan minimnya ikatan emosional dengan si anak.
Fenomena ini turut menambah daftar catatan kelam Indonesia sebagai negara nirbapak (fatherless), juga nirmamak (motherless).
Penting untuk digarisbawahi bahwa orang tua pekerja migran merupakan sebuah kondisi khusus. Keputusan menjadi pekerja migran dilatarbelakangi oleh banyak pertimbangan dan hal itu bukanlah sesuatu yang mudah.
Absennya kehadiran mereka dalam kehidupan anak menjadi harga yang harus dibayar untuk mencapai masa depan yang lebih cerah. Meskipun begitu, bagaimanapun juga, peran orang tua dalam pengasuhan anak tidak dapat tergantikan.
Komunikasi adalah kunci. Walaupun perbedaan jarak dan zona waktu menjadi penghalang, teknologi hadir sebagai perekat. Sehingga, tidak ada alasan lagi bagi orang tua PMI untuk mangkir dari kewajibannya sebagai orang tua.
Komunikasi lintas negara melalui media sosial menjadi salah satu upaya komunikasi yang efektif. Orang tua dan anak dapat melakukan telepon video dan berbalas pesan untuk mengeratkan hubungan.
Apabila perbedaan zona waktu menjadi penghalang, kedua belah pihak dapat saling berbagi foto tentang kegiatan yang sedang dijalani.
Tujuannya adalah membangun hubungan interpersonal melalui pembiasaan, selayaknya pepatah Jawa “Witing tresno jalaran soko kulino.” Studi kasus orang tua PMI yang hijrah ke luar negeri memiliki kesamaan dengan film “Sabtu Bersama Bapak” (2016).
Kesamaannya berupa kekosongan figur orang tua yang utuh di dalam kehidupan sang anak. Dan dalam penyelesaian masalahnya, rekaman video dapat menjadi opsi alternatif. Hal ini karena video merangkum pengalaman audio visual, ekspresi, dan emosi yang dapat bertindak sebagai arsip.
Banyak jalan menuju Roma. Perkembangan zaman memunculkan beribu-ribu cara untuk mencapai pola komunikasi yang dianggap ideal. Kehidupan bergerak dinamis, begitu pula manusia. Dan adaptasi terhadap perubahan adalah aspek krusial yang wajib dijalani setiap individu.
Studi kasus ini perlu disematkan notasi khusus. Pola komunikasi antara orang tua pekerja migran Indonesia di luar negeri dan sang anak di dalam negeri tidak bersifat organik. Hal ini karena mereka memerlukan media sebagai penghubung.
Sedangkan secara alamiah, pola komunikasi orang tua dan anak terjadi secara tatap muka. Lebih tepatnya adalah interaksi langsung yang menggabungkan bahasa, bahasa tubuh, dan ekspresi wajah.
Tidak ada yang dapat menyaingi pola komunikasi alamiah antara orang tua dan anak. Akan tetapi, sebagai upaya untuk mencegah lahirnya Bapak Tejo di masa depan yang nirbapak dan nirmamak, tulisan ini dapat menjadi acuan.
***
*) Oleh: Muhammad Syauqi Al Banna, Mahasiswa Fakultas Humaniora UIN Maliki Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainor Rahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |
Konten promosi pada widget ini bukan konten yang diproduksi oleh redaksi TIMES Indonesia. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.