Kopi TIMES

Dosen Destruktor Kehancuran Pendidikan

Rabu, 09 Agustus 2023 - 12:38 | 78.03k
Abdur Rohman, mahasantri ponpes Luhur Baitul Hikmah sekaligus mahasiswa STF Al-Farabi Kepanjen, Malang.
Abdur Rohman, mahasantri ponpes Luhur Baitul Hikmah sekaligus mahasiswa STF Al-Farabi Kepanjen, Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Satu dari sekian indikator akan kemajuan pendidikan, terutama di perguruan tinggi adalah sosok “dosen” yang bermutu dan berkompeten, maksudnya adalah bermutu untuk menanamkan sikap kritis serta kompeten dalam menumbuhkan mental pejuang pada mahasiswa. 

Figur seorang dosen, tak lain menjadi orang terdepan yang menstimulasi para mahasiswa untuk mengamalkan Tri Darma Perguruan Tinggi. Namun, semangat dari makna hakikat dosen mengalami peyorasi bahkan akhir-akhir ini hampir sirna. 

Advertisement

Ia hanya sibuk dengan berbagai assessment supaya derajatnya terangkat, dan juga diliputi oleh libido selangkangan semata. Fenomena yang kerap terjadi selama saya (atau anda) menjadi mahasiswa adalah oknum dosen yang menjadi toxic di tengah-tengah mahasiswa.

Tidak sekali dua kali, beberapa dosen di salah satu kampus di Kab. Malang, ketika saya mengikuti perkuliahan, mereka mencoba menanamkan karakter materialistik versi ke-kulon-kulonan. 

Lebih terang bahkan, dalam salah satu mata kuliah, ia menerangkan bahwa yang menjadi pondasi bagi lembaga pendidikan adalah keuangan. Dia mulai bercerita, tentang permainan untuk menjadi kepala sekolah, lanjutnya, adalah barang dagangan yang murah, seolah gorengan pinggir jalan. 

Bantuan Operasional Sekolah (BOS) menjadi objek penggoda bagi para calon kepala sekolah terutama sekolah-sekolah negeri baik dasar atau menengah. 

Bagaimana tidak, uang sejumlah miliaran atau setidaknya ratusan juta rupiah setiap tahun berada tepat di hadapan pemimpin suatu lembaga pendidikan. 

Kembali, sang dosen menceritakan dengan gamblang sistem bobrok yang terbangun di sekolah-sekolah Indonesia. “gampang mas-mba, kalian punya uang berapa langsung bisa jadi kepala sekolah.” 

Sang dosen berkata demikian, dengan nada yang diturunkan. Apakah itu terjadi di seluruh sekolah-sekolah tanah air? Dugaan sementara, saya pribadi menegaskan pertanyaan itu. Berdasarkan laporan di laman Kementrian Keuangan, jumlah anggaran yang dialokasikan pada tahun 2023 senilai 612,2 triliun rupiah. 

Kongkalikong sangat mungkin terjadi, dari pusat hingga turun gunung ke daerah. Alibi berupa obrolan pembangunan ini-itu, perbaikan perpustakaan, pengeboran kakus sekolah, pendistribusian buku, dan sebagainya.

Dari total yang fantastis itu, belum bisa meningkatkan atau bahkan tidak mendapatkan implikasi yang signifikan pada wajah pendidikan kita, jauh panggang daripada api! Buktinya, skor Indonesia menurut data PISA (Programme for International Student Assessment) di tahun 2018, menempati peringkat ke 74 alias peringkat keenam dari bawah. 

Artinya, negara kita termasuk dengan tingkat literasi terendah di dunia. Bahkan, tak pernah menyentuh skor rata-rata negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Perlu kiranya kita merenungi perjuangan dari pejuang sejati pendidikan, yakni Ki Hadjar Dewantara. 

Taman Siswa adalah sebuah lembaga pendidikan yang beliau rintis pada tahun 1922 tanpa sepeser pun mendapatkan bantuan dari pemerintah Hindia-Belanda saat itu. Dengan semangat menjunjung tinggi nasionalisme, beliau menekankan bahwa dalam prinsip pendidikan di Indonesia sangatlah kontras dengan ideologi materialisme ala barat.

Kebudayaan kita, dianggap ketinggalan jaman oleh sebagian besar masyarakat kita sendiri. Padahal kebudayaan lah yang sejatinya menjadi kekuatan bagi tanah air ini. 

Dengan begitu secara tidak langsung dan tak sadar, sang dosen telah menciderai salah satu cita-cita suhu pendidikan Indonesia. Sebuah bangunan beserta pondasi yang kokoh telah tegak berdiri, tapi dicoba untuk dirobohkan olehnya dengan cara menyuapi para mahasiswa untuk menjadi barat oleh ajaran materialisme.

Lembaga pendidikan saat ini hanya sekadar menjadi komoditas bagi oknum tak bertanggung jawab. Melihat APBD yang jumlahnya tak sedikit, sehingga sangat mungkin terjadi persekongkolan antara pusat dan daerah. 

Sekolah menjadi objek keuntungan dengan embel-embel agar membeli buku dan seragam, merencanakan study banding alias buang-buang uang, dan sebagainya. Tak jarang, akibat dari pencekokan materialisme oleh oknum dosen tersebut, berujung pada mahasiswa yang hanya berorientasi pada aspek nafsu semata.

Berujung konsepsi “to be” atau “to have”, menjadi apa dan mendapat apa, sebagaimana yang dikatakan oleh Erich Fromm. Profesi dengan gaji tinggi pasca lulus, dengan tidak mengindahkan esensi dari manusia yakni, aspek rohani. 

Sebanding dengan yang dinyatakan oleh Gus Dur “kalau kita secara serampangan menerapkan konsep-konsep budaya barat materialisme, hasilnya adalah kita akan kehilangan sesuatu yang besar tentang konsep budaya kita sendiri di masa lampau”. 

Segendang sepenarian dari rentetan permasalahan yang terdapat di muka, kita harus menyadari bahwa citra pendidikan Indonesia saat ini mungkin sedang terpuruk, bahkan memprihatinkan.

Fenomena berupa kasus guru mencabuli muridnya, murid memaki sang guru, jual beli narkotika, dosen menggoda mahasiswa, suap-menyuap, dosen anti kritik, kasus bunuh diri karena sulit melunasi biaya wisuda, tawuran antar pelajar, dan seterusnya. Untuk dapat sembuh dari penyakit, selayaknya kita mula-mula menerima kemudian pergi ke dokter, bukan malah uring-uringan lantas pergi ke dukun. 

Begitu pula dengan memandang sepak terjang pendidikan di Indonesia, perlu kesadaran lalu menerima atas berbagai permasalahan dan penyakit tersebut, supaya mendapati solusi dan sembuh total sehingga dapat terus menghirup udara segar di langit bumi pertiwi. 

Bagaimana Caranya?

Salah satu jalannya adalah dengan meng-copy paste para pendahulu. Kita bisa belajar, menjadikan mereka teladan akan perjuangan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan tanpa mencerabut akar budaya yang sudah menancap kuat di tanah bumi persada nusantara.

***

*) Oleh: Abdur Rohman, mahasantri ponpes Luhur Baitul Hikmah sekaligus mahasiswa STF Al-Farabi Kepanjen, Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainor Rahman
Publisher : Rochmat Shobirin

Konten promosi pada widget ini bukan konten yang diproduksi oleh redaksi TIMES Indonesia. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES