
TIMESINDONESIA, MALANG – Perbincangan tentang perempuan dari masa ke masa terus menarik, bahkan tak ada habisnya. Segala aspek yang melekat dalam diri perempuan selalu hangat untuk diperbincangkan. Perempuan dengan kelembutannya, perempuan dengan keanggunannya, perempuan dengan kekuatan dan kelemahannya, hingga pada rasa malu yang menjadi fitrahnya.
Rasa malu yang ternyata membuatnya menarik dan semakin berharga. Fitrah ini Tuhan anugerahkan kepada seluruh perempuan yang terlahir di dunia ini. Sehingga wanita normal pasti memiliki rasa ini. Namun karena pengaruh dari berbagai hal seperti budaya, lingkungan, tuntutan sekitar, dan sebagainya menjadikan rasa malu ini sedikit banyak tertanggalkan.
Advertisement
Agama (baca: Islam) tidak membatasi perempuan untuk bereksplorasi, bersaing, berkompetisi dan bahkan memberikan segala hak dan kewajibannya sesuai dengan kodratnya. Bersekolah hingga jenjang tertinggi, bekerja diluar atau di dalam rumah, melakukan sosialisasi baik online/ offline, berorganisasi dan sebagianya.
Selama apa yang dilakukannya adalah bermanfaat untuk orang banyak maka hal itu boleh dilakukan. Namun tentu dengan tidak mengabaikan atau menerobos aturan-aturan yang telah disyariatkan.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Tetap beraktifitas di luar atau di dalam rumah dalam rangka memberikan manfaat untuk banyak orang dengan tetap menggunakan mahkota rasa malu, tentu semakin membuatnya semakin bernilai. Berharga karena berbuat sesuatu untuk orang lain, berharga karena tetap menyandang rasa malunya dalam beraktifitas. Tentu malu disini bukan malu dalam arti sempit, namun malu dikarenakan segan jika berbelok dari naluri yang dirasakan.
Sebagai contoh, Indonesia yang menganut budaya timur memiliki budaya malu yang berbeda dengan mereka yang berbudaya Barat. Namun karena beberapa hal seperti tuntutan kerja mengharuskan para perempuan harus menanggalkan rasa malunya saat mereka menggunakan rok pendek. Tentu ini pilihan yang bisa jadi untuk sebagian perempuan adalah hal prinsip dan dapat mengurungkan minatnya.
Jika tuntutan kerja menjadi salah satu contoh alasan perempuan melepaskan rasa malunya, namun ternyata ini hanya sekian persen saja. Ada hal lain yang lebih besar yang mempengaruhi perempuan lupa akan fitrahnya ini. Salah satunya adalah dampak dari sosial media yang banyak merasuki para perempuan hingga lupa dengan mahkota berharganya. Lupa jika dirinya begitu berharga sehingga ditampakkan keindahan itu dengan sia-sia.
Entah apa dalam benak perempuan yang sedang lupa ini, sekadar ikut-ikutan, benar-benar lupa atau ingin mendapatkan pengakuan orang lain bahwa dirinya indah. Meski sebetulnya otomatis indah tanpa harus diungkapkan.
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi perempuan dalam mengekspresikan rasa malunya: pertama, norma sosial dan ekspektasi. Dalam hal ini perempuan merasa malu jika berperilaku tidak sopan, tidak lembut, tidak patuh sebagaimana yang ekspektasikan oleh masyarakatnya.
Kedua, body image dan penampilan; perempuan merasa malu dan bahkan tidak percaya diri jika ia merasa tidak memenuhi standar kecantikan yang ditetapkan media atau budaya. Ketiga, peran tradisional; yakni peran yang diberikan kepada perempuan menjadi seorang ibu, istri atau pengurus rumah tangga. Pada Sebagian perempuan akan merasa malu jika tidak dapat memenuhi peranannya ini.
Keempat, pendidikan dan pemberdayaan; perempuan akan malu jika masyarakatnya memberikan akses dan kesempatan pada pendidikan namun mereka tidak dapat memaksimalkannya. Keempat, diskriminisi dan pelecehan; perempuan seringkali mengahadapi pelecehan atau diskriminasi.
Dalam hal ini perempuan merasa malu karena merasa disalahkan atau tidak dihargai karena jati diri mereka. Terakhir, dorongan untuk mengubah diri; tuntutan sekitar seperti dorongan keluarga, masyarakat atau pekerjaan membuat perempuan malu jika tidak mampu “merubah” diri sebagaimana yang diharapkan.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Dalam pembahasan ini perlu diingat bersama, jika setiap perempuan memiliki pengalaman dan pandangan yang beragam, sehingga mungkin saja berbeda dalam mengekspresikan rasa malu. Perubahan sosial, pengetahuan pribadi, pengalaman, pergeseran sudut pandang masyarakat terhadap peran gender dan ekspresi rasa malu dapat memengaruhi rasa malu perempuan dan cara mengatasinya.
Pada akhirnya, penulis yang juga seorang perempuan ingin menekankan bahwa perempuan adalah makhluk indah nan berharga. Dengan segala kesempatan dan peluang yang ada perempuan dapat bereksplorasi dan mengembangkan potensinya dengan maksimal, tentu tetap dengan menggunakan mahkota rasa malunya yang didasarkan pada norma agama dan masyarakat. Dengan demikian perempuan menjadi semakin sempurna. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*)Penulis: Atika Zuhrotus Sufiyana, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |
Konten promosi pada widget ini bukan konten yang diproduksi oleh redaksi TIMES Indonesia. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.