Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Stunting di Indonesia: Antara Budaya Idealis dan Evolusi Masalah Kesehatan

Sabtu, 19 Agustus 2023 - 12:57 | 59.05k
Muhammad Nafis S.H,. M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Muhammad Nafis S.H,. M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Stunting atau yang biasa disebut dengan kekerdilan dini merupakan masalah global, terutama pada negara-negara dengan status sebagai bangsa yang sedang berkembang. Sebuah studi yang dilakukan pada 142 negara miskin dan berkembang, menunjukkan proyeksi prevalensi stunting akan memengaruhi lebih dari 127 juta anak balita pada tahun 2025. Hal ini menunjukkan bahwa masalah stunting masih perlu menjadi perhatian (Muldiasman et al., 2018, p. 334).

Data lain juga menyebuatkan bahwa berdasarkan United Nations Children’s Fund (UNICEF), World Health Organization (WHO), dan World Bank Group, penderita stunting terbanyak terdapat di Asia. Secara spesifik, di Asia Tenggara terdapat 13,9 juta (24,7 persen) anak yang terdampak stunting (UNICEF et al., 2020, p. 13).

Advertisement

Jika melihat lebih terperinci khususnya di Indonesia, fenomena stunting juga masih banyak ditemui. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI dalam Hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI), pada tahun 2021 masih terdapat 24,4 persen anak balita yang mengalami stunting. Lima provinsi dengan angka prevalensi stunting tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur sebesar 37,8 persen, kemudian ada Sulawesi Barat sebesar 33,8 persen, lalu Aceh sebesar 33,2 persen, Nusa Tenggara Barat 31,4 persen, hingga Sulawesi Tenggara sebesar 30,2 persen (Kementerian Kesehatan, 2021, p. 16).

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Stunting sendiri merupakan salah satu masalah pertumbuhan yang timbul akibat kekurangan gizi secara umum baik dalam bentuk kalori dan protein pada anak. Hal ini membuat balita nampak lebih pendek atau kerdil daripada balita seusianya (Utario & Sutriyanti, 2020, p. 26). Kondisi stunting dapat ditelusuri mulai dari seribu hari pertama kehidupan. Apabila ada anak mengalami kekurangan gizi dan disertai infeksi penyakit secara berulang, pertumbuhan dan perkembangannya dapat secara otomatis terhambat.

Secara umum, terdapat beberapa faktor yang dikaitkan dengan terjadinya stunting pada anak-anak. Menurut Aridiyah et al. (2015, p. 164), beberapa penyebab stunting di antaranya adalah tingginya paparan terhadap infeksi, terbatasnya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, kesulitan pangan, serta kemiskinan. Tiga aspek ini nampaknya menjadi cukup penting untuk ditelaah lebih mendalam, terutama mengapa factor tersebut masih terus berkembang dan bahkan cenderung menjadi hal yang stagnan.

Secara umum mungkin kualitas dan proyeksi penanganan masalah stunting telah dilakukan oleh pihak pemerintah. Hal tersebut bisa dipahami dari kapasitas pola pengembangan secara strategis terutama dalam konteks sosialiasi, target imunisasi, hingga bantuan bahan pokok pangan berupa beras, daging, telur, hingga susu kepada semua anak yang memilik kecenderungan bahaya stunting.

Namun tidak bisa dipungkiri hal tersebut masih belum bisa menjawab semua persoalan tersebut secara maksimal. Menurut hemat penulis, masih ada dampak lain yang wajib diselesaikan, salah satunya adalah kebiasaan serta budaya yang belum selaras dengan pemahaman masyarakat mengenai kondisi dan perkembangan kesehatan saat ini.

Secara umum Budaya menjadi dasar dari pola pikir dan pola tindak dari seseorang dalam kehidupannya. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Roger M. Keesing (1974 , p. 73), budaya selama ini dianggap sebagai warisan perilaku simbolik yang dipelajari yang membentuk manusia. Budaya diwariskan dalam masyarakat tertentu yang berbagi budaya tersebut.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Budaya suatu masyarakat terdiri dari apa saja yang harus diketahui atau diyakini seseorang agar beroperasi dengan cara yang dapat diterima oleh anggotanya. Bentuknya dapat berupa praktik, pengetahuan, keterampilan, ekspresi, dan representasi yang diakui oleh sekelompok orang maupun individu. Hal-hal tersebut secara terus-menerus dibawa dan dilaksanakan dari satu generasi ke generasi berikutnya, karena dirasa memberikan manfaat dalam memahami dunia dan juga memberikan identitas tertentu bagi pelakunya (Sam, 2019, p. 170).

Berbicara mengenai budaya tersebut dengan stunting tentunya bisa dianalisa dari kebiasaan yang seringkali lumrah ditemukan dan menjadi kebiasaan diseluruh masyarakat. Padahal hal tersebut menjadi salah satu aspek penyebab utama stunting masih berlanjut.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lolan dan Sutriyawan (2021, p. 119) menyatakan bahwa ayah dengan kesibukan kerja cenderung minim pengetahuan tentang gizi seimbang bagi anaknya. Hal ini berujung pada pengabaian pada kecukupan gizi dan kondisi kesehatan anak. Maka sangat wajar jika ada banyak anak yang terbaikan dari segi pola makan dengan mutu gizi terbatas namun hanya menghasilkan dampak buruk.

Dalam studi yang dilakukan oleh Teguh, M., Koesbardiati, T., Ida, R., Puspa, R., & Syafarani, Y. (2023) menyatakan bahwa Orangtua yang sibuk bekerja merasa bahwa mereka melakukan pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan demi mencukupi kebutuhan anaknya. Tentu saja dengan adanya penghasilan yang cukup, para orangtua beranggapan bahwa anaknya tidak mungkin terkena stunting yang selama ini banyak dialami oleh orang-orang di bawah garis kemiskinan. Namun, adanya penghasilan tidak serta merta bisa mencukupi kebutuhan anak. Masih diperlukan juga waktu, perhatian, dan usaha dari orangtua untuk menerapkan pola asuh yang baik bagi anaknya agar dapat terhindar dari stunting.

Hal inilah yang menjadi alasan kuat mengapa budaya turun temurun dengan konsep pemahaman mengenai evolusi kesehatan yang diacuhkan menjadi satu permasalahan serius untuk segera diatasi demi mencegah angka stunting di Indonesia menjadi lebih banyak.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

Konten promosi pada widget ini bukan konten yang diproduksi oleh redaksi TIMES Indonesia. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES