Nasionalisme Kita: Identitas Sosial Versus Politik Identitas

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Kemerdekaan republik Indonesia memasuki usia ke 78 tahun. Namun sayang di usianya tersebut. Belum sepenuhnya mencapai harapan seperti yang dicita-citakan founding fathers. Cita-cita bapak pendiri bangsa memproklamasikan negara merdeka agar berada pada situasi aman, tentram, damai dan rukun.
Harapan yang belum terpenuhi bagi pejuang kemerdekaan dirunut dari secara sunatullah Indonesia ditakdirkan sebagai negara memiliki keberagaman budaya, etnis dan agama. Keberagaman yang tumbuh dengan latar belakang kultur, suku dan keyakinan yang tak sama melahirkan identitas sosial dalam realitas kehidupan masyarakat.
Advertisement
Dalam ranah kajian konseptual mengenai identitas sosial berkembang karena memetik buah keberagaman masyarakat. Akibat dari historis kultural, religiositas dan kondisi sosiologis antar kelompok yang beraneka dapat tumbuh kategorisasi. Variabel kategorisasi tersebut terbentuk mengacu terhadap referensi sosial yang sama.
Proses selanjutnya dari kategorisasi menyebabkan depersonalisasi mempengaruhi evaluasi diri. Hasil dari evaluasi diri adalah identifikasi individu merasakan kesamaan dengan warga lain yang merupakan bagian dari kelompok.
Proses lain yang mengalir dari identitas sosial mewujudkan perbandingan antar kelompok. Memposisikan dirinya sebagai in group dan orang lain bukan anggota kelompoknya sebagai out group.
Perbandingan kelompok terjadi karena melihat diri sendiri tertanam nilai, norma, atribut pribadi dan afiliasi politik relatif mengandung kemiripan dengan in group. Dan kemiripan sesama anggota kelompok menandai karateristik unik tak dimiliki dari out group.
Sebenarnya identitas sosial menimbulkan perbedaan antar kelompok menjadi berkah bila diramu dengan nasionalisme. Adanya nasionalisme mengakar dapat mengokohkan rasa persatuan di antara identitas sosial berbeda pada masing-masing kelompok.
Idealisasi ini dapat diraih karena nasionalisme memberi hikmah tidak mementingkan kepentingan personal dan kelompoknya. Nasionalisme juga bermanfaat mengarahkan tujuan bersama membangun Indonesia menjadi bangsa yang melindungi segenap warga dan tumpah darah. Tujuan bersama lainnya adalah mengupayakan Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan bermartabat di antara negara lain di dunia.
Kesadaran tujuan bersama seharusnya membuat Indonesia bersyukur mengantongi budaya, etnis, dan keyakinan beragam yang menumbuhkan identitas sosial berbeda antar kelompok. Perbedaan identitas sosial menyimpan potensi menjadi kelebihan suatu kelompok sehingga berguna menutupi kekurangan kelompok lain.
Kebersamaan di tengah perbedaan identitas sosial bisa berjalan dengan syarat warga berasal dari in group dan out group menempati frekuensi yang sama. Perekatnya adalah unity in diversity atau sebaliknya diversity in unity demi kemajuan bangsa.
Realitas yang bisa dilihat dari adanya kelompok-kelompok dengan identitas sosial berbeda tidak selamanya menyumbang manfaat positif. Ketidakmampuan mengelola identitas sosial dalam interaksi antar kelompok dapat menimbulkan gelombang masalah yang mengancam keutuhan negara kesatuan republik Indonesia.
Problem keretakan bangsa terjadi gara-gara masih tumbuh benturan antara kelompok masyarakat memanfaatkan identitas sosial untuk memenangkan pertarungan kekuasaan di tingkat lokal maupun nasional.
Pelibatan identitas sosial untuk kepentingan politik praktis dialami dari menggoreng politik identitas sebagai strategi mengalahkan lawan. Seperti identitas sosial yang sebenarnya merupakan proses alamiah bersemi di suatu kelompok dimanipulasi untuk menggaet masa pemilih. Caranya dengan menumbuhkan in group favoritism.
Tindakan yang dijalankan untuk menanamkan in group favoritism adalah membangkitkan harga diri anggota dengan menebar benih keyakinan pada kelompok. Keyakinan yang dibangun adalah mengkondisikan in group lebih baik dibandingkan dengan out group.
Bermodalkan keyakinan mempunyai posisi tinggi dari out group dapat meningkatkan kepercayaan diri pada kelompoknya berhak atas akses kekuasaan pada wilayah tertentu. Pencapaian ini membangun militansi masa pemilih yang berasal dari kelompoknya sendiri untuk memenangkan pertarungan kompetisi politik.
Proses terjadinya in group favoritism bermuara pada in group bias. Terjadinya in group bisa dapat disaksikan pada saat simpatisan calon presiden, tim pemenangan calon legislatif, dan kader partai politik menilai kandidat dari kelompoknya lebih baik dibanding dengan kandidat dari kelompok lain.
Hal ini didasarkan pada penilaian subjektif bahwa kelompoknya lebih mempunyai kapasitas, sumber daya, kemampuan, pengetahuan dan keterampilan mengelola manajemen kekuasaan. Imbas dari anggapan ini cenderung merendahkan out group, arogan, merasa paling benar, dan meningkatkan egosentrisme mendorong kelompoknya menilai paling mempunyai kapasitas menduduki jabatan politik.
Akumulasi negatif dari menggelindingnya bola panas akibat dari masing-masing pihak merasa berhak meraih jabatan. Di antara mereka. Tidak ada yang mau dikalahkan. Maka akan terjadi kompetisi yang tidak sehat. Antar kompetitor yang bertarung di arena politik praktis. Bisa menghalalkan segala cara. Yang penting dirinya menang dan pihak lain kalah. Semangat hanya untuk menang itu. Memicu frustasi in group.
Saat kenyataan menunjukkan telah mengalami kekalahan pada perebutan kompetisi politik. Rasa frustasi bisa dilampiaskan dengan melakukan kekerasan. Perilaku kekerasan tersebut hadir didasarkan pada teori mengenai frustasi menyebabkan agresi.
Agar tidak sampai berujung pada tindakan kekerasan membuat bangsa ini berantakan. Terpecah belah. Memerlukan early warning system konflik politik. Implementasinya mengelola identitas sosial membawa kemaslahatan.
Maka menjadi tanggung jawab para elit yang dipercaya menahkodai kelompok memberikan pemahaman pada in group. Sejatinya identitas sosial berbeda antar kelompok adalah rahmat untuk melengkapi satu sama lain.
Penerapan early warning system konflik politik lainnya adalah perbedaan identitas sosial. Bukan menjadi penghalang menjalin komunikasi antara in group dan out group.
Prinsip-prinsip agar proses komunikasi berlangsung dengan baik. Mereka bukan kita adalah saudara. Meski mereka dengan kita berbeda pilihan politik. Sesungguhnya memiliki cita-cita luhur sama. Membangun Indonesia menjadi berjaya di masa depan.
Nasionalisme itu yang membingkai kerukunan untuk melindungi dari pihak-pihak tertentu yang menghembuskan politik identitas. Jualan politik identitas menjadi tidak laku lagi. Karena nasionalisme menyemai keikhlasan untuk menerima kekalahan. Ketika out group berhasil meraih kekuasaan. Diri dan kelompoknya menerima dengan lapangan dada.
Mereka yang memegang amanah kepemimpinan. Memang lebih baik. Selanjutnya mereka yang menang. Sebenarnya saudara kita juga. Saudara sebangsa dan setanah air.
Dan masih ada pengabdian lain yang bisa dilakukan untuk membangun bangsa ini. Tidak harus anggota dari in group menjadi presiden, kepala daerah atau anggota legislatif. Motivasi ini merupakan wujud sesungguhnya dari ekspresi cintai tanah air.
***
*) Oleh: Dr. Hadi Suyono, S.Psi., M.Si, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainor Rahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |
Konten promosi pada widget ini bukan konten yang diproduksi oleh redaksi TIMES Indonesia. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.