Starbuckisasi dan McDonalisasi Pendidikan

TIMESINDONESIA, MALANG – Kecenderungan komersialisasi yang mengkhawatirkan telah merembes ke jantung sistem pendidikan kita, dengan institusi pendidikan yang semakin menyerupai perusahaan raksasa seperti Starbucks dan McDonald's. Fenomena ini, meskipun tampaknya nyaman dan menguntungkan, merusak esensi dan tujuan sebenarnya dari lembaga pendidikan, yang menyebabkan banyak konsekuensi yang merugikan.
Karl Max perkenalkan fenomena ini sebagai Alienation yang berakibat pada ketidakberdayaan manusia karena kesadaran manusia sejatinya sudah tercerabut, diganti kesadaran semu industrial dan komersial, sehingga menurut Max Weber terjadilah penurunan kualitas kehidupan manusia atau dehumanisasi.
Advertisement
Pendidikan dimaksudkan sebagai tempat perlindungan untuk mengejar pengetahuan, pemikiran kritis, dan pertumbuhan pribadi. Namun, komersialisasi lembaga pendidikan yang berkembang, seperti yang dicontohkan oleh perusahaan seperti Starbucks dan McDonald's, mengalihkan fokus dari pengembangan intelektual ke pemaksimalan keuntungan.
Lembaga-lembaga ini dirancang untuk menghasilkan produk standar, seperti rantai makanan cepat saji, yang menghambat kreativitas dan keragaman pemikiran. Dalam konteks ini, pendidikan menjadi komoditas belaka, mengkomodifikasi aspirasi dan impian siswa.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Intrusi motif komersial ke dalam institusi pendidikan mengaburkan batas antara pendidik dan tenaga penjualan. Guru, yang seharusnya menjadi pemandu penuh semangat dalam perjalanan pencerahan, ditekan untuk memprioritaskan perekrutan dan perolehan pendapatan.
Pergeseran ini mengkompromikan kualitas pendidikan, karena fokusnya bergeser dari memberikan pengetahuan menjadi memenuhi kepentingan perusahaan. Bimbingan sejati yang memupuk pemikiran kritis dan pengembangan holistik mengambil tempat duduk belakang untuk promosi penjualan.
Selain itu, komersialisasi pendidikan melanggengkan ketimpangan sosial ekonomi. Institusi yang digerakkan oleh keuntungan cenderung memprioritaskan siswa yang kaya daripada mereka yang memiliki kemampuan keuangan terbatas.
Beasiswa dan bantuan keuangan, yang seharusnya mudah diakses, menjadi sumber daya yang langka di lembaga-lembaga yang berorientasi laba. Hal ini menggerogoti prinsip dasar bahwa pendidikan harus menjadi arena permainan yang setara, memberikan kesempatan bagi semua orang, terlepas dari latar belakang ekonomi mereka.
Standardisasi yang melekat pada institusi pendidikan komersial menghambat keingintahuan intelektual. Sama seperti menu makanan cepat saji, lembaga-lembaga ini menawarkan serangkaian kursus yang telah ditentukan sebelumnya, menyisakan sedikit ruang untuk eksplorasi interdisipliner atau jalur pembelajaran yang dipersonalisasi. Siswa diperlakukan sebagai pelanggan, diharapkan untuk mengkonsumsi konten yang ditentukan tanpa mempertanyakan atau menyimpang dari norma yang ditetapkan.
Institusi seperti Starbucks dan McDonald's berkembang dengan konsistensi dan keseragaman, ciri-ciri yang seharusnya tidak mendefinisikan pendidikan. Pendidikan sejati adalah tentang merangkul keragaman, mendorong perdebatan, dan menumbuhkan semangat penyelidikan. Model yang dikomersialkan bertentangan dengan prinsip-prinsip ini, menekan siswa untuk menyesuaikan diri dan menghindari ide-ide yang tidak nyaman atau tidak konvensional yang mungkin menantang status quo.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Selanjutnya, komersialisasi pendidikan mengkomodifikasi gelar dan sertifikasi. Alih-alih menjadi bukti pertumbuhan dan dedikasi intelektual seseorang, gelar dari institusi semacam itu menjadi tanda terima transaksional untuk layanan yang diberikan. Ini merendahkan pengalaman pendidikan dan mengikis kredibilitas gelar, karena dikaitkan dengan motif keuntungan daripada keunggulan akademik.
Institusi pendidikan yang dikomersialkan juga berkontribusi terhadap erosi budaya dan identitas lokal. Sama seperti restoran berantai yang menawarkan menu yang sama di seluruh dunia, institusi ini mempromosikan pendekatan pendidikan yang homogen. Hal ini menghambat keragaman perspektif dan pendekatan yang seharusnya muncul dari konteks budaya yang berbeda.
Fokus pada keuntungan sering mengarah pada pengabaian penelitian dan inovasi akademik. Institusi pendidikan asli dimaksudkan untuk menjadi pusat penciptaan dan penyebaran pengetahuan, mendorong batas-batas pemahaman manusia. Namun, ketika kepentingan komersial didahulukan, kegiatan penelitian seringkali disingkirkan, sehingga mengakibatkan hilangnya pertumbuhan intelektual bagi mahasiswa dan masyarakat pada umumnya.
Perbandingan dengan Starbucks dan McDonald's juga menyoroti sifat sementara dari pendidikan yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga ini. Dalam mengejar efisiensi, mereka menawarkan konten yang cepat dan mudah dicerna, mencerminkan pendekatan makanan cepat saji. Ini mengabaikan fakta bahwa pendidikan adalah perjalanan seumur hidup, bukan peristiwa transaksional. Proses pembelajaran adalah pengalaman bertahap dan transformatif yang tidak dapat diburu-buru atau dipadatkan ke dalam kerangka waktu yang telah ditentukan sebelumnya.
Kesimpulannya, komersialisasi institusi pendidikan, mirip dengan praktik Starbucks dan McDonald's, menimbulkan ancaman serius terhadap prinsip inti pendidikan. Alih-alih mendorong pertumbuhan intelektual, pemikiran kritis, dan pengembangan pribadi, lembaga-lembaga ini mengutamakan keuntungan, kesesuaian, dan keseragaman.
Lanskap pendidikan harus menjadi lahan subur untuk menumbuhkan pikiran terbuka, memelihara inovasi, dan merangkul keragaman. Upaya untuk membalikkan tren ini dan merebut kembali tujuan pendidikan yang sebenarnya sangat penting untuk memastikan masa depan yang lebih cerah dan diperkaya secara intelektual. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Dr. Adi Sudrajat M.Pd.I, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |
Konten promosi pada widget ini bukan konten yang diproduksi oleh redaksi TIMES Indonesia. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.