
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Terorisme merupakan sekelompok orang yang berniat jahat terhadap siapa saja, terlebih ditujukan untuk menghancurkan negara. Kacung Mardjan berpendapat, istilah teror juga disebut sistem regisme de terreur yang muncul pertama kali tahun 1789 dalam The Dictionary Francaise, konteks dari revolusi Prancis, lekat dalam menggunakan istilah tersebut.
Istilah terorisme waktu itu memiliki konotasi yang positif, yaitu dilakukan untuk menggulingkan penguasa dan aksi itu berhasil dilakukan. Istilah terorisme merupakan salah satu dari sekian banyaknya istilah dan konsep dalam ilmu sosial yang penuh dengan kontroversi serta perdebatan.
Advertisement
Hal tersebut tidak lepas dari fakta, bahwa upaya dalam mendefinisikan terorisme itu tidak dapat dilepaskan dari berbagai latar belakang. Contoh, kepentingan politik dan ideologi. Pandangan Gibbs mengenai hal ini, munculnya kontroversi dari pendefinisian teroris tidak lepas dari fakta, bahwa pemberian lebel terhadap aksi teror akan merangsang adanya kecaman keras terhadap pelakunya.
Jika ditinjau dari epistemologi, terorisme berakar dari kata terror yang artinya takut, kecemasan, penggentaran, pengacau dan menakut nakuti (Wojowasito dan Poerdarminta, 1980).
Definisi yang digunakan oleh kalangan penguasa cenderung memaknai istilah terorisme lebih ekstern, karena secara aktif mereka harus mempunyai tanggung jawab dan wajib untuk memberantas pergerakan kelompok tersebut, bahkan menjadi korban dari terorisme. Pemerintah Inggris lah yang pertama kali mendefinisikan perbedaan antara terorisme dan kriminal.
Pada tahun 1974, terorisme didefinisikan sebagai kekerasan untuk tujuan politik, dan termasuk untuk menjadikan masyarakat dalam ketakutan. Sedangkan pada tahun 1980, CIA (Central Intellegence Agency) mendefinisikan terorisme sama dengan sebuah ancaman atau penggunaan kekerasan untuk tujuan politik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok, atas nama atau menentang pemerintah yang sah, dengan menakut nakuti masyarakat yang lebih luas.
Dua Jenis Teroris
Kaum teroris sering melawan balik untuk memperoleh justifikasi moral dengan membandingkan kekerasan yang mereka lakukan dengan kekerasan yang dilakukan oleh lawannya. Dengan perbandingan tersebut, kaum teroris ini mencoba memposisikan aksi dan tujuannya pada tingkatan moral yang sama, seperti yang dilakukan oleh lawannya, yaitu pemerintah.
Dilihat dari jenisnya, terorisme terbagi dalam dua macam; Pertama, state terorism. Yaitu instrument kebijakan suatu rezim penguasa dan negara. Dalam dunia perpolitikan, istilah terorisme sering kehilangan makna yang sebenarnya, dan menjadi bagian dari retorika yang menyakitkan antara politikus yang bertikai.
Seseorang yang bertikai pasti saling menuduh pada lawan politik dengan melakukan terror. Jika tindakan itu berhasil, maka tidak akan ada keraguan dan rasa takut lagi teroris tersebut melakukan aksi teror kembali terhadap lawannya.
Kedua, non state terorism. Yaitu merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap perlakuan politik, sosial, ketidak adilan ekonomi dan represif yang menimpa seseorang atau kelompok. Aksi dari terorisme ini biasanya dilakukan melalui bentuk serangan-serangan yang telah terkoordinasi yang mempunyai tujuan utama, yaitu untuk menumbuhkan atau membangkitkan rasa ketakutan luar biasa.
Aksi teror semacam ini sudah ada sejak dahulu di Indonesia. Akan tetapi, Tindakan demikian sangatlah beragam cara teror yang meresahkan dan memunculkan rasa ketakutan masyarakat. Tahun 2013 panglima TNI bernama jenderal Moeldoko mengatakan bahwa, aksi dari terorisme telah berubah dari tradisional ke pola modern.
Perubahannya yaitu tindakannya sudah dilakukan secara mandiri dengan menggunakan struktur organisasi lokal dan linier, terpisah dan juga tidak jelas.
Pelaku teror kerap melakukan aksinya dengan menggunakan phantom cell network, yang mana hal tersebut penghubung antar kelompok teroris dengan tingkat kerahasiaannya sangat tinggi.
Dari adanya hubungan antar teroris baik lokal maupun antar negara, serta memiliki satu tujuan yang sama, maka memiliki kesinambungan visi-misi. Demikian pula terhubung pada jaringan internasional ISIS dan jaringan kelompok teroris dari berbagai negara.
Salah Paham Tafsir Jihad dan Politik
Sejak dulu, teroris memiliki jaringan yang berkembang, bahkan berpengaruh terhadap sejumlah anggota keluarga. Adanya suatu fenomena aksi teror yang dilakukan oleh suatu keluarga menunjukkan bahwa teroris itu mampu meradikalisasi seluruh anggota keluarga.
Keterlibatan perempuan dalam aksi terror pun kerap digunakan mengelabuhi target. Karena, perempuan tidak dicurigai oleh aparat sehingga memudahkan aksi.
Terdapat juga kasus teror yang melibatkan anak-anak supaya dapat mengelabuhi aparat dalam melancarkan aksi.
Dalam Islam, berbicara mengenai teroris acap kali dikaitkan dengan doktrin jihad. Arti jihad dibagi menjadi dua konsep. Pertama, konsep moral, yang diartikan sebagai perjuangan kaum muslim melawan hawa nafsu atau perjuangan melawan dirinya sendiri jihad al-Nafs yang disebut jihad al-Akbar. Kedua, konsep politik, diartikan sebagai konsep “perang yang adil”.
Demikian yang kerap disalah pahami, hingga menyandarkan pada teks suci untuk melegalkan kekerasan, penyerangan dan pertumpahan darah atas nama agama. Hingga saat ini pergerakan teroris di Indonesia masih massif, baik yang bergerak di bawah tanah maupun di atas permukaan publik.
Beberapa kelompok teroris yang wajib diwaspadai sesuai data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), diantaranya; Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Negara Islam Indonesia (NII), Jamaah Ansharusy Syariah (JAS), Jamaah Ansharut Khilafah (JAK), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Islamiyah (JI), dimana keenamnya terhubung pada ISIS.
Oleh karenanya perlu adanya aksi tegas dari berbagai badan atau lembaga maupun ormas Islam moderat, yang fokus pada penanganan terorisme, radikalisme dan ekteremisme.
***
*) Oleh: Ali Mursyid Azisi, S.Ag (Pengurus Asosiasi Penulis-Peneliti Islam Nusantara LTNNU Jawa Timur, Peneliti Centre for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainor Rahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |
Konten promosi pada widget ini bukan konten yang diproduksi oleh redaksi TIMES Indonesia. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.