Cara Mencari Kebenaran, Kebahagiaan, dan Keselamatan

TIMESINDONESIA, MALANG – Gejolak kegelisahan sering kali mendapati seorang pribadi hingga menusuk ke jantung kesadaran. Apa sih yang sebenarnya kita cari di kehidupan yang fana ini? Kita selalu disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan. Dalam satu bulan kerja lantas menerima gaji lalu dalam hitungan hari lenyap begitu saja.
Setiap kali memulai aktifitas sejak bangun pagi, sarapan, berangkat kerja selama 12 jam, pulang sore bahkan hampir larut malam, kemudian kembali tidur. Begitulah siklus keseharian kita. Lalu apa yang sebenarnya kita cari sebagai makhluk bernama manusia?
Advertisement
Awal Mula Manusia
Sejak manusia pertama diciptakan yakni Nabi Adam as. Pada saat yang sama ia juga menjadi makhluk yang dimuliakan oleh tuhan dari pada makhluk yang lain. Kenapa demikian?
Alasan manusia makhluk paling mulia daripada makhluk yang lainnya, kalau ditelusuri dari berbagai bacaan, referensi, buku, literatur, dan sebagainya, tak lain dan tak bukan karena manusia diberikan anugerah berupa “akal” yang membedakan dengan makhluk lainnya.
Manusia adalah representatif dari makhluk paripurna. Ia mempunyai kebebasan untuk memilih bertindak baik ataupun buruk. Malaikat adalah gambaran makhluk yang patuh tidak pernah ia mengingkari perintah tuhan. Sedangkan iblis, adalah manifestasi dari makhluk yang senantiasa bertindak buruk dengan kesombongannya.
Peran akal adalah sebagai lokomotif manusia untuk melakukan suatu tindakan, sehingga derajat manusia bisa menjadi lebih rendah dari pada iblis ketika melakukan kekejian. Derajatnya justru bisa lebih luhur dari malaikat manakala mengantarkan tindakan yang terpuji.
Sebelum Tuhan menciptakan manusia, terlebih dahulu telah menginformasikan kepada malaikat “aku hendak menjadikan seorang khalifah (manusia) di muka bumi.”, lantas para malaikat menjawab tuhan dengan alasan bahwa khalifah itu hanya akan membuat kerusakan di muka bumi. Tuhan menjawabnya “sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Demikian pula pada Al Kitab dalam Kejadian 1:26 “baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita. supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.”
Makna khalifah yang ada dalam ayat suci Al-Qur’an adalah suatu anugerah yang diberikan tuhan kepada seluruh umat manusia untuk merawat, menjaga dan memelihara bumi dan seisinya. Dengan dianugerahkan akal manusia diberikan beban tanggung jawab yang ada di bumi seisinya.
Pencarian manusia akan eksistensi “kebenaran, kebahagiaan dan keselamatan” mendapati korelasinya.
Saya sangat meyakini seratus persen, bahwa seluruh agama ataupun kepercayaan yang dipegang oleh seluruh anak adam menghayati ketiganya, atau minimal satu dari ketiganya.
Namun, dari agama-agama samawi niscaya meraih “keselamatan” eskatologis atau yang bernuansa ukhrawi.
Lalu bagaimana dengan atheis, yang tidak percaya tuhan?
Setidaknya, ia akan menghasrati kebahagiaan dan kebenaran. Entah mencarinya dengan cara bekerja, bercinta dengan pasangan, menghabiskan uang untuk berlibur, atau mencari kesenangan dengan cara yang lainnya.
Keunikan Manusia Sebagai Makhluk Berakal
Spesies bernama manusia sangatlah unik, selama pencarian saya perihal definisi tentangnya ia akan bermuara pada “hewan yang berakal.” Lantas pernyataan sebelumnya akan koheren, bahwa manusia dengan akalnya lah yang membedakan dengan makhluk lainnya.
Anugerah berupa akal menjadi dilema tersendiri secara antropologis maupun sosiologis. Di satu sisi kekuatan untuk merubah dunia, dan di sisi yang lain akal pula yang menghancurkannya.
Misalnya dalam revolusi industri bermula dari mesin, lalu beralih ke listrik, kemudian ke komputer dan kini menjelma internet. Semuanya, terdapat banyak dampak positif bagi peradaban manusia di satu sisi.
Disisi lain, tak kalah berlimpah pula kerusakan yang disebabkan oleh manusia dengan kecerdasan yang dihasilkannya.
Banyaknya pabrik-pabrik, sepeda motor, berbagai pembangunan infrastruktur, pencemaran lingkungan, penebangan hutan, dan sebagainya.
Diibaratkan, manusia tidak akan pernah puas dengan berbagai pencapaiannya. Seandainya dua gunung dirubah menjadi emas. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sigmund Freud bahwa dorongan manusia dilatar belakangi oleh peran nafsu, libido seksual, egosentris belaka.
Rebutan kekuasaan, kekayaan, aneksasi, pencaplokan, ekspansi, perang, dan sebagainya. Perang dunia pertama maupun kedua menjadi representasi dari keserakahan dan ketamakan manusia, lebih serakah bahkan buas daripada binatang.
Di era saat ini misalnya, manusia bisa memanipulasi kebenaran, menjawab persoalan, hanya melalui kecerdasan buatannya atau yang gandrung dikenal artificial intelegence. Hanya dengan memasukkan kata kunci, lantas boom keluar apa yang ingin kita cari.
Sehingga pada akhirnya manusia hilang fitrahnya sebagai makhluk sosial. Sudah tidak menggunakan aktifitas kreatifnya lagi, ketergantungan akan teknologi yang kian tak terkendali.
Obat Penawar Bagi Kegelisahan Manusia
Teringat dengan salah satu teori dari Plato tentang jiwa. Menurutnya, manusia memiliki jiwa yang terdiri dari tiga bagian yakni rasional, keberanian dan nafsu. Akal selalu menginginkan kebenaran yang hakiki dan berfungsi sebagai sais atau kendali bagi keduanya, sehingga ia menjadi pembeda bagi baik dan buruk.
Pencarian manusia akan kebenaran, kebahagiaan dan keselamatan pada akhirnya hanya dan satu-satunya didapatkan ketiganya itu di dalam agama.
Agama, tidak melarang manusia untuk mencari kebahagiaan di dunia contohnya healing, makan di restoran, menikah, dan hal lain yang bersifat duniawi tidak keluar dari ajaran syariat.
Belakangan ini terdapat beberapa kelompok di dalam agama Islam khususnya, menyebarkan ajaran dan praktik untuk menjauhkan diri dari kehidupan dunia yang masif disuarakan. Padahal, konsepsi yang demikian belum tentu benar bahkan sesat.
Misalnya, dalam hal berumah tangga. Seorang suami memiliki tanggung jawab penuh untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. Tapi, ketika suami itu menjalani kezuhudan tidak bekerja tapi terus beribadah di dalam gereja, masjid atau tempat ibadah lainnya, maka akan berakibat kepada kelangsungan hidup keluarganya. Bahkan berakibat kelaparan, kemiskinan, perceraian, KDRT, penelantaran anak dan konsekuensi yang merugikan lainya baik aspek sosial maupun ekonomi.
Peran akal tak lain adalah untuk membenarkan hakikat akan keberadaan tuhan atau dalam konteks ini adalah agama. Misalnya dalam konsep kausalitas, kemustahilan semisal alam semesta ada dengan sendirinya tanpa intervensi kekuasaan tuhan untuk menciptakannya.
Begitu kita telah mengafirmasikan keberadaan tuhan dengan merenungi bumi dan seisinya, lantas mengikuti risalah profetik diekspresikan dalam bentuk peribadatan dengan penuh rasa ridho, maka kita akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki setelah kematian. Kemudian, kita akan mendapatkan keselamatan yang telah dijanjikan tatkala hari kebangkitan berlangsung.
Semoga dengan akal dan kewarasan kita akan bahagia dan mulia, tidak hanya di kehidupan ini tapi juga kehidupan nanti.
***
*) Oleh: Abdur Rohman, mahasantri ponpes Luhur Baitul Hikmah sekaligus mahasiswa STF Al-Farabi Kepanjen, Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainor Rahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |
Konten promosi pada widget ini bukan konten yang diproduksi oleh redaksi TIMES Indonesia. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.