Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Politik Identitas Dalam Konsep Aliran Esensialis dan Aliran Konstruktivisme

Sabtu, 09 September 2023 - 09:28 | 131.60k
Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA). (FOTO: AJP TIMES Indonesia)
Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA). (FOTO: AJP TIMES Indonesia)
FOKUS

Universitas Islam Malang

Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Apakah identitas bersifat individual atau komunitas? Setidaknya ada dua aliran dalam ilmu sosial menjawab pertanyaan ini. Pertama, aliran esensialis. Aliran ini berpendapat bahwa identitas pada dasarnya bawaan sejak sebelum lahir, atau alamiah.

Identitas melekat pada diri seseorang sejak diciptakan Tuhan di alam sebelum lahir. Identitas seseorang etnis Sunda misalnya adalah bawaan karena dia lahir dari rahim ibu dan ayah etnis Sunda. Kalaupun ada percampuran antara etnis Sunda dan Jawa misalnya, percampuran tersebut sudah melekat sejak dalam kandungan.

Advertisement

Begitu juga dengan identitas agama, bahasa, budaya, dan adat, bagi aliran ini, melekat pada seseorang sejak dalam kandungan ibu. Lalu bagaimana dengan perubahan setelah seseorang dewasa? Menurut aliran ini, perubahan, pertumbuhan, dan perkembangan seseorang mesti di atas identitas dasar yang alamiah dan bawaan yang tidak bisa berubah. Misalnya, seberapa jauh pun seseorang berubah, identitas etnis seseorang tidak akan berubah. Aliran ini pada umumnya percaya bahwa identitas yang alamiah itu ciptaan Tuhan bersamaan dengan penciptaan fisik. (Calhoun, C. J.,”Social theory and the politics of identity”, T. Tp; T. tp., 1994).

Kedua, aliran konstruktivisme. Aliran ini berpandangan bahwa identitas manusia adalah hasil bentukan lingkungan di mana ia lahir, tumbuh, dan berkembang. Seseorang yang lahir dari keluarga Jawa, maka identitas yang melekat padanya merupakan hasil bentukan lingkungannya. Identitas keagamaan seseorang juga adalah bentukan masyarakat di mana ia lahir.

Teori ini sedikit banyak sejalan dengan perkataan nabi Muhammad Saw. bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan bening, kecuali keluarganya yang membentuknya menjadi Islam, Kristen, Yahudi atau lainnya. Bagi aliran ini, identitas seseorang akan terus bertumbuh. Ketika seorang etnis Jawa menikah dengan etnis Papua, maka mereka akan menghasilkan identitas baru Demokrasi, Politik Identitas, dan Kohesi Sosial hasil perkawinan keduanya.

Adat kebiasaan masing-masing akan saling memengaruhi identitas yang akan menjadi dasar bagi perilaku mereka dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dari aliran pertama, bagi aliran ini, identitas tidak ada yang dibawa seseorang sejak lahir kecuali hasil bentukan lingkungannya. Tulisan ini mengadopsi kedua aliran dalam memahami dari mana identitas berasal dengan rumusan sebagai dari identitas adalah bawaan dan sebagian lainnya merupakan bentukan lingkungan.

Rumusan ini berusaha menengahi perbedaan tajam antara esensialis dan konstruktivis. Identitas berupa ras, etnis, warna kulit, kelamin, adalah di antara bawaan dari lahir. Seseorang tidak bisa meminta dilahirkan dari keluarga ras mana, etnis mana, dan jenis kelamin apa. Semua itu terberi (given) sejak seseorang dalam kandungan. Akan tetapi, ada aspek dari identitas manusia yang terbentuk karena pergaulan di lingkungan.

Misalnya bahasa. Seseorang etnis Sunda akan bisa berbahasa Bugis jika dia tinggal di Makassar, Sulawesi Selatan. Lingkungan Makassar membentuk kemampuan seorang Sunda Berbahasa Bugis. Seseorang yang terlahir sebagai Muslim di lingkungan Nahdlatul Ulama sangat mungkin menjadi anggota organisasi Muhammadiyah setelah bergaul dan berteman dengan tokoh yang dikaguminya di Muhammadiyah, dan begitu juga sebaliknya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Berdasarkan penjelasan di atas, tulisan ini berpendapat bahwa penjelasan aliran campuran yang paling masuk: Sebagian bawaan yang tidak bisa berubah dan sebagian lainnya bentukan yang bisa berubah seiring lingkungan. Umumnya, identitas bawaan adalah segala sesuatu yang melekat dengan fisik, seperti jenis kelamin, warna kulit, dan lainnya. Sementara, identitas yang bisa berubah adalah segala sesuatu yang tidak melekat dengan fisik, seperti sikap dan perilaku.

Akan tetapi, seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, warna kulit kini bisa diubah melaui operasi plastik. Kita ingat Michel Jakson, yang berkali-kali operasi plastik, yang tadinya kulit berwarna gelap menjadi putih. Bahkan, di beberapa negara operasi jenis kelamin telah berhasil dilakukan pada beberapa orang yang menginginkannya.

Meski begitu, perubahan pada fisik ini hanya terjadi pada sebagian kecil saja dibanding jumlah penduduk di dunia yang menerima kenyataan fisik sebagaimana pemberian sejak lahir. Singkatnya, identitas tidak lah tunggal pada saat yang sama tidaklah beku melainkan cair dan bisa berubah. (Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.II 2018).

Politik identitas menjadi masalah di negeri yang beragam seperti Indonesia karena tiga hal berikut. Pertama, politik identitas berpotensi mengecilkan bahkan menghilangkan identitas lain yang hidup di masyarakat. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, identitas pada setiap individu ada banyak dan cair. Demikian juga dengan sekumpulan orang di dalam komunitas, di satu kabupaten/kota, atau negara, identitas lebih banyak dan rumit.

Untuk kepentingan politiknya, politisi dengan sengaja mengedepankan satu identitas yang dianggap paling bisa membujuk warga agar memilihnya saat pemilihan umum. Bukan saja menonjolkan identitas tertentu, lebih jauh dari itu menjanjikan akan mengistimewakan mereka yang berasal dari identitas tersebut. Ketika kelak terpilih dan janji Demokrasi, Politik Identitas, dan Kohesi Sosial tersebut dia penuhi, maka warga negara yang beda identitas tidak turut menikmati kebijakan tersebut. Sejak keputusan tersebut diputuskan, sang politisi mulai mendiskriminasi mereka yang tidak satu kubu dengannya. Lebih jauh, identitas lain yang kecil jumlahnya tidak saja dikecilkan, tetapi juga berpotensi dianggap tidak ada. 

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES