Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Politik Identitas di Indonesia: Antara Nasionalisme dan Agama

Sabtu, 09 September 2023 - 17:27 | 97.06k
Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA). (FOTO: AJP TIMES Indonesia)
Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA). (FOTO: AJP TIMES Indonesia)
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Mengutip dari (https://hmj-hi.umm.ac.id/id/pages/ir-fact-and-issue-2-7276/politik-identitas-pemersatu-yang-memecah-belah.html) Indonesia adalah sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras serta budaya. Di negeri yang terletak di garis Khatulistiwa ini, Indonesia banyak menyimpan berbagai sumber daya alam dan juga sumber daya manusia yang melimpah.

Dengan penduduk yang begitu banyak dan juga memiliki latar belakang budaya, agama serta suku yang berbeda-beda, kerapkali bangsa ini di hadapkan pada satu kondisi dimana persatuan berada diujung tanduk. Solusinya, mencari satu pegangan yang mana bisa dijadikan sandaran untuk mempersatukan banyak masyarakat dan juga kepentingan didalamnya.

Advertisement

Maka dari itulah lahir semboyan negara kita Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda namun tetap satu jua. Seiring berjalanya waktu, persatuan Indonesia banyak menghadapi ancaman, entah ancaman eksternal maupun internal. Sejak kemerdekaan, bangsa ini sudah mengalami 2 kali invasi militer oleh Belanda, pemisahan diri oleh Timor Timor, konflik separatis diberbagai wilayah, dan kondisi politik dalam negeri kita.

Politik dalam negeri kita pun sering berada dalam keadaan tidak stabil, terutama pasca kemerdekaan dimana kita berganti-ganti sistem pemerintahan mulai dari terpimpin, parlementer sampai demokrasi Pancasila. Zaman Orde Baru semua tersentralisasi pada pemerintah pusat yang di pegang oleh The Smiling General, Soeharto, dan masa saat ini, era reformasi, demokrasi di Indonesia sudah dianggap cukup matang dan jauh lebih baik di bandingkan era-era sebelumnya. Namun, walaupun keadaan demokrasi di negara kita semakin tahun semakin membaik, ada satu hal yang tak dapat dilepaskan dari perjalanan politik di Indonesia, yaitu Politik Identitas. Uraian mengenai politik identitas tidak terlepas dari makna identitas itu sendiri. Suparlan (2004:  25).

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Politik identitas lahir dari sebuah kelompok sosial yang merasa diintimidasi dan didiskriminasi oleh dominasi negara dan pemerintah dalam menyelenggarakan sistem pemerintahan. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar lahirnya politik identitas dalam persoalan kenegaraan. (Lestari, Y. S. (2018). Politik Identitas Di Indonesia: Antara Nasionalisme Dan Agama). Dari sini dapat disimpulkan bahwa sebenarnya politik identitas adalah sebuah cara berpolitik yang didasarkan pada kesamaan identitas , di Indonesia sendiri politik identitas kerap dikerucutkan menjadi dua kelompok, yaitu nasionalis dan agamis. Saya tidak akan membahas mengapa bisa terbagi menjadi dua kelompok seperti diatas, namun saya akan membahas bagaimana dampak dari politik identitas ini bagi bangsa dan negara kita.

 Politik identitas memberikan ruang besar bagi terciptanya keseimbangan dan pertentangan menuju proses demokratisasi sebuah negara. Apabila tidak dikelola dengan tepat dan bijak akan menyebabkan hancurnya stabilitas negara. Pertentangan antara kedua-dua identitas tersebut dapat mengancam kestabilan negara apabila pemerintah tidak memiliki political will dalam menengahi isu ini. Bukan saja kepentingan politik yang dipertaruhkan melainkan juga kepentingan masyarakat luas, sebab politik identitas sebagai politik perbedaan merupakan tantangan tersendiri bagi tercapainya sistem demokratisasi yang mapan. 

Sebagai contoh, masa penjajahan dulu kita mampu bersatu sebab kita memiliki satu identitas, yakni bangsa Indonesia, kita mampu melawan penjajah karena dilandasi semangat persatuan tersebut, namun, jika salah mengelola, maka politik identitas akan membuat masyarakat terpecah belah seperti saat Pilkada DKI. Yang mana sampai saat ini pun masyarakat semakin terkotak-kotak dan terbagi tidak hanya dalam kehidupan perpolitikannya namun juga sosial dan budayanya.

Hal ini jika dibiarkan terus menerus akan mengoyak stabilitas bangsa. Dan ini cukup disayangkan mengingat perbedaan yang kita miliki sejatinya pernah menjadi kekuatan kita, saat ini malah menjadi senjata yang menghancurkan kita dari dalam bangsa kita sendiri. Solusinya hanya satu, dialog.

Dialog dengan siapapun yang memiliki pandangan berbeda dengan kita maka akan membuka satu sudut pandang baru bagi kita untuk memahami bagaimana mereka bersikap dan memilih pendirian mereka. Karena seyogyanya antara nasionalisme dan agama tidak bisa di benturkan. Sebagaimana perkataan K.H Hasyim Asy'ari: " Agama dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak bersebrangan. Nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan". (Journal of Politics and Policy1(1), 19–30. Retrieved from https://jppol.ub.ac.id/index.php/jppol/article/view/4).

Ketua PBNU memandang bahwa politik identitas sangat berbahaya dan berpotensi menimbulkan perpecahan di tengah kehidupan masyarakat. Politik identitas merupakan praktik politik yang hanya menyandarkan penggalangan dukungan berdasarkan identitas-identitas primordial. "Atau mengutamakan identitas primordial tanpa ada kompetisi yang lebih rasional menyangkut hal-hal yang lebih visioner, tawaran-tawaran agenda yang bisa dipersandingkan antara satu kompetitor dengan lainnya,".

Karena politik identitas hanya mengedepankan identitas kelompok-kelompok primordial sehingga menjadi berbahaya bagi integritas masyarakat secara keseluruhan. Sebab politik identitas mendorong perpecahan masyarakat. Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof H Haedar Nashir mengatakan" Karena menyandarkan primordial SARA, lalu sering terjadi politisiasi sentimen-sentimen atas nama agama, suku, ras, golongan, yang kemudian membawa pada polarisasi. Bahkan di tubuh setiap komunitas dan golongan, itu bisa terjadi," jelas Prof Haedar. 

Setelah menjelaskan tentang bahaya politik identitas itu, Prof Haedar menegaskan bahwa Muhammadiyah bersama NU telah selesai soal penolakan terhadap politik identitas. Ia mengajak seluruh kontestan politik menjalankan praktik politik yang rasional."Mari kita berkontestasi mengedepankan politik yang objektif, rasional, dan yang ada di dalam koridor demokrasi yang modern," ujarnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES