
TIMESINDONESIA, PAMULANG – Harga beras kembali menjadi permasalahan bangsa kita saat ini bahkan dibeberapa negara mengalami hal yang sama. India sebagai negara penghasil beras terbesar di dunia mulai membatasi export beras. Kebutuhan di dalam negeri menjadi pertimbangan mereka untuk melakukan pembatasan eksport beras.
Dengan jumlah penduduk mencapai 1.4 milyar jiwa tentu membutuhkan bahan pangan dan jaminan stock pangan yang mencukupi. Sementara Vietnam sebagai salah satu negara penghasil beras terbesar juga melakukan hal yang sama terkait dengan pembatasan export beras seperti India.
Advertisement
Sedangkan Indonesia sebagai negara penghasil beras juga mengalami gejolak harga, karena tingginya permintaan sementara supply terbatas. Sehingga pemerintah melalui bulog melakukan operasi pasar. Terbatasnya supply beras di pasar tidak terlepas dari gagalnya panen dibeberapa daerah sentral penghasil beras di Indonesia.
Sawah produktif yang biasanya panen dua atau tiga kali dalam satu tahun terancam gagal, karena perubahan iklim. Musim kemarau yang panjang membuat sawah menjadi tidak produktif dan menurunnya hasil panen.
Pada kondisi normal, musim tanam biasanya dimulai pada bulan Oktober, karena pada bulan tersebut sebagian besar lahan sawah sudah mengering. Maka pada bulan Januari yang biasanya panen raya ada kemungkinan gagal panen. Kondisi inilah yang membuat supply beras berkurang.
Sebenarnya kita berharap ada solusi jangka panjang dalam mengatasi permasalahan yang selalu terulang. Kolaborasi antar lembaga dan kementrian untuk menyelesaikan permasalahan ini sangat penting agar program pemerintah untuk membangun ketahanan pangan bisa terwujud dengan cepat.
Disinilah peran dan tugas pemimpin bangsa menyediakan sumber pangan yang bisa di jangkau oleh semua lapisan masyarakat. Seperti yang disampaikan oleh Menteri perdagangan Republik Indonesia di hadapan anggota dewan perwakilan rakyat. Bahwa India sebagai salah satu negara penghasil beras terbesar di dunia ternyata.
Memberdayakan koperasi dalam tata kelola sumber pangan seperti beras dari mulai distribusi pupuk. Sistem jual beli gabah, penggilingan dan penjualan beras di bangun dengan sistem koperasi. Sehingga tidak ada monopoli dalam mata rantai dan tata kelola beras.
Indonesia sebagai negara besar dengan potensi alam yang luas dan subur seharusnya mampu mengelola sumber pangan. Jangan kita biarkan masyarakat beralih dan menjadikan mie instan menjadi makanan pokok masyarakat. Jika ini terjadi, maka beban negara kedepan semakin berat dengan menjadikan negara sebagai importir gandum dan tepung. Seperti kita import BBM dari luar Negeri.
Walaupun pembangunan food estate belum memberikan hasil dalam jangka pendek, seperti yang di sampaikan Presiden Jokowi, dibutuhkan kesungguhan dan niat yang kuat untuk membangun ketahanan pangan di dalam Negeri. Jangan sampai Negara kita dengan jumlah penduduk besar hanya menjadi pasar bagi negara lain.
Kita bisa melihat permasalahan kenaikan harga beras saat ini tidak terlepas dari kurangnya perencanaan yang baik dari pemimpin kita terdahulu dalam membangun ketahanan pangan dalam jangka panjang.
Betapa beratnya generasi yang akan datang untuk bisa bertahan hidup. Seiring dengan meningkatnya harga pangan dunia, maka beban biaya hidup mereka tentu juga bertambah. Kita bisa melihat fenomena generasi muda di Jepang dan China yang memilih tidak menikah (Childfree).
Hal ini tidak terlepas dari tingginya biaya hidup di negara tersebut. Walaupun kita belum sampai pada tahapan itu, tidak menutup kemungkinan akan terjadi di Negara kita suatu saat nanti khususnya di kota besar.
Mencari sumber karbohidrat selain beras perlu digalakkan kembali termasuk budidaya kentang di negara kita. Hal ini sangat sederhana dan perlu disosialisasikan secara aktif kembali kepada masyarakat. Selain membuat produk yang menarik dan kekinian dari bahan pangan selain beras. Banyak generasi sekarang yang tidak mengenal jagung, singkong atau ubi karena dari orang tua mereka sendiri tidak memperkenalkan makanan tersebut dalam keluarga.
Jika pengenalan sumber pangan ini dilakukan secara massif sejak dini oleh seluruh lapisan masyarakat dengan menyediakan diatas meja makan keluarga masing-masing. Kita akan memiliki generasi yang mencintai jagung, pisang rebus, ubi, singkong rebus, goreng, walaupun bukan sebagai makanan utama tapi mereka bisa menikmatinya.
***
*) Oleh : Sugiyarto, S.E., M.M.; Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pamulang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainor Rahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |
Konten promosi pada widget ini bukan konten yang diproduksi oleh redaksi TIMES Indonesia. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.