
TIMESINDONESIA, MALANG – Isu terkait kebangkitan komunisme di tanah air selalu menjadi perdebatan di kalangan masyarakat. Fenomena kembali munculnya Partai Komunis Indonesia (PKI) kerap muncul setiap menjelang 30 September yang dikenal sebagai peristiwa G30S PKI.
Padahal kita tahu bersama, komunis di Indonesia sudah diberangus habis di era-era Orde Baru. Pemerintah saat itu menganggap, bahwa PKI menjadi dalang percobaan kudeta serta jelas-jelas ideologinya bertentangan dengan Pancasila.
Advertisement
Selain erat kaitannya antara politik dan ideologi, komunisme juga bersinggungan dengan sistem ekonomi yang dijalankan suatu negara.
Sebetulnya, seperti apa sistem ekonomi sosialis-komunis dan bagaimana penerapannya?. Sampai detik ini, tak ada blue print yang disepakati seluruh negara komunis di dunia bagaimana sistem ekonomi sosialis-komunis seharusnya diterapkan.
Setiap negara yang masih menganggap diri sebagai pemerintahan komunis saat ini seperti Kuba, China dan Korea Utara, memiliki pandangan yang berbeda-beda bagaimana seharusnya ekonomi berasaskan komunisme dan sosialisme dijalankan. Para sarjana hubungan internasional juga sepakat demikian, yakni penafsiran Komunisme di setiap negara berbeda-beda.
Sebagai contoh paling sebuah Negara yang jelas-jelas Komunis adalah China. Negara Tirai Bambu ini bisa dikatakan merupakan negara yang benar-benar menerapkan ekonomi proletar di periode awal atau di era Mao Zedong.
Jika dilihat secara usia kemerdekaan, sebetulnya China dan Indonesia tidak terpaut usia yang cukup jauh. Ketika Presiden Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, empat tahun kemudian Mao Zedong memproklamirkan RRC yang bertepatan pada 1 Oktober 1949. Mao Zedong sekaligus menjadi peletak dasar komunisme di China.
Kendati pun jelas-jelas merupakan negara komunis, namun China justru menjelma menjadi kapitalis dalam menjalankan roda ekonominya. Kini, China jauh melesat menjadi penguasa ekonomi global kedua. Bahkan diprediksi bakal menggusur Amerika Serikat di era-era mendatang.
Kondisi ini tentu saja berbanding terbalik dengan ekonomi China di awal-awal kemerdekaannya. Bahkan pada saat itu bisa dikatakan masih tertinggal dari Indonesia.
Namun untuk saat ini, harus diakui bahwa bangsa kita secara ekonomi harus banyak belajar dari China. Terutama soal pemulihan ekonomi besar-besaran pasca dilanda masa-masa sulit. Dalam lintasan sejarah, masyarakat China pernah mengalami kelaparan panjang, akibat rumusan kebijakan yang kurang tepat.
Belajar dari China bukan berarti harus menjadi budak korporatnya, melainkan meniru apa yang dilakukan China untuk mensejahterakan ekonomi masyarakatnya secara ugal-ugalan. Dengan target, minimal nilai GDP kita di bawah mereka sedikit, itu jauh lebih baik ketimbang tidak sama sekali.
Sayangnya, sebagian masyarakat selalu punya paradigma negatif soal China, bisa jadi karena yang diketahuinya adalah soal China itu Komunis, hutang negara, hanya seputar itu-itu saja. Sehingga tak sedikit narasi-narasi soal “Anti China” selalu bermunculan, apalagi menjelang pesta demokrasi 5 (lima) tahunan.
Bicara soal pesta demokrasi, di tahun 2024 mendatang Indonesia akan menghadapi Pemilihan Umum. Secara otomatis, harapan masyarakat sangat besar setiap memilih pemimpin-pemimpin negeri ini. Hal ini lantaran isu paling banyak menjadi perhatian adalah soal ekonomi dan kesejahteraan. Karena menyangkut keberlangsungan hidup jutaan orang di negeri ini.
Isu soal kebijakan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, wajib masuk dalam setiap visi Capres dan Cawapres. Pertanyaanya, siapakah Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yang berani keluar dari zona nyaman untuk benar-benar mendongkrak ekonomi kita seperti China?.
Tentu saja pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab dalam waktu yang hanya 5 tahun. Namun paling tidak, usaha dan komitmen untuk memajukan perekonomian kita harus benar-benar masuk dalam visi-misi Presiden yang terpilih nanti.
Kita tahu secara sumber daya alam mau pun sumber daya manusia, Indonesia tidak jauh tertinggal dari negara-negara seperti Tiongkok, India mau pun Singapura. Justru Indonesia jauh lebih kaya secara SDA. Hanya saja, banyak sekali oknum-oknum oligarki yang memanfaatnya untuk kepentingan dan kekayaan pribadi. Seperti menjual komoditas sawit mau pun nikel ke perusahaan-perusahaan asing, padahal jika negara ingin mengelola, itu bukan perkara yang sulit.
Padahal kalau berkaca ke China, perusahaan-perusahaan lebih banyak di bawah kendali Pemerintah alias milik negara sendiri. China juga menjadi salah satu negara dengan BUMN terbanyak untuk saat ini.
Melalui tulisan ini saya ingin menekankan bahwa sudah seharusnya pemimpin yang terpilih ke depan memikirkan kemandirian ekonomi bangsa ini. Pilpres memang masih kurang 100 hari lebih dan masa kampanye masih belum dimulai. Masih ada waktu, bagi Capres dan Cawapres untuk merevisi gagasan dan visi misi. Terutama soal kemandirian ekonomi.
Ambilah semangat para pahlawan yang gugur dalam peristiwa G 30 S PKI sebagai simbol keberanian dalam mempertaruhkan nyawa demi kemaslahatan NKRI. (*)
*) Oleh : Haveri Hamid (Sekretaris GM FKPPI 1318 Kabupaten Malang)
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |