Kopi TIMES

Rasulullah, Sang Pemimpin Politik

Rabu, 27 September 2023 - 15:56 | 104.21k
Edi Sugianto; Ketua LPPM IAI Al Ghurabaa, Dosen AIK FT UMJ Jakarta.
Edi Sugianto; Ketua LPPM IAI Al Ghurabaa, Dosen AIK FT UMJ Jakarta.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya….” (QS. An-Nisa’: 58).

***

Advertisement

Saat ini kita berada di tahun politik nasional, kondisi yang sangat asyik didiskusikan, tentu jika dimulai dengan niat yang baik dan kedewasaan berpikir untuk perubahan Indonesia yang lebih berkeadilan. Dalam konteks kepemimpinan politik, semestinya kita mengkaji, bagaimana Rasulullah meneladankan nilai-nilai kepemimpinan di tengah umatnya?

Dalam Islam, kepemimpinan dan manajemen merupakan pembahasan yang sudah sangat klasik, yaitu ketika Allah menciptakan Adam sebagai khalifah di bumi (QS. Al-Baqarah, 2:30). Pada kitab agama-agama lain juga dijelaskan, misalnya dalam Kitab Injil Mattius 15:14: “Jika seorang buta menuntun seorang buta, keduanya akan jatuh ke dalam jurang.” Maknanya, dalam manajemen diperlukan seorang leader yang mampu mengarahkan sesorang atau kelompoknya ke jalan yang benar (Antonio, 2009: 18).

Empat Fungsi Kepemimpinan

Menurut Antonio (2009: 23-25) bahwa Rasulullah Muhammad Saw merupakan teladan dalam kepemimpinan dan manajemen. Teori kepemimpinan dapat ditemukan pada diri Muhammad Saw, misalnya teori empat fungsi kepemimpinan (the 4 roles of leadership, Stephen Covey), yakni perintis (pathfinding), penyelaras (aligning), pemberdaya (empowering), dan panutan (modeling).

Pertama, Muhammad Saw merupakan sosok perintis yang berhasil membangun sistem sosial modern yang sarat nilai-nilai kesetaraan universal, kemajemukan, role of law, dan lain-lain. Lalu, dikembangkan oleh khalifah setelahnya.

Kedua, Muhammad Saw berhasil menyelaraskan berbagai strategi untuk mencapai tujuan Islam dan tatanan sosial yang baik. Misalnya, dalam perjanjian perdamaian Hudaibiyah, para sahabat menolak perjanjian ini karena dinilai merugikan umat Islam, namun Rasulullah tetap menyepakatinya. Alhasil, perjanjian tersebut justru menguntungkan umat Islam. Selain itu, Rasulullah juga berhasil membangun sistem yang kuat, dan menjalin hubungan diplomatik dengan suku-suku dan kerajaan sekitar Madinah.

Ketiga, sejarah kenabian (sirah nabawiyah) mencatat bahwa Muhammad Saw adalah sosok yang sukses memberdayakan (empowering) potensi para sahabatnya untuk mencapai tujuan. Di antara contohnya, beliau mampu mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar ketika membangun kota Madinah. Beliau mengangkat beberapa sahabat yang kompeten sebagai kepala daerah (amir), sehingga dalam waktu yang tidak lama (sekitar 10 tahun), beliau sukses membangun tatanan sosial masyarakat modern (Madinah).

Keempat, Muhammad Saw merupakan seorang panutan (modeling) yang senantiasa melaksanakan apa yang dikatakan (walk the talk) yakni sosok teladan terbaik (QS. al-Ahzab, 33:21), dan sangat membenci orang yang tidak komitmen dengan perkataannya (QS. Al-Shaff, 61: 3).

Sangat wajar, jika Michael H. Hart; seorang astrofisikawan Yahudi-Amerika dalam bukunya yang sangat klasik, The 100: A Rangking of Most Influential Persons in History (1978), menempatkan Rasulullah Muhammad Saw pada peringkat pertama sebagai tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah (Hart, 1992:3).

Sejarah peristiwa hijrah menunjukkan betapa manajemen (perencanaan) Rasulullah Saw adalah sangat matang. Malam itu orang-orang Quraisy berniat membunuh Rasulullah Saw, maka beliau dan Abu Bakar pun mengatur strategi perjalanan dengan hati-hati. Mulai dari menyewa navigator (Abdullah bin Uraiqidh), lalu bersembunyi di Gua Tsur (Basri & Mansur, 2019: 287).

Setelah hijrah, Rasulullah berhasil membangun kota modern, dalam aspek ketatanegaraan, Rasulullah mengorganisasikan kepemimpinannya menjadi beberapa jabatan dan wilayah. Untuk keperluan musyawarah, Rasulullah memosisikan para sahabat senior sebagai anggota Majelis Syura, di antaranya: Abu Bakar, Umar, Ali, Hamzah, Ja’far Raḍiya Allahu ‘anhum (Basri & Mansur, 2019: 288).

Rasulullah membangun manajemen yang rapi, baik urusan dalam negeri atau pun luar negeri. Di dalam negeri beliau membuat perjanjian formal; Piagam Madinah, yaitu konstitusi yang mengatur antara umat Islam dan berbagai suku dan kaum Yashrib. Di luar negeri, beliau membangun relasi yang baik dalam rangka dakwah Islam. Rasulullah Saw mengirim surat-surat dengan bahasa diplomasi kepada banyak raja, di antaranya: Raja Najasy, Kisra, Heraklius, al-Muqawqis, al-Haris al-Ghasasani, al-Munzir bin Sawa, Jaifar dan ‘Abd, Hauzah al-Hanafi (Ubaidillah, 2018: 74-76).

Manajemen Sumber Daya Insani

Membaca kesuksesan Rasulullah dalam konteks kepemimpinan, menurut saya, kata kuncinya adalah pentingnya manajemen sumber daya insani (MSDI).

Manajemen Sumber Daya Insani (MSDI) merupakan istilah lain dari Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM). Kata “insan atau insani” berarti manusia. Namun, kata insani memiliki makna yang lebih komprehensif, yaitu manusia dengan semua potensinya secara total; jiwa dan raga (Iskandar dan Najmuddin, 2014). Inilah alasan, mengapa saya lebih memilih istilah MSDI daripada MSDM, meskipun secara etimologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “insani” dan “manusia” memiliki arti yang sama.    

Jika Christensen (2000), Armstrong (2006), DeCenzo dan Robbins (2010), Callahan (2013) berpendapat bahwa MSDM merupakan sistem untuk mengelola manusia agar mencapai tujuan organisasi, maka menurut Islam yang  dikelola adalah seluruh potensi dan kecerdasan manusia yang telah Allah anugerahkan, baik fisik, intelektual, emosional, dan spiritual.

Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Rasulullah Muhammad Saw, sebagai pedoman hidup bagi kehidupan manusia. Al-Qur’an mengandung banyak pelajaran yang luar biasa, di antaranya adalah perlunya penerapan manajemen dalam kehidupan manusia (sumber daya insani) secara bijaksana. Apabila manusia menerapkan aturan (manajemen) Allah sebagaimana yang ada dalam Al-Qur’an, maka Allah akan menjamin kesucian dan kehormatan manusia itu sendiri. Allah menganugerahkan manusia berbagai kecerdasan untuk mengelola kehidupan di muka bumi dengan berbagai aspeknya, ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan dan aspek lainnya yang mesti menyatu dalam sistem aturan Islam (Al-Khasawneh, 2017: 18-19).

Konsep MSDI lebih berorientasi ibadah kepada Allah Ta’ala, dan kekhalifahan manusia di bumi, dalam konteks ini adalah tugas kekhalifahan dalam institusi pendidikan (Karman, 2018).

MSDI dalam perspektif Islam merujuk pada teladan manajemen Rasulullah Muhammad Saw, yang berbasis pada sifat-sifatnya yang agung, sebagaimana disampaikan Muh. Abduh, yakni as-Shiddiq (jujur dan berintegritas), al-Amanah (dapat dipercaya), at-Tabligh (komunikatif), al-Fathanah (cerdas, dan bijaksana). (Musyirifin, 2020: 155-156).  

Zainal et.al (2020: 18-19), menjelaskan cukup detail mengenai karakteristik SDI yang diilhami oleh sifat nabi Saw.

Pertama, as-Shiddiq (sifat benar dan jujur) senantiasa ada dalam diri manusia, baik perkataan atau pun perbuatan. Misalnya, seorang manajer harus jujur dalam kepemimpinannya, dengan melaksanakan tugas sebaik-baiknya.

Kedua, al-Amanah (sifat dapat dipercaya) yang berarti juga keinginan untuk memenuhi sesuatu sesuai aturan. Al-Qur’an menyebutkan, bahwa amanah merupakan salah satu sifat orang-orang yang beruntung (QS. al-Mu’minun, 23: 8).

Ketiga, at-Tabligh (sifat transparan), selalu menyampaikan sesuatu dengan benar, dan tidak mengurangi atau pun menambah perkataan.

Keempat, al-Fathanah (sifat cerdas dan bijaksana), memahami dan menghayati secara mendalam segala tugas yang diembannya. Tiga (3) kecerdasan insani: intelektual, emosional, spiritual.

Haryanto (2017) juga menyimpulkan dalam penelitiannya, bahwa SDI merupakan perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, pelaksanaan dan pengawasan terhadap aktivitas organisasi berdasarkan nilai-nilai Islam dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Pendekatan manajemen dalam SDI yaitu dilakukan dengan pendekatan spiritualitas, yakni menempatkan individu bagian dari organisasi merupakan makluk yang holistik dan beragama. Budaya kerja Islami merujuk kesesuaian dengan sifat-sifat Nabi Muhammad Saw yang meliputi: shiddiq, amanah, fathonah, dan tabligh. Penerapan sifat-sifat nabi tersebut dalam organisasi disempurnakan dengan sifat istiqomah.

Empat sifat Nabi Saw menjadi kunci sukses dalam mengelola organisasi apapun. Implementasi sifat-sifat tersebut dalam kepemimpinan nasional juga akan memberikan perubahan besar yang lebih beradab dan berkeadilan.

Akhirul kalam, calon pemimpin nasional atau pun yang lainnya, mesti belajar dari kepemimpinan Rasululullah sebagai leader terbaik sepanjang sejarah manusia, karena sejatinya pemimpin bukan hanya menunaikan kewajibannya terhadap rakyatnya, lebih daripada itu, pemimpin sedang menunaikan amanah di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. (*)

 

*) Penulis: Edi Sugianto, Ketua LPPM IAI Al Ghurabaa, Dosen AIK FT UMJ Jakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES