Kopi TIMES

Problematika Pernikahan Dini di Indonesia

Senin, 02 Oktober 2023 - 09:06 | 136.94k
M. Raihansyah (Peggiat Literasi Jambi)
M. Raihansyah (Peggiat Literasi Jambi)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAMBI – Fenomena pernikahan anak usia dini masih menjadi persoalan pelik di Indonesia. Dikutip melalui komnas perempuan ada sebanyak 59.709 sepanjang tahun 2021 kasus pernikahan dini yang diberikan dispensasi oleh pengadilan agama.

Kendati, angka ini mengalami penurunan ketimbang tahun 2020 yakni 64.211 kasus. Namun tetap saja angka tersebut masih terbilang cukup tinggi.

Advertisement

Guna menekan angka pernikahan dini, pemerintah melakukan revisi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang isinya berkaitan dengan ambang batas usia minimal perempuan menikah. Aturan baru terkait batas usia minimal menikah ini, menjadi angin segar bagi perkembangan hukum dan kesiapan calon pasangan. 

Pembaharuan aturan tersebut sebagaimana tertuang di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No 16 Tahun 2019 tentang perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan hanya di izinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas umur perkawinan bagi pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun.

Batas usia tersebut dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat dan berkualitas. Diharapkan juga kenaikan batas umur yang lebih tinggi dari 16 (enam belas) tahun bagi wanita akan mengakibatkan laju kelahiran yang lebih rendah dan menurunkan resiko kematian ibu dan anak. 

Selain itu, juga dapat terpenuhinya hak-hak anak. Mengoptimalkan tumbuh kembangnya anak. Termasuk pendampingan orang tua serta memberikan akses anak terhadap pendidikan setinggi mungkin.

Aturan ini disahkan oleh Presiden Joko Widodo bertepatan pada tanggal 14 Oktober 2019 di Jakarta. Kemudian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ini mulai berlaku setelah di undangkan Plt. Menkumham Tjahjo Kumolo pada tanggal 15 Oktober 2019 di Jakarta.

Secara das sollen dibuatnya aturan ini sudah bagus. Namun, secara das sein masih banyak kasus yang terjadi di dalam masyarakat. Baik di kota, maupun di desa. 

Artinya, pembaharuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menjadi Undang-undang  No 16 Tahun 2019 mengenai batas usia menikah tidak serta merta membuat aturan tersebut berhasil secara maksimal. Sebab masih ada celah regulasi yang dapat dipergunakan bagi mereka yang ingin menikah di bawah umur 19 itu. Celah tersebut adalah dispensasi nikah.

Pasalnya, dispensasi nikah untuk anak di bawah umur ini masih tergolong tinggi. Mengutip databoks.katadata.co.id tercatat bahwa dalam tahun 2019 ada sebanyak 23.126 pengajuan dispensasi nikah yang dikabulkan pengadilan agama. 

Kemudian tahun 2020 ada sebanyak 64.211. Lalu pada tahun 2021 sebanyak 59.709. Meskipun menurun dari tahun 2020 ke tahun 2021, jumlah pernikahan anak pada 2021 masih tetap tinggi. Sebab di tahun 2016 pengajuan dispensasi nikah hanya sebanyak 8.488. 

Artinya jika terhitung sejak tahun 2016 menuju tahun 2020 dispensasi pernikahan dini cenderung meningkat. Fenomena lonjakan dispensasi nikah ini pada gilirannya merupakan sinyal secara tidak langsung berkurangnya tren pernikahan di usia dini masih jauh panggang dari api.

Masih terdapat orang tua yang menganggap pernikahan anak di usia dini adalah jalan keluar untuk menghindari perzinahan atau masalah perekonomian. Mereka beranggapan menikahkan anaknya dengan seseorang yang lebih mapan dapat meningkatkan taraf kehidupan.

Alih-alih menjadi solusi. Pernikahan dini justru menambah masalah baru untuk anak itu sendiri. Sebab anak se usia mereka yang seharusnya masih pada tahap mengeyam pendidikan, mengasah soft skill, dan memperluas pengalaman, malah diberikan tugas yang sebenarnya belum layak mereka emban.

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi masyarakat melakukan pengajuan dispensasi nikah. Mengutip mahkamah agung.go.id faktor ini terbagi menjadi 2, yaitu preventif dan kuratif.

Faktor preventif (usaha pencegahan) adalah pencegahan dari perbuatan zina yang dilakukan anak-anaknya mengingat zaman yang sedemikian canggih baik pengaruh melalui dunia nyata maupun dunia maya. Terlebih pengaruh westernisasi yang menganggap seks bebas, sehingga kecendrungan mereka untuk melakukan pergaulan bebas lebih tinggi.

Maka dari itu, menyegerakan pernikahan adalah upaya untuk menyelamatkan mereka dari pergaulan bebas. Sekalipun mereka belum memiliki umur yang cukup, orang tua mewanti-wanti agar mereka tidak melakukan perzinahan atau hamil diluar nikah (married by accident).

Faktor kuratif (usaha atau upaya penyembuhan) usaha penyembuhan bagi orang tua yang tidak ada alternatif lain selain daripada melangsungkan pernikahan pada anak untuk menutupi aib dan menjaga status anak. Pada prinsipnya untuk menjaga fitnah yang beredar akibat hubungan di luar nikah. Faktor hamil di luar nikah adalah faktor yang paling menonjol dalam dispensasi nikah di pengadilan agama.

Setelah mengetahui aspek penyebab dispensasi nikah yang berujung kepada pernikahan dini seperti yang telah di uraikan di atas. Maka perlu keseriusan dan konsistensi agar terwujudnya efektifitas pemberlakuan UU nomor 16 tahun 2019 ini. 

Tetapi jauh sebelum itu, pemerintah seharusnya terlebih dahulu memberikan akses pendidikan yang merata hingga ke pelosok desa. Dengan kata lain, kualitas pendidikan yang memadai secara tidak langsung dapat meminimalisir pernikahan dini di kemudian hari. 

Selanjutnya meningkatkan geliat ekonomi di kalangan masyarakat agar terciptanya mata pencaharian guna memenuhi kebutuhan hidup yang lebih baik. Berikutnya perlu digalakkan edukasi terkait pendidikan rumah tangga lebih dini di dunia pendidikan. 

Pemerintah saja yang bekerja rasanya kurang efektif. Perlu kerja kolektif di berbagai stakeholder secara menyeluruh agar lebih efesien. Dan pada akhirnya tren pernikahan dini dapat diatasi sesegera mungkin.

***

*) Oleh : M. Raihansyah (Peggiat Literasi Jambi)

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES