Pergulatan Tentang Nilai Ujian Antara Mahasiswa dan Dosen

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Interaksi sosial antara mahasiswa dengan dosen di lingkungan universitas tak bisa dianggap enteng. Sebab, interaksi yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi sejatinya ada problem yang serius. Terutama, yang berkaitan dengan nilai mata kuliah. Ya, dapat dibilang kenyataannya sangat buruk.
Pada umumnya, dalam persepsi mahasiswa sudah mengerjakan semua tugas dan mengikuti ujian sesuai prosedur. Namun, hal tersebut tidak jaminan akan mendapatkan nilai A. Bisa mendapatkan nilai A minus, A atau B, B plus, B, atau B minus.
Advertisement
Nilai-nilai tersebut dianggap tidak sesuai dengan prestasi mereka. Sejatinya, nilai C dan D sudah termasuk kriteria lulus. Namun, para mahasiswa tetap menganggap bahwa nilai C dan D itu “haram”.
Bahkan, tak sedikit diantara mahasiswa yang menuntut dosen untuk mengubah nilai sesuai dengan kehendaknya. Situasi ini tentu menunjukkan bahwa mahasiswa tidak mengakui obyektivitas sang dosen dalam memberikan nilai.
Nah, menghadapi situasi sosial yang tidak menyenangkan tersebut, dosen menjadi speechless. Itu karena dosen tidak bisa memahami persepsi mahasiswanya. Dosen tentu saja merindukan hal-hal ideal yang mana mahasiswa sama sekali tidak berani protes kepada dosen.
Tidak beraninya mahasiswa tersebut dilandasi oleh rasa takut. Situasi ini cenderung terjadi pada dosen-dosen senior yang mana mereka ketika dahulu masih mahasiswa juga mengalami rasa takut ketika berhadapan dengan dosennya.
Hal tersebut lazim terjadi pada situasi belajar-mengajar yang konservatif. Sesuatu yang ideal menurut dosen masa kini adalah berkomunikasi secara simpatik dan menjelaskan dengan detil proses penilaian.
Situasi ini, sama dengan proses konsultasi psikologi yang membutuhkan waktu yang lama. Kesenjangan antara kenyataan (rasa tidak puas mahasiswa terhadap nilainya) dan respon dosen, adalah permasalahan yang harus segera diatasi.
Bagaimana respon dosen terhadap permasalahan tersebut di atas? Respon bijak dari dosen adalah:
Pertama, segera mengoreksi kembali kualitas mengajar. Bila dosen merasa ada yang perlu diperbaiki karena kesalahan tidak pada mahasiswa. Maka bisa saja dosen memberi kesempatan untuk ujian ulangan demi perbaikan nilai. Ini adalah esensi dari pendidikan. Bukan vonis akhir bagi mahasiswa dengan cara memberi nilai buruk.
Kedua, protes mahasiswa tersebut pada hakekatnya merupakan ajang emas bagi dosen untuk memberikan umpan balik tentang tidak akuratnya mahasiswa dalam menjawab soal-soal ujian. Protes mahasiswa juga bisa menjadi media bagi dosen yang open mind bahwa kebenaran tidak hanya ada pada dosen saja, namun juga pihak lain. Kebenaran juga bisa terjadi pada masa lampau namun untuk masa kini kebenaran itu perlu dikoreksi lagi.
Dosen juga bisa merespon secara tidak bijak. Ini terjadi pada dosen yang kurang kualitasnya. Contoh perilaku adalah tidak simpatik dalam menjawab protes mahasiswa. Dosen juga bisa menghindari protes mahasiswa dengan cara memberi nilai berlebih-lebihan.
Mahasiswa yang bagus dan buruk nilainya sama. Ini strategi yang menjerumuskan mahasiswa. Karena mahasiswa yang buruk akan memandang prestasinya pantas dibanggakan.
Padahal sebenarnya, dosen hanya mencari aman saja atau takut menghadapi protes mahasiswa. Ini seperti fenomena dosen "membeli kesetiaan" mahasiswa. Biasanya dosen seperti ini pasti dicintai mahasiswa.
Beruntunglah, sekarang ini sangat tidak mudah bagi seorang sarjana untuk menjadi dosen. Dosen harus lulus dalam berbagai ujian sertifikasi yang melelahkan, mahal, dan sulit. Artinya, pemerintah menjamin bahwa pelayanan pendidikan yang diberikan kepada masyarakat sudah terstandarisasi dengan baik. Pihak institusi juga selalu memantau kinerja dosen melalui divisi penjaminan mutu.
Dosen sudah berusaha mengoreksi diri, namun mengapa mahasiswa tetap saja tidak bisa menerima tentang perolehan nilainya yang dianggap buruk? Ini adalah persoalan penerimaan diri (self-acceptance) mahasiswa yang perlu dicermati lebih lanjut.
Ada lima hal yang menyebabkan mahasiswa (dan kita semua) sulit menerima diri yang tidak sesuai harapan ini (Dwiputri, 2023; Lazarus, 2020).
Pertama, disonansi kognitif. Istilah ini dikemukakan oleh Leon Festinger pada 1957. Ini adalah fenomena sosial yang mana individu merasa tidak nyaman ketika dua atau lebih aspek mentalnya (keyakinan, gagasan, nilai-nilai, sikap, perilaku) saling bertentangan.
Agar menjadi nyaman (konsonan), maka individu bisa membuat alasan-alasan pembenar bagi keyakinannya atau mengubah perilakunya (Fisher, 1982). Pada kasus di atas, mahasiswa mengetahui bahwa nilai yang bagus diperoleh berdasarkan kualitas dan sekaligus kuantitas tugas.
Anehnya, mahasiswa hanya asal mengumpulkan tugas, rajin masuk kuliah, dan berharap nilai pasti A. Ia enggan mengakui bahwa kualitas tulisannya buruk.
Kedua, bias konfirmasi. Ini adalah fenomena yang mana individu menafsirkan informasi baru sebagai pendukung bagi keyakinannya, meskipun informasi baru tersebut tidak benar. Contohnya, mahasiswa penasaran tentang nilainya yang buruk kemudian ia bertanya kepada dosen. Sayangnya, dosen menjawabnya dalam jangka waktu lama.
Mahasiswa kemudian menafsirkan bahwa lambatnya respon dosen berarti dosen menganggap rendah mahasiswa tersebut. Bila mahasiswa tersebut berasal dari kelompok minoritas (etnis, agama, status sosial ekonomi, dan orientasi seksual tertentu), maka bias konfirmasi ini bisa menjadi sumber prasangka yang stereotip, fanatisme, rasisme serta diskriminasi.
Situasi bertambah runyam, ketika atribut fisik dari mahasiswa tersebut menunjang terjadinya prasangka (berwajah tidak rupawan, kumuh, tubuhnya beraroma menyengat, serta perilakunya agresif).
Ketiga, efek Dunning Kruger. Ini adalah bias kognitif atau superioritas emosional yang mana individu sebenarnya berkemampuan sangat rendah. Namun ia yakin bahwa kompetensinya sangat bagus sehingga ia merasa bisa menyelesaikan suatu tugas dengan sangat baik.
Ketika mahasiswa mengalami fenomena ini maka ia dengan keras kepala menolak mengakui nilainya yang rendah. Ia juga menolak meminta tolong teman-temannya, karena hal itu cermin kelemahan.
Keempat, narsisme patologis. Ini adalah pola pikir kebesaran (grandiosity). Artinya, individu dalam jangka waktu lama merasa butuh untuk dikagumi terus-menerus.
Mahasiswa yang mengalami narsisme patologis akan kesulitan menerima kritik tentang tugas-tugasnya yang buruk. Mahasiswa merasa bahwa ia harus selalu paling hebat di antara teman-temannya.
Kelima, sindrom Stockholm. Ini adalah fenomena psikologi yang aneh, yang mana korban penculikan atau sandera justru mengembangkan emosi positif terhadap penculiknya. Emosi positif itu antara lain bersimpati, membelanya, menolak bersaksi di depan polisi, menyumbang uang, bahkan mencintainya.
Begitu anehnya fenomena ini sehingga diangkat menjadi tema berbagai film terkenal, seperti V for Vendetta. Ini adalah semacam fenomena "cuci otak" yang bisa menjelaskan terjadinya aliran-aliran sesat yang mana para korban akan setia bahkan bersedia mengorbankan nyawa pada penculiknya.
Mahasiswa yang terkena sindrom ini akan sulit menerima kritikan. Ini karena ia sudah "dicuci otaknya" oleh mentornya (mentornya mungkin saja orang yang telah memanipulasinya dengan sangat piawai). Apa pun yang dikatakan oleh mentornya, itu adalah kebenaran baginya.
Nah, apa yang harus dilakukan oleh seorang dosen ketika para mahasiswanya mengalami kesulitan dalam menerima kenyataan bahwa nilainya memang buruk? Ini adalah seperti keinginan untuk mengubah orang lain padahal orang lain itu memang tidak ingin berubah.
Pada hakekatnya, protes mahasiswa tersebut menunjukkan adanya proses komunikasi yang tidak lancar. Strategi yang bisa dilakukan yakni:
Pertama, perlu adanya transparansi nilai dari dosen. Dosen harus jelas dan rinci tentang butir-butir aspek yang akan dinilai sebelum soal-soal ujian diberikan.
Kedua, pada ujian tertentu, libatkan mahasiswa dalam mengoreksi hasil ujian. Ini membutuhkan kepiawaian dosen dalam mendesain soal ujian. Sebelum proses koreksi dimulai, mahasiswa diminta memperkirakan nilai yang akan diperolehnya.
Biasanya mahasiswa akan menilai dirinya setinggi mungkin. Ketika dosen memberikan jawaban soal, maka akan muncul berbagai perdebatan dari mahasiswa. Dosen harus tegas dan pasti dalam memberi argumen nilai.
Setelah proses koreksi ujian selesai, kemudian nilai yang diperoleh dibandingkan dengan nilai perkiraan mahasiswa. Biasanya terjadi kesenjangan yang lebar antara nilai sebelum dan sesudah koreksi ujian. Berdasarkan pengalaman. Strategi ini jitu dalam meredakan protes mahasiswa sehingga mahasiswa bisa menerima nilainya yang buruk.
Ketiga, selama perkuliahan berlangsung mahasiswa harus diingatkan terus tentang kualitas, kuantitas tugas, batas waktu pengumpulan tugas serta peraturan lainnya.
Dunia pendidikan tingkat universitas memang mengasyikkan, karena orang yang akan di didik oleh dosen adalah orang yang sudah dewasa. Jadi, orang dewasa mendidik orang dewasa.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa dosen juga bisa di didik oleh mahasiswanya sendiri. Ini terjadi karena kebenaran tidak hanya monopoli dosen saja. Namun, bisa berasal dari pihak lainnya. Dosen dan mahasiswa sama-sama perlu open mind dan perlu saling belajar.
***
*) Oleh: Arundati Shinta (Dosen Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta)
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |