Teori Konflik Dalam Perang Antara Palestina dan Israel

TIMESINDONESIA, MALANG – Konflik Israel-Palestina berlangsung sejak pertengahan tahun 1800-an, yang diawali dengan kelompok minoritas Yahudi Eropa berencana mendirikan Jewish Homelandatau tanah air bangsa Yahudi. Gagasan pembangunan ini, menarik kelompok Yahudi Eropa untuk membangun tanah airnya dan keluar dari wilayah Eropa. Namun dalam pelaksanaannya, kelompok tersebut mengusik masyarakat Palestina dan merebut wilayah–wilayah yang didominasi oleh penduduk Arab Palestina. Sehingga mampu memberikan dampak negative dengan perang yang sangat berkepanjangan hingga saat ini.
Konflik Israel–Palestina merupakan konflik berkepanjangan yang hingga kini belum menemu titik perdamaian (Wibowo et al., 2017). Bahkan hal tersebut semakin berkembang pesat tanpa adanya titik temu yang sangat maksimal untuk menyelesaikan semua problem antara dua Negara tersebut. Berbicara mengenai upaya perdamaian, ada banyak sekali solusi dan mekanisme langsung atau bahkan tidak langsung yang selalu diupayakan oleh beberapa Negara, salah satunya Indonesia.
Advertisement
Indonesia terus memainkan peran strategisnya untuk memediasi dan meredam konflik di Palestina dengan tiga hal, mulai dari mendorong dan menggelorakan ukhwuah Islamiyah pada organisasi internasional Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk membantu Palestina berdaulat dengan roadmap two state solution.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Kemudian juga selalu melakukan penegasan terhadap resolusi konflik kepada Dewan Keamanan PBB dan melakukan upaya kontingensi supaya digelar Sidang Umum Majelis PBB sebagai respons dalam penanganan konflik. Hingga secara terus menerus menjalin kerjasama dan joint statement bersama dengan Malaysia dan Brunei Darussalam sebagai upaya serius dalam menyelesaikan konflik berkepanjangan.
Setelah berbagai upaya perdamaian dilakukan, konflik Israel–Palestina tidak kunjung rampung dan perdamaian tidak kunjung datang. Hal ini dibuktikan dengan peperangan dan kekerasan yang masih terus berlanjut. Menurut data dari United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs, sejak tahun 2008 hingga 2022, masyarakat Palestina yang telah menjadi korban Konflik Israel–Palestina bahkan telah mencapai 6.014 orang.
Dengan data tersebut tentunya bisa memberikan pertanyaan besar mengapa konflik antara dua Negara tersebut masih terus berlanjut? Dan bahkan apakah semua solusi yang telah ditawarkan oleh banyak Negara termasuk Indonesia masih belum kuat untuk menyelesaikan peperangan tersebut?
Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa masalah perang antara Palestina dan Israel ini memiliki karaktesristik tersendiri, sehingga secara tidak langsung juga bisa menjadi penyebab utama dan pertimbangan penting yang wajib untuk semua sektor pahami.
Secara umum menurut teori konflik karya Johan Galtung, konflik Israel–Palestina masuk kedalamkategori konflik kekerasan langsung. Kekerasan langsung terjadi dalam lingkup pribadi, sosial dan dunia (antar negara), yang ditunjukkan oleh perilaku individu atau kelompok.
Kekerasan langsung yang berkombinasi antara kekerasan verbal danfisik akan memberikan trauma yang dapat membawa ketakutan, kebencian dan permusuhan secara berlarut–larut sehingga kekerasan langsung tidak hanya merusak fisik namun juga jiwa dan kondisi seseorang (para korban), yang mana seharusnya orang tersebut dapat hidup dengan layak dan baik. Kekerasan langsung yang menimbulkan efek berlarut–larut juga dapat digunakan sebagai wujud pembenaran untuk reaksi kekerasan hingga pembalasan (AUN-HRE, SHAPE-SEA, & SEACSN, 2021). Secara umum kualitas konflik langsung ini memang menjadi hal utama dan alasan mengapa perang tersebut terus berlangsung hingga sekarang.
Dampaknya konflik Israel–Palestina, dengan karakteristik kekerasan langsung yang dilakukan oleh kedua belah pihak telah memakan jumlah korban yang sangat besar. Menurut data dari PBB sejak 2008 hingga 2020, masyarakat Palestina yang telah menjadi korban tewas sebanyak 5.590 jiwa dan 251 korban jiwa dari masyarakat Israel.
Korban tewas terbanyak sepajang sejarah konflik Israel–Palestina terjadi pada tahun 2014 ketika Israel melakukan Operation Protective Edgedi wilayah Gaza sebagai tindakan pembalasan atas penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok Hamas terhadap tiga remaja Israel (Pusparisa, 2021). Kelompok atau gerakan Hamas adalah gerakan perjuangan Ikhwanul Muslimin yang memiliki misi untuk memerdekakan Palestina, membangun negara Islam di wilayah Palestina serta menggemakan pendidikan umum untuk generasi penerus Palestina guna mencapai tujuan dan kepentingan yang diinginkan (Muchsin, 2015). Konflik berkepanjangan yang dikategorikan sebagai kekerasan langsung ini pun menggoreskan luka dan meninggalkan trauma bagi para korbannya terutama bagi anak-anak.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*)Penulis: Muhammad Nafis S.H,. M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |