
TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Salah satu agenda penting yang tak akan pernah dilupakan oleh seluruh lembaga Islam terutama kalangan Nahdliyyin yang sudah tegak berdiri bertahun-tahun, baik madrasah-madrasah diniyah maupun yayasan pondok pesantren adalah diadakannya peringatan haul masyayikh dan hari lahir lembaga tersebut.
Sebagaimana lazimnya, acara peringatan haul masyayikh dan hari lahir pada sebuah lembaga dipenuhi dengan beberapa kegiatan. Diantaranya bazar buku, kitab, dan tentunya bazar berbagai macam jenis busana pun ikut menyertainya. Tentunya ini adalah sebuah momentum yang hampir tak akan terlupakan oleh berbagai pihak.
Advertisement
Tradisi peringatan haul masyayikh dan hari lahir ini penting untuk kita pelihara dengan kuat selaku kalangan Nahdliyyin sebagai salah satu tonggak kokohnya Nahdlatul Ulama. Karena banyak kalangan di luar kaum Nahdliyyin yang sering mengatakan bahwa Amaliah tersebut adalah bidah.
Tentunya apa yang mereka katakan tidak perlu kita perdebatkan dengan saling beradu dalil. Karena semua tradisi yang ada di kalangan Nahdliyyin (NU) adalah mengikuti tradisi para ulama terdahulu yang tidak perlu lagi kita ragukan keilmuannya.
Sebuah refleksi hangat di benak orang-orang yang berpikir mengapa harus ada peringatan haul masyayikh dan hari lahir? Tentu untuk mengetahui hal ini kita flashback kepada salah satu perkataan Bapak Proklamator Indonesia Ir. Soekarno, yaitu Jas Merah (Jangan sekali-kali melupakan sejarah). Perkataan Ir. Soekarno inilah yang dimanifestasikan pada Peringatan Haul Pendiri dan Harlah yang kita lakukan sebagai rutinitas tahunan ini.
Peringatan haul masyayikh dan hari lahir yang merupakan sebuah mediasi bagi kita para santri dan masyarakat pada umumnya adalah bertujuan supaya kita tidak pernah melupakan sejarah perjuangan, kesalehan, jasa dan khidmah para masyayikh dan pendiri Pondok Pesantren yang telah wafat mendahului kita sebagai suri tauladan yang mungkin hal ini hampir tidak kita temukan di selain Pondok Pesantren.
Sebagai sebuah Amaliah. Tentu peringatan haul masyayikh dan hari lahir ini tidak berdiri tanpa dasar. Biasanya, rangkaian acara di dalamnya berupa menceritakan atau membacakan sejarah perjuangan, kesalehan, jasa dan khidmah para pendahulu, yang mana hal tersebut ternyata berlangsung sejak zaman Sahabat.
Sebagaimana dalam hadits “Diriwayatkan dari Saad bahwa Abdurrahman bin Auf suatu hari disuguhi makanan. Ia berkata, Mushab bin Umair telah terbunuh. Ia lebih baik dariku, tak ada yang dapat dibuat kafan untuknya kecuali kain selimut. Hamzah juga terbunuh. Ia lebih baik dariku, tidak ada yang dapat dibuat kafan untuknya kecuali kain selimut. Sungguh aku khawatir amal kebaikan-kebaikan kami segera diberikan di kehidupan dunia ini. Lalu Abdurrahman bin Auf menangis," (HR. Al-Bukhari).
Terkait riwayat tersebut, al-Imam Ibn Hajar Al-Haitami mengutip dari seorang ahli hadits Ibnu Bathtal berkata "Dalam riwayat ini dianjurkan menyebut kisah-kisah orang shaleh dan kesederhanaannya terhadap duniawi. Tujuannya agar tidak cinta dunia.
Menyambung tali silaturrahim dan persaudaraan (ukhuwah Islamiyah) juga merupakan tujuan yang tak kalah pentingnya dalam acara peringatan haul masyayikh dan hari lahir".
Allah SWT tegas mewajibkan terhadap hambanya dalam al-Quran al-Karim untuk senantiasa menyambung dan mempererat tali ikatan persaudaraan. Karena muslim satu dan yang lainnya adalah saudara. Sebagaimana disampaikan dalam surah al-Hujurat ayat 10, yang artinya:
"Orang-orang ber Iman itu sesungguhnya bersaudara". Dalam kitab Syuabul Iman karya Imam Al-Baihaqi juga dijelaskan bahwa seorang muslim yang memutus tali silaturrahim dengan sesamanya maka Allah menyamakan perangainya dengan binatang.
Dengan demikian, sudah sepatutnya bagi orang Islam khususnya kalangan Nahdliyyin terlebih lagi para santri mengetahui substansi sebuah rutinitas atau kebiasaan, seperti peringatan haul masyayikh dan hari lahir ini tanpa terjebak pada kebiasaan itu sendiri.
Hanya ada dua pilihan. Yaitu keberuntungan bagi orang-orang yang mengetahui makna dari sebuah momentum berharga ini dan kerugian bagi orang-orang yang hanya menganggap ini adalah sebuah event dan rutinitas belaka tanpa memperhatikan substansinya.
***
*) Oleh : Alfan Jamil (Alumni PP. Nurul Jadid dan Ma'had Aly Nurul Jadid Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh, S2 di Universitas Nurul Jadid, Dosen Kajian Fiqh Ulama Nusantara di Ma'had Aly Nurul Jadid serta pengajar di PP. Darul Lughah Wal Karomah Kraksaan)
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |