Kopi TIMES

Fenomena Buzzer di Media Sosial Menjelang Pemilu 2024

Rabu, 08 November 2023 - 17:53 | 210.04k
Nugroho Dwisatria Semesta, Mahasiswa Administrasi Publik, Universitas Widya Mataram, Yogyakarta.
Nugroho Dwisatria Semesta, Mahasiswa Administrasi Publik, Universitas Widya Mataram, Yogyakarta.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Media sosial merupakan salah satu wadah untuk menyampaikan informasi dan menyebarluaskan kepada seluruh dunia, salah satunya Indonesia. Pengguna aktif media sosial yang ada di Indonesia tercatat pada bulan Januari 2022, berdasarkan usianya penetrasi internet tertinggi tersebut berada di kelompok usia 13-18 tahun yang penetrasi internetnya hampir seluruhnya yakni 99,16%. 

Selanjutnya kelompok usia 19-35 tahun yang mempunyai penetrasi internet sebesar 98,64%. Kelompok usia 35-54 tahun lalu juga mempunyai penetrasi internet sebesar 62,43%. Kelompok usia 55 tahun ke atas mempunyai penetrasi yang rendah yakni 51,73% (Amalia & Cahyani, 2022).

Advertisement

Besarnya pengguna aktif media sosial, banyak yang memanfaatkan peluang tersebut pada saat menjelang pemilu untuk mempengaruhi publik. Supaya mau mendukung salah satu kandidat, oknum tersebut yang disebut dengan buzzer. 

Menurut Trianto (2023), Buzzer merupakan seseorang atau kelompok yang sengaja dibayar atau diberikan insentif oleh pihak politik untuk mendukung ataupun mempromosikan suatu kandidat ataupun partai politik menggunakan media sosial.

Peran buzzer pada dasarnya bergantung dari bagaimananya mereka untuk mengemas serta menyampaikan pesan atau narasi-narasi yang ditujukkan bagi khalayak. Buzzer berperan sebagai komunikator yang mempunyai tujuan tertentu ataupun hal-hal yang ingin dicapai. 

Sehingga, seringkali buzzer melakukan berbagai aktivitasnya, misalnya menulis postingan (status, tweet, dan caption), membagikan link informasi, video, foto, bahkan meme tentang isu-isu politik yang sedang terjadi (Faulina et al., 2022).

Sejarah Buzzer di Indonesia

Buzzer pada awalnya dikenal sebagai seorang individu atau akun yang mempunyai kemampuan untuk mengamplifikasikan pesan dengan cara yang menarik perhatian ataupun membangun percakapan bagi pengguna media sosial dengan motif tertentu. 

Istilah buzzer muncul pada tahun 2009 untuk kepentingan promosi di suatu perusahaan. Pada tahun itu adalah awal dimana media sosial twitter hadir di Indonesia. Adapun pada tahun tersebut terjadi ledakan pengguna media sosial di Indonesia serta alur informasi di media sosial yang bergerak kian cepat. Pada masa itu konsep buzzer masih berada di konotasi yang positif sebagai tokoh yang membantu perusahaan dalam strategi memasarkan produk (Sugiono, 2020). 

Menjelang periode Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2012 tersebut mulai terjadi pergeseran makna buzzer, karena menyerang identitas seorang kandidat. Pada periode tersebut terdapat dua jenis buzzer yakni buzzer yang mereka tidak dibayar dan mendistribusikan pesan secara sukarela dan buzzer yang dibayar untuk mendukung kelompok politik tertentu.

Pengaruh Buzzer Menjelang Pemilu 2024

Akhir-akhir ini di tengah panasnya perpolitikan di Indonesia menjelang pemilu 2024, banyak isu-isu yang terjadi seperti isu politik dinasti, korupsi pejabat publik, dan sebagainya. Hal itu menjadikan peluang bagi buzzer mencari kesalahan kandidat lawan politiknya untuk melemahkan elektabilitasnya. 

Seringkali, buzzer saling serang dengan mengunggulkan kandidat yang didukung dan melakukan ujaran kebencian kepada lawan kandidatnya. Sehingga, hal ini merusak iklim demokrasi. Selain itu, menjadikan masyarakat banyak yang terpengaruh dan tidak tahu mana yang benar ataupun salah. Parahnya lagi, pengaruh tersebut menjadikan masyarakat banyak yang terpecah-belah atau terpolarisasi karena berbeda pandangan politik.

Upaya Pemerintah Mengatasi Buzzer

Regulasi yang mengatur terkait buzzer sendiri masih belum ada, akan tetapi perbuatan buzzer yang dilakukan melalui internet ataupun media sosial dapat dijerat dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Selain itu, untuk mengatasi buzzer menjelang pemilu 2024, dengan cara mengajak kolaborasi berbagai instansi yakni Polri, Kementerian Komunikasi Informasi (Kemenkominfo), dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk bersama-sama menciptakan pemilu yang demokratis. 

Polri sendiri telah membentuk tim patroli khusus guna mengawasi atau memantau isu-isu yang muncul di media sosial yang berhubungan dengan pemilu 2024. Selain itu, BSSN dan Kemenkominfo berkolaborasi melakukan pencegahan-pencegahan terkait berita-berita hoax yang ada di media sosial. Sehingga, harapannya dengan upaya-upaya tersebut dapat tercipta pemilu yang demokratis. 

Pemerintah juga perlu memberikan ketegasan kepada para buzzer guna memberikan efek jera kepada para buzzer. Selain itu, pemerintah juga perlu membuat regulasi sendiri yang menangani permasalahan buzzer di Indonesia. Sehingga, harapannya dengan adanya payung hukum yang menangani buzzer tersebut dapat meminimalisir jumlah buzzer yang ada di Indonesia.

***

*) Oleh : Nugroho Dwisatria Semesta, Mahasiswa Administrasi Publik, Universitas Widya Mataram, Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES