
TIMESINDONESIA, MALANG – Kaderisasi ulama merupakan proses penting dalam memastikan adanya regenerasi ulama yang berkualitas dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. Pembahasan tentang Pendidikan kader ulama tidak bisa terlepas dari pembahasan tentang institusi Pendidikan yang merupakan cikal bakal kemunculannya, yaitu Lembaga Pendidikan yang bernama Pondok Pesantren. Bila ditinjau ke belakang, pesantren telah mampu melahirkan ulama dan kyai besar yang mampu mempengaruhi corak pemikiran Islam dan pendidikan di Indonesia.
Secara fakta eksistensi pesantren tidak bisa dipandang sebelah mata, karena jumlah Lembaga Pendidikan Pesantren kian meningkat. Terlepas dari eksistensi dan berbagai tipologi yang ada pada pesantren, terdapat pertanyaan mengapa pada saat jumlah pesantren kian meningkat dan berkembang namun belum menghasilkan kader ulama yang potensial seperti para pendahulunya? Mengapa pondok pesantren terdahulu dengan segala keterbatasan, mampu menghasilkan para ulama yang kaffah bil ilmi wal amal ?
Advertisement
Berangkat dari keprihatinan dan rasa tanggungjawab atas fenomena tersebut Mustaqim Safar berusaha mencoba menyajikan sebuah model Pendidikan kader Ulama berbasis Mulazamah yang ada di Pondok Pesantren Salman Al-Farisi Karangpandan Karanganyar Jawa Tengah dalam sebuah penelitian disertasi.
Model Pendidikan Kader ulama berbasis mulazamah pada dasarnya menekankan penggabungan antara pemahaman agama yang mendalam dan mendasar dengan peran dan keterlibatan aktif dalam pelayanan masyarakat dengan tujuan untuk menghasilkan ulama yang tidak hanya kompeten secara keilmuan tetapi juga memiliki kemampuan untuk memahami dan mengatasi permasalahan riil yang dihadapi oleh umat.
Melalui observasi dan wawancara yang mendalam, mahasiswa program studi Doktor Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang ini mendapati bahwa kompetensi lulusan pondok pesantren Salman Al Farisi adalah mengusai bahasa Arab secara aktif; memahami serta mengusai ilmu-ilmu dasar Islam, meliputi fiqih, tauhid, dan akhlaq; hafal al-qur’an minimal 15 Juz dengan bacaan yang baik; hafal hadits arba’in sebanyak 42 hadits dan umdatul ahkam sebanyak 430 hadits; hafal 8 matan al-‘ulum al-syar’iyyah; mampu berbahasa Indonesia dan bahasa Jawa dengan baik; dan lulus ujian nasional paket B dan Paket C.
Berdasarkan kompetensi lulusan tersebut, ponpes ini menerapkan model pendidikan yang mengacu pada upaya mencapai visi misi dimana 6 bulan pertama santri baru wajib mengikuti pendidikan pembentukan adab dan akhlak, setelah santri mengikuti pembelajaran setiap kitab dengan metode utama mulazamah murni dimana santri baru diseleksi secara ketat melalui dua tahapan tes dan wawancara. Ustadz terbagi ke dalam tiga kelompok dimana manajemen terdapat 5 orang, penanggung jawab Usroh sebanyak 8 orang, direkrut dari luar negeri, dan asisten penanggungjawab usroh. Setiap usroh terdapat 2 ustad asisten yang keseluruhannya direkrut dari dalam negeri, termasuk alumni. Setiap usroh terdiri dari 15 – 20 santri secara heterogen.
Pendidikan Al-Qur’an, dimulai dengan Pelajaran tahsin qiro’ah, sedang pendidikan ‘ulum syari’ah dimulai dengan materi Bahasa Arab. Setelah santri menguasai al-Quran dan Bahasa Arab, pelajaran dilanjutkan dengan materi-materi ulum syar’iah yang menggunakan kitab kuning. Pendidikan hadist diberikan kepada santri setelah mempunyai kemampuan menghafal Al-Qur’an 30 juz.
Disamping Pelajaran yang bersifat wajib diikuti oleh semua santri, ada program tambahan yang tidak diujikan, seperti Dars‘am atau pelajaran umum dalam bentuk kajian kitab, dan Dauroh Ilmiah atau kegiatan pembelajaran yang tidak terjadwal secara tetap, terkadang dibuka untuk umum dan diikuti oleh peserta dari luar pesantren.
Selain itu penerapan Model Mulazamah dalam pendidikan kader ulama di Pondok Pesantren Salman Al-Farisi ini menekankan pada pendekatan pembelajaran yang intensif dan personal antara guru dan murid dimana santri belajar dan tinggal bersama guru untuk menimba ilmu. Santri juga diwajibkan untuk menghafal Al-Quran serta ada berbagai materi yang diajarkan termasuk bahasa Arab, ilmu syariah, aqidah, hadits, dan tafsir. Evaluasi dilakukan melalui berbagai bentuk, seperti evaluasi secara tulis, secara lisan, dan praktek, baik itu praktek membaca dan memahami kitab maupun praktek ibadah amaliyyah. Model pendidikan ini, ditegakkan di atas 4 pilar yaitun al-Quran, berproses secara tadarruj (bertahap), bersifat Ta’shil (focus dan mendasar), dan dikuatkan dengan adab.
Mustaqin berharap dari penelitiannya ini dapat memberi manfaat secara teoritis, ditemukannya model pendidikan Agama Islam yang memiliki makna edukatif tinggi dalam pendidikan kader ulama sehingga memiliki kontribusi keilmuan dalam sistem pendidikan Islam. Sedangkan secara paraktis ia berharap temuannya ini dapat memberikan masukan yang berarti bagi para pengasuh pesantren untuk mengembangkan model pendidikan agama Islam, dalam sistem pendidikan di pondok pesantren pada umumnya, sehingga dapat menjawab keresahan masyarakat muslim akan kemampuan pondok pesantren dalam menghasilkan kader ulama yang faqih fieddien dan mampu menyelesaikan problem kehidupan umat. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Rochmat Shobirin |