
TIMESINDONESIA, SIDOARJO – Potret perjalanan seorang guru di tengah masyarakat yang semakin dinamis. Sebutan guru pahlawan tanpa tanda jasa mulai memudar seiring berjalannya waktu. Kemajuan zaman telah menyebabkan meningkatnya tuntutan ekonomi terhadap guru, sehingga mendorong guru dengan berbagai cara untuk terus berusaha memenuhi kebutuhan esensialnya.
Sangat sedikit guru yang kurang konsentrasi dalam menjalankan tugas mengajarnya. Bahkan ada guru yang menambah pekerjaannya, mengajar menjadi pekerjaan sampingan, pekerjaan sampingan menjadi pekerjaan utama. Hal ini jelas akan mempengaruhi tugas menjadi seorang guru yang sangat mulia, tugas guru untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa.
Advertisement
Melihat kondisi ini, pemerintah menyikapinya dengan mengeluarkan undang-undang RI nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen yang harapannya dapat membantu mensejahterakan para guru. Sehingga guru dapat menjalankan tugasnya secara profesional, salah satu bentuk upaya pemerintah dalam memberikan penghargaan terhadap guru.
Pekerjaan guru tidaklah mudah karena menuntut kerja keras, kreatif dan cerdas, yang nantinya diharapkan dapat mencetak generasi bangsa yang unggul, handal dan kuat sebagai generasi penerus bangsa ini menuju generasi emas tahun 2045. Akan tetapi, perlu waktu untuk merealisasikan ini semua karena berkorelasi pada perolehan kesejahteraan bagi guru terutama berupa tunjangan profesi guru.
Tidak sesuai dengan realitas di lapangan, di mana undang-undang tersebut belum sepenuhnya berdampak pada kesejahteraan para guru. Meskipun beberapa guru telah merasakan dampak positif undang-undang ini terhadap kesejahteraan mereka, sebagian besar guru masih belum merasakan perubahan yang signifikan dalam kesejahteraannya meskipun undang-undang tersebut sudah berlaku selama hampir satu dekade.
Di sisi lain, ada juga pandangan bahwa undang-undang ini malah meningkatkan kesenjangan sosial antara sesama guru. misalnya terdapat guru yang sudah sertifikasi dan mendapat pengakuan profesional oleh pemerintah dan mendapat tunjangan profesi. Namun memiliki kinerja yang sama bahkan lebih buruk dengan guru yang belum sertifikasi dan belum mendapat pengakuan profesional oleh pemerintah. Kualitas pengajaran mereka mungkin serupa, namun perbedaan dalam kesejahteraan sangat mencolok.
Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan bagi pihak yang berwenang untuk meningkatkan kinerja guru dalam hal pengembangan karakter guru.
Bukankah syarat menjadi Guru adalah sudah menempuh pendidikan Strata 1? Yang mana dalam proses pembelajaran selama kuliah para guru tersebut sudah “digodok di kawah Candradimuka” minimal 3 tahun, akan tetapi masih dianggap butuh akan sertifikasi untuk pengakuan dari pemerintah.
Padahal, selama masa pendidikan tersebut, para calon guru telah dibekali dengan pengetahuan yang nantinya akan mereka ajarkan di sekolah atau madrasah. Jumlah Guru yang belum Sertifikasi dan kapan akan disertifikasi masih sangat banyak sekali, dan tidak jelas kapan mereka akan mendapatkannya. Sehingga mereka hidup dalam ketidakpastian.
Selain masalah sertifikasi, kepercayaan masyarakat terhadap guru juga sedang mengalami krisis. Contohnya, beberapa guru telah dilaporkan kepada pihak berwenang dengan tuduhan pidana terhadap murid mereka, padahal tindakan mereka seharusnya merupakan upaya mendidik agar murid menjadi lebih baik.
Hal ini membuat sebagian guru cenderung memilih untuk mendidik dengan cara yang lebih "aman," meskipun mungkin merasa tidak puas dengan hasilnya. Guru merasa bahwa tugas mereka tidak hanya mengajarkan materi pelajaran, tetapi juga nilai-nilai kepada siswa.
Selain itu, seringkali terjadi konflik antara murid dan guru, seperti contoh kasus seorang guru yang dilaporkan oleh orang tua murid hanya karena mengingatkan muridnya untuk sholat. Kurangnya penghormatan terhadap guru merupakan permasalahan lainnya. Murid seringkali lupa bahwa guru adalah orang yang dapat membantu mereka mencapai kesuksesan di masa depan.
Situasi seperti ini sangat menyayat hati para guru, yang semestinya mendapat perlakuan yang pantas dan hormat. Namun, masalah ini tidak hanya serta merta berasal dari siswa, tetapi juga terkadang dari perilaku sebagian guru yang tidak memberikan contoh yang baik. Bentuk contoh kecil sebagai guru yang belum menunjukkan perilaku yang baik sehingga belum menjadi contoh yang baik bagi murid dalam hal ini.
Oleh karena itu, kita berharap agar guru tetap dihargai sebagai sosok penting dalam pembentukan generasi penerus bangsa. Segala upaya dan perjuangan mereka seharusnya dihargai dengan penghargaan yang pantas. Namun, sayangnya belum semua guru merasa bahwa kesejahteraan mereka telah diperhatikan, terutama guru swasta dan honorer. Mereka juga berhak hidup layak di zaman ini, yang ditandai dengan biaya hidup yang semakin tinggi.
Selain itu, penting bagi masyarakat untuk memiliki pemahaman yang lebih luas bahwa guru berusaha memberikan pendidikan kepada anak-anak, yang mungkin tidak dapat diberikan oleh orang tua mereka di rumah. Sehingga tidak seharusnya guru dengan mudah dituduh melakukan tindakan kriminal dalam upaya mendidik.
"Guru ku Pahlawan ku, selamat hari Pahlawan".
***
*) Oleh: Mochammad Fuad Nadjib, Kepala SMA Islam Sidoarjo; Ketua PC PERGUNU Kabupaten Sidoarjo.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |