
TIMESINDONESIA, SURABAYA – “Kualitas demokrasi kita ditentukan oleh siapa yang sedang berdagang. Politisi yang memperdagangkan gagasannya, atau rakyat yang memperdagangkan suaranya.”
Menjelang diadakannya pemilu 2024, banyak tokoh politisi mulai bermunculan. Jalan raya bahkan sudah dipenuhi baliho yang memperlihatkan wajah mereka. Tak jarang wajah-wajah itu mulai membaur dengan masyarakat di berbagai tempat. Seperti pasar tradisional, sawah, dan tempat-tempat lain yang mencerminkan ekspresi kerakyatan.
Advertisement
Hal tersebut memang bukan suatu kesalahan. Para calon yang berkontestasi pada pemilu 2024 tentu berhak mempromosikan diri. Mereka berhak untuk mengupayakan kemenangannya asal dengan cara yang sehat dan tidak mencederai hukum. Dalam hal ini, mendekati rakyat adalah cara yang paling sering digunakan oleh para calon.
Pendekatan terhadap rakyat memang sudah menjadi barang pasti di bulan-bulan menjelang pemilu. Berbagai janji diobral agar rakyat mau memberikan hak suaranya. Tak heran jika rakyat tiba-tiba menjadi sangat dihormati karena dinilai akan berperan menentukan nasib politik mereka. Tentu hal tersebut menjadi miris ketika rakyat didekati hanya saat dibutuhkan hak suaranya saja.
Merespon hal itu, kita sebagai rakyat wajib memperkuat benteng pertahanan. Sebagai yang didekati, dikejar, dan diperjuangkan, kita harus lebih selektif dan tidak sembarangan menaruh hati. Jangan sampai kita menjadi korban PHP (Pemberi Harapan Palsu) yang berulang setiap lima tahun sekali.
Proses pendekatan yang dilakukan para politisi juga wajib kita cermati. Sebab, bukan tidak mungkin mereka menempuh jalur yang lebih praktis dan manipulatif, yakni lewat politik uang (money politic).
Politik Uang di Indonesia
Politik uang di Indonesia nyatanya masih menjadi persoalan. Menengok kembali di pilkada terdekat. Yakni tahun 2020, Lembaga Survei Indonesia (LSI) mencatat 21,9% responden pernah satu atau dua kali ditawari uang atau barang untuk memilih calon gubernur tertentu. Lalu 4,7% mengaku beberapa kali ditawari uang atau barang untuk memilih calon gubernur tertentu.
Hasil survei tersebut setidaknya membantu menerjemahkan kondisi demokrasi kita. Tokoh-tokoh politik masih sering menempuh jalur praktis dengan membeli suara rakyat (buying voters). Hal itu menandakan minimnya antusias rakyat dalam berdemokrasi karena suaranya masih dapat ditukar dengan sekedar uang.
Meskipun Undang-undang Nomor 07 tahun 2017 sudah jelas melarang politik uang, tetapi pada faktanya para politisi masih memanfaatkan taktik tersebut. Hal itu terjadi karena timbul prisoner’s dilemma diantara para kandidat. Mereka takut kalah karena pesaingnya melakukan praktik politik uang, sehingga mereka juga melakukan hal serupa.
Prisoner’s dilemma akan terus terjadi ketika rakyat masih tergoda dengan politik uang. Hal tersebut menjelaskan bahwa rakyat juga merupakan faktor penting untuk menghapus budaya itu. Dengan berani melapor dan mengatakan “tidak” pada setiap bentuk suap, maka prisoner’s dilemma di antara politisi akan perlahan hilang. Kondisi tersebut yang sekaligus dapat mengusir budaya politik uang dari negeri kita.
Tentu bukan barang mudah menolak pemberian uang bagi masyarakat dengan kondisi ekonomi yang sulit. Namun, selama ini kita selalu dijebak dalam siklus yang demikian. Sebagai ongkos memenangkan pemilu, para politisi mengeluarkan modal yang besar, salah satunya lewat politik uang. Setelah terpilih, mereka kemudian berupaya mengembalikan modal dengan cara-cara korup yang lebih merugikan.
Menjadi Rakyat yang Jual Mahal
Rakyat dalam fenomena ini bak seorang perempuan yang tengah didekati oleh seorang pria. Tentu kalau uang yang menjadi senjata utamanya, pria tersebut sama seperti pria hidung belang yang hanya berorientasi pada nafsu dengan perhatian yang hanya akan berlangsung singkat. Berbeda ketika modal utamanya adalah value dan kepastian masa depan, maka bisa dipastikan pria itu lebih memiliki kematangan dan keseriusan.
Sebagai rakyat, akan celaka kalau kita memilih pemimpin yang mendekat hanya karena nafsu kekuasaan belaka. Value dan kualitas gagasan-lah yang idealnya menjadi alasan kita rela menggunakan hak suara. Oleh karena itu, menghindari praktik suap dalam pemilu menjadi tanda kalau kita merupakan rakyat yang high class sehingga hanya memilih pemimpin yang benar-benar punya kualitas.
***
*) Oleh : Ricky Rivaldi (Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, Surabaya)
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |