Kopi TIMES

Menyoal Kemendagri tidak Melantik Dua Anggota MRP

Senin, 13 November 2023 - 10:58 | 42.43k
Thomas Ch. Syufi, Advokat atau Pengacara Muda Papua.
Thomas Ch. Syufi, Advokat atau Pengacara Muda Papua.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, PAPUA – Sangat disesalkan langkah arogan dan represif yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri dengan tidak melantik dua anggota MRP atas nama Benny Swenny dan Orpa Nari tanpa dasar hukum yang jelas. Kedua anggota MRP yang tidak dilantik bersama para anggota MRP lainnya pada Selasa, 7 November 2023,  dengan alasan mereka masuk dalam daftar merah. 

Mereka dianggap merupakan bagian dari anggota MRP sebelumnya (2017-2022) yang ikut menolak Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus Papua pada sekitar tahun 2020-2002 dan melakukan judicial review terhadap undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi. 

Advertisement

Ini pendapat yang dianggap dangkal dan menyesatkan, layaknya orang melek hukum yang hidup di negara-negara non-demokrasi, terutama negara totaliter  dengan spirit etatisme, yang hobi mengatasnamakan kepentingan negara dan rakyat untuk memberangus rival-rival politik yang memiliki niat baik untuk memperjuangkan aspirasi rakyat seperti Benny Swenny dan Orpa Nari.

Pertanyaannya, apakah Kemendagri adalah lembaga peradilan yang berwenang menetapkan seseorang masuk daftar merah atau daftar hitam dan segalanya? Apakah Kemendagri telah mengantongi putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht) dan mengikat (binding) yang menyatakan  Benny Sweny dan Orpa memiliki catatan kriminal yang menunjukkan secara sah dan meyakinkan bahwa kedua anggota MRP ini telah melakukan tindak pidana? 

Kalau tidak ada, sebaiknya Kemendagri jangan memunculkan asumsi liar yang dapat menggerus reputasi dan kredibilitas anak-anak Papua yang punya tujuan luhur untuk membangun orang Papua di negeri ini. 

Kemendagri ingat, ada asas umum yang berlaku dalam dunia hukum yang perlu dipatuhi. Yaitu cogitationis poenam nemo patitut, tidak ada seorang pun dapat dihukum hanya karena berdasarkan apa yang ada dalam hatinya? Itu dunia peradilan saja sudah dilarang demikian, apalagi Kemendagri yang lembaga non-peradilan secara semrawut menetapkan orang bersalah tanpa bukti kesalahan mereka melalui putusan pengadilan itu bagaimana logikanya. 

Walaupun ada Peraturan Daerah atau apa pun yang mengatur, itu harus berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan tetap tentang riwayat kejahatan seseorang. Sebagaimana berdasar asas legalitas bahwa tak seorang pun dapat dihukum tanpa kesalahan kecuali ada aturan yang telah mengaturnya (nullum delictum nulla poena sine praevia lege), bahkan hal tersebut sudah diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP. Dan lembaga yang mempunyai  kewenangan menentukan seseorang itu bersalah atau tidak adalah pengadilan, melalui putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat.

 Jadi, ini merupakan sebuah serangan dahsyat terhadap jantung demokrasi dan pelecehan hukum sekaligus pembunuhan karakter yang dilakukan oleh Kemendagri dengan tidak melantik dua anggota MRP, Benny Sweny dan Orpa Nari. Seandainya pun, ada anggota MRP periode lalu (2017-2022) yang terlibat dalam proses penolakan Otsus dan ikut melakukan  Judicial Review  UU No. 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus Papua, itu hal yang sangat tepat dan menjadi keharusan mereka sebagai representasi kultur orang Papua. 

Setiap aspirasi yang mereka dorong atau perjuangkan tentu bersumber dari konstituennya, yakni masyarakat Papua. Hal tersebut bukan inisiatif mereka, apalagi hal itu bukan dilakukan oleh dua oknum anggota MRP,  tapi merupakan sebuah keputusan kolektif kolegial seluruh anggota MRP. 

Ini merupakan hal yang lumrah dalam iklim demokrasi. Masak jadi representasi masyarakat lalu apatis dan antipati terhadap aspirasi rakyat, itu kan hal yang utopis dan irasional. Kemendagri tidak paham, MK itu lembaga pengujian UU terhadap UUD, jadi sangat patut MRP memiliki legal standing untuk menguji UU Otsus ke MK atas berbagai sikap otoriter pemerintah pusat yang terus mengintervensi proses penyelenggaran Otsus di Papua. 

Setiap warga negara punya hak memperjuangkan keadilan dan kepastian hukum dengan cara-cara bermartabat dan konstitusional, yang tidak bisa dilarang oleh siapa pun, apalagi Kemendagri. MRP secara tepat telah melakukan proses pemindahan peradilan jalan ke panggung hukum yang paling bermartabat, yaitu melakukan Uji Materi UU Otsus Papua ke MK. 

Maka, Kemendagri harus memahami hal ini dengan baik, agar  jangan gegabah demi kepentingan kelompok dan politik lalu mengatasnamakan kepentingan negara untuk mencurigai, menuduh, dan  memberangus lawan politik, dengan melanggar etika dan norma hukum, sekaligus merusak asas inde datae leges be fortiori omnia posset. Artinya, hukum dibuat yang agar membatasi yang mempunyai kekuasaan tidak terbatas. 

Jelas, Kemendagri telah bertindak luar nalar hukum dan ini bentuk dari homo homini lupubs est, manusia yang satu jadi serigala bagi sesamanya atau meminjam, bahasa dramawan Plautus (254-184) “Lupus est homo homini, non homo, quom qualis sit non novit”. Terjemahan bebasnya, manusia bukan manusia tetapi serigala bagi orang lain. 

Bahkan langkah Kemendagri tidak melantik dua anggota MRP merupakan sesuatu tindakan penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Juga melanggar asas rechtmatigheid (asas yang menetapkan bahwa setiap tindakan pejabat negara tidak boleh melanggar hukum, yaitu asas keadilan dan kepatutan) serta melanggar asas wetmatigheid (asas yang menetapkan bahwa  setiap tindakan pejabat negara harus ada dasar hukumnya).

 Jadi, cara-cara seperti ini sama dengan negara sengaja mengawetkan konflik dan ketidakadilan di tanah Papua. Bukan sebaliknya mewujudkan keadilan yang membebaskan bagi orang Papua untuk mengatur dirinya sendiri dalam kerangka UU otsus Papua sebagai hasil kebijakan sepihak yang diberikan oleh pemerintah Indonesia untuk meredam upaya advokasi pelanggaran hak asasi manusia dan tuntutan referendum Papua. 

Bahkan MRP bukan lembaga subordinasi Kemendagri, tapi hubungannya bersifat koordinatif. Karena MRP diatur secara lex specialist oleh UU Otsus Papua, bukan di bawah Kemendagri.

Apa pun aspirasi yang mereka terima dan menjawab atau menindaklanjuti, itu tidak merugikan siapa pun, termasuk negara.  Karena yang diperjuangkan itu konstitusional dan aspiratif, dan segala keputusan tertinggi dan nasib negara ini ada di tangan pemerintah pusat sebagai konsekuensi logis bentuk negara kesatuan. 

Apalagi ciri negara kesatuan adalah adanya supremasi parlemen pusat, yang berhak membentuk undang-undang dan ikut menentukan arah pembangunan nasional bersama pemerintah. Mengapa Kemendagri harus fobia pada anggota dan lembaga MRP yang nota bene merupakan lembaga bentukan negara yang berbeda pada level lokal.

Yang dengan tulus bicara sesuatu yang benar dari kehendak rakyat untuk perbaikan serta perubahan dalam rangka penyelenggaran otonomi khusus di Papua harus dijadikan musuh. Dua orang batal dilantik dengan dalil-dalil yang lemah dan penuh asumsi. Ini bentuk sabotase yang dapat melanggar hak asasi manusia sekaligus merugikan hak konstitusional dua anggota MRP yang telah memperoleh legitimasi dari masyarakat Papua melalui proses seleksi atau pemilihan yang jujur, adil, demokratis, dan bermartabat, seperti para anggota MRP lainnya yang telah dilantik oleh Kemendagri. 

Jadi, Kemendagri setop menerapkan praktik politik adu domba atau politik divide et impera (pecah belah dan kuasai) orang Papua, dengan tanpa dasar hukum tidak melantik dua anggota MRP, Benny Sweny dan Orpa Nari. Tindakan Kemendagri ini membuktikan bahwa fungsi MRP sebagai lembaga representasi kultur orang asli Papua telah bergeser makna menjadi lembaga politik atau ‘boneka’  Jakarta.

Hal itu dikarenakan segala proses dilakukan dengan sarat kepentingan dan berdasar pada budaya like or dislike, bukan dipilih secara objektif dan proporsional sebagai lembaga representasi kultur orang Papua berdasarkan persentase penyebaran penduduk asli Papua pada 7 wilayah adat, terutama wilayah adat Saireri dan Tabi.

Oleh karena itu, diminta Kemendagri segera melantik dua anggota MRP, yakni Benny Swenny dan Orpa Nari, termasuk sejumlah nama yang tidak disebutkan oleh Wakil Menteri Dalam Negeri Wempy Wetipo dalam proses pelantikan di Jayapura, 7 November 2023. 

Mereka mempunyai hak konstitusional dan hak asasi sebagai anak asli Papua yang punya kapabilitas dan integritas untuk dikukuhkan menjadi anggota MRP karena mereka dipilih oleh unsur-unsur masyarakat asli Papua untuk mengawal aspirasi masyarakat Papua melalui undang-undang otonomi khusus, demi keberpihakan, pemberdayaan, dan perlindungan orang asli Papua.

Sebagi wujud kemajuan dan kesejahteraan orang Papua dalam NKRI. Lex nemini operatur iniquum, neminini facit injuriam, hukum tidak memberikan ketidakadilan kepada siapa pun dan tidak melakukan kesalahan kepada siapa pun! Liberte.

***

*) Oleh: Thomas Ch. Syufi (Advokat atau Pengacara Muda Papua).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES