Persoalan Putus Sekolah Diantara Visi Indonesia Emas 2045 dan Pemimpin Masa Depan

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ketidakpastian kondisi ekonomi menuntut manusia bertahan dalam segala keterbatasan. Secara filosofi, manusia merupakan makhluk yang memiliki akal. Di mana akal tersebut digunakan untuk melakukan sebuah proses bertahan hidup. Untuk itu, masyarakat harus bisa menggunakan segala potensinya demi menuju masyarakat yang homeostatis. Berdasarkan data rilis dari Badan PBB untuk pembangunan (UNDP) pada tahun 2021, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia belum masuk dalam daftar 100 besar. Indonesia masih berada di peringkat 114 dengan skor 0,750 dari 191 negara di dunia.
Data di atas mengindikasikan bahwa masih rendahnya daya saing bangsa. Apalagi dunia sekolah yang dianggap dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia, justru sebaliknya makin sulit di akses oleh masyarakat, khususnya masyarakat kecil kebawah. Terbukti tiap tahunnya angka putus sekolah selalu mengalami kenaikan. Walaupun secara teori sudah diterapkan sekolah gratis, namun realitanya masih banyak anak yang sulit mengakses dunia pendidikan. Berdasarkan data dari Kemendikbudristek, pada tahun ajaran 2021/2022 mencapai 75.876 anak putus sekolah. Lalu meningkat pada tahun ajaran 2022/2023 yang mencapai 76.834 anak putus sekolah. Data ini menunjukan masih tingginya persoalan putus sekolah yang dihadapi oleh dunia pendidikan Indonesia.
Advertisement
Ironisnya mereka yang putus sekolah atau yang tidak sekolah dianggap orang kelas dua dalam tataran struktur sosial. Hal ini disebabkan karena minimnya ilmu pengetahuan dan ketrampilan formal yang mereka miliki. Ditambah lagi pihak pemerintah yang terkadang mengabaikan keberadaan mereka. Selain itu adanya lembaga pelatihan tenaga kerja yang diadakan oleh pemerintah terkadang di anggap sebagian masyarakat masih sulit untuk di akses. Sebab ada saja oknum yang kadang memanfaatkan kegiatan tersebut dengan penarikan biaya yang mahal. Selain itu untuk dapat mengikuti pelatihan di lembaga-lembaga khursus ketrampilan yang ada tentu memerlukan biaya yang tidak cukup sedikit. Maka makin sulitlah ruang gerak mereka yang menginginkan ketrampilan nonformal untuk modal mereka bersaing di dunia kerja.
Salah satu sektor penting yang secara langsung memberikan kontribusi besar dalam mengembangkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) adalah sektor pendidikan. Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan suatu keharusan bagi sebuah bangsa di era globalisasi. Salah satu wahana untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas adalah bidang pendidikan. Dalam Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 pasal 3 tentang dasar, fungsi dan tujuan, secara tegas disebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta perabapan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Maka untuk itulah pendidikan mengalami perubahan sepanjang waktu, oleh karena itu pendidikan tidak mengenal akhir atau pendidikan sepanjang hayat.
Maka untuk itu pendidikan mempunyai peran yang sangat penting untuk membangun suatu negara. Pemberian pendidikan formal, non formal maupun informal dari usia dini bisa menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas pada masa yang akan datang dan diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam berbagai aspek kehidupan untuk kemajuan negara. Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu keharusan bagi setiap manusia secara keseluruhan. Setiap manusia berhak mendapatkan atau memperoleh pendidikan, baik secara formal, informal maupun non formal, sehingga pada gilirannya ia akan memiliki mental, akhlak, moral dan fisik yang kuat serta menjadi manusia yang berbudaya tinggi dalam melaksanakan tugas, kewajiban dan tanggung jawabnya di dalam masyarakat. Daoed Joesoef (dalam Sindhunata 2001) mengemukakan bahwa suatu pembangunan nasional tidak hanya tergantung pada sumber-sumber dan kekayaan alam yang terkandung oleh bangsa yang bersangkutan ,antara daratan dan lautan suatu negara dengan pendapatan perkapita yang dimiliki rakyatnya, terdapat suatu variabel penting yang menghubungkan keduanya, variabel tersebut adalah pendidikan.
Tidak heran banyak negara di dunia menganggarkan dana yang besar untuk pendidikan. Indonesia sendiri sejak tahun 2009 telah mengganggarkan 20% dari APBN untuk bidang pendidikan dan terus meningkatkan anggaran pendidikan dari 332,4 triliun rupiah pada tahun 2013 menjadi 550 triliun rupiah pada tahun 2021. Peningkatan anggaran ini meningkatkan tingkat pendidikan dan kesejahteraan guru, mengurangi ukuran kelas (rasio guru-peserta didik) dan meningkatkan sarana dan prasarana satuan pendidikan. Hal tersebut menunjukkan betapa pemerintah Indonesia sangat memperhatikan bidang pendidikan.
Hal ini tidak lepas karena pembangunan pendidikan memainkan peran kunci dalam strategi penanggulangan kemiskinan melalui perluasan akses dan kesempatan untuk mengikuti pendidikan dasar dan program lanjutannya untuk menghasilkan lulusan yang dapat menjadi pekerja mandiri dan produktif dengan upah yang baik. Namun banyaknya kasus putus sekolah dapat mengakibatkan rendahnya pendidikan suatu bangsa dan akan berpengaruh terhadap peringkat Human Development Index (HDI) atau indeks pembangunan manusia, padahal peringkat HDI mencerminkan kualitas sumber daya manusia. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara di seluruh dunia. HDI digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah Negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup.
Masalah putus sekolah khususnya pada jenjang pendidikan dasar, kemudian tidak bekerja atau berpenghasilan tetap tentu dapat menjadi beban negara dan bahkan bisa saja berpotensi meningkatnya masalah sosial yang berujung kriminalitas. Hal ini dikarenakan kurangnya pendidikan atau pengalaman intelektual yang seharusnya bisa didapatkan di sekolah, serta tidak memiliki ketrampilan kerja yang dapat menopang kehidupannya sehari-hari. Lebih-lebih bila mengalami frustasi dan merasa rendah diri tetapi bersikap overkompensasi, bisa menimbulkan gangguan-gangguan dalam masyarakat berupa perbuatan kenakalan yang bertentangan dengan norma-norma yang ada di masyarakat. Masalah putus sekolah bisa menimbulkan ekses dalam masyarakat, karena itu penanganannya menjadi tugas negara.
Apalagi mengingat bangsa dan negara ini memiliki mimpi besar yang dibingkai dalam program Visi Indonesia Emas tahun 2045. Dimana Indonesia akan memasuki masa keemasan pada tahun 2045 yang juga merayakan hari jadinya yang ke-100 atau 1 abad. Saat itu tujuan Indonesia adalah menjadi negara maju.
Visi Indonesia Emas tahun 2045 sendiri memiliki 4 (empat) pilar yang didasarkan pada kecenderungan besar dunia (global megatrend) hingga tahun 2045/2050. Keempat pilar untuk mencapai Visi Indonesia Emas tahun 2045, yaitu: (1) Pembangunan Manusia serta Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (komponennya adalah Kependudukan, Pendidikan, Kesehatan Penguasaan Iptek, Kebudayaan, dan Ketenagakerjaan); (2) Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan (Komponennya adalah Pertumbuhan Ekonomi, Investasi dan Perdagangan Luar Negeri, Industri serta Ekonomi Kreatif dan Digital Pariwisata, Maritim, Ketahanan Pangan, Energi, dan Air Lingkungan); (3) Pemerataan Pembangunan (Komponennya adalah Pemerataan Pendapatan, Pengentasan Kemiskinan, Kesejahteraan Petani, Pemerataan Pembangunan Daerah, dan Pemerataan Infrastruktur); dan (4) Pemantapan Ketahanan Nasional dan Tata Kelola Kepemerintahan (Komponennya adalah Politik Dalam Negeri, Reformasi Birokrasi dan Kelembagaan Hukum serta Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, Pertahanan dan Keamanan Politik Luar Negeri).
Berkaca dari mimpi Visi Indonesia Emas tahun 2045, maka mau tidak mau negara ini harus serius sejak saat ini memikirkan pemerataan dan keadilan pada masyarakat Indonesia khususnya masyarakat ekonomi kebawah untuk dapat mengakses hak pendidikannya sampai 12 tahun wajib belajar (jenjang SD sampai SLTA). Memang pemerintah sudah memberikan berbagai pelayanan dan kebijakan sekolah gratis dan bantuan belajar bagi masyarakat ekonomi kebawah. Namun faktanya program – program tersebut belum mampu mengatasi persoalan putus sekolah.
Berdasarkan hal di atas, maka Presiden dan Wakil Presiden terpilih nanti pada perhelatan demokrasi Februari 2024 mendatang harus memiliki komitmen dalam upaya menyelesaikan persoalan putus sekolah ini dan tidak semata hanya berfokus pada merombak atau bongkar pasang kurikulum. Maka itu upaya penyelesaian anak putus sekolah harus dilakukan secara holistik dan integratif dengan melibatkan banyak pihak, baik unsur pemerintah, perguruan tinggi, masyarakat, organisasi masyarakat, sektor swastas, dan termasuk peran media.
Untuk itu hal yang perlu dilakukan dalam penyelesaian anak putus sekolah, yaitu antara lain: Pertama, urgensi peningkatan peran pemerintah daerah, keluarga, dan masyarakat sebagai pihak yang berhadapan langsung dengan anak putus sekolah. Dimana pemerintah daerah dengan segala tupoksinya harus membangun sistem pengendalian penyelesaian anak putus sekolah. Pemerintah daerah secara berjenjang sampai tingkat pemerintah desa/kelurahan melakukan tracing dan pendampingan terhadap anak putus sekolah dan berisiko putus sekolah. Anak-anak tersebut harus dapat dipastikan kembali dan bertahan di dalam sistem persekolahan. Sementara itu keluarga dan masyarakat perlu mengambil peran dalam memperkuat ketahanan bersekolah anaknya yang menjadi peserta didik. Keluarga harus melaksanakan peran dan fungsinya pada anak dengan memberikan perlindungan, kasih sayang, dan pendidikan. Sejumlah penelitian menyebutkan, keluarga yang kurang optimal dalam menjalankan peran dan fungsinya cenderung memiliki anak putus sekolah.
Kedua, perlu kepastian ketersediaan dan keterjangkauan layanan pendidikan yang berkualitas bagi semua lapisan masyarakat. Infrastruktur pendidikan harus diperluas, terutama di daerah terpencil dan tertinggal. Selain itu juga penguatan pendidikan non-formal dan pengembangan inovasi pembelajaran berbasis digital untuk memudahkan akses pendidikan. Ketiga, mengatasi hambatan ekonomi yang mengakibatkan anak putus sekolah dengan meningkatkan bantuan pendidikan bagi anak dari keluarga tidak mampu yang sudah berjalan selama ini, namun perlu dikontrol dan diawasi mekanisme penggunaannya agar tidak salah dalam penggunaan bantuan yang didapat oleh masyarakat. Untuk itu penting sistem basis data peserta didik dan kesejahteraan sosial keluarga diperkuat dan disinkronkan agar dapat dipastikan ketepatan sasaran, serta tidak ada anak dari keluarga miskin yang tertinggal dari bantuan pendidikan; dan Keempat, pentingnya memperkuat sistem sosial kemasyarakatan dalam membangun mentalitas maju bagi keluarga dan mengubah persepsi negatif terhadap pendidikan yang dalam beberapa tahun ini sedang diderah persoalan bullying hingga kekerasan seksual.
Semoga estafet pemimpin bangsa di masa depan dapat mengurangi angka putus sekolah yang masih tinggi saat ini. Sehingga pemimpin masa depan yang terpilih nantinya dapat membawa perahu besar bangsa dan negara ini dengan kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah. Dengan meningkatnya kualitas dan keadilan pendidikan Indonesia, maka sebuah keniscayaan mimpi Visi Indonesia Emas tahun 2045 akan tercapai dengan maksimal yang dimana Indonesia menjadi negara maju.
***
*) Oleh: Guntur Syaputra (Mahasiswa Doktor Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang dan Pengurus Majelis Pendidikan Al Washliyah Pengurus Besar Al Washliyah)
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |