
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Selama ini nama Finlandia yang selalu menjadi rujukan kemajuan pendidikan dunia. Hal ini cukup beralasan di tahun 2000 Finlandia menduduki peringkat teratas dalam nilai PISA untuk Eropa. Seterusnya sampai tahun 2009. Di tahun 2012 peringkat PISA Finlandia menurun, bahkan untuk Matematika negara tersebut duduk diperingkat 12.
Tahun 2015, Estonia mulai mengambil alih posisi negara dengan sistem pendidikan terbaik di Eropa. Estonia meraih nilai tertinggi untuk sains dan matematika. Sedangkan pada tahun 2018, Estonia unggul di semua bidang yang menjadi fokus PISA atas semua negara Eropa. Namun dunia terlanjur tersihir dengan pesona Finlandia, tak pelak negara Skandinavia tersebut menjadi kiblat pendidikan menengah di dunia hingga saat ini.
Advertisement
Meskipun faktanya, sejak tahun 2018, rangking PISA tertinggi di Eropa bukan lagi milik Finlandia. Namun, sangat sedikit yang mengulas kemajuan pendidikan Estonia. Masyarakat dunia belum bisa move on dari pesona Finlandia yang tertancap kuat dibenak banyak orang sebagai negara yang paling maju pendidikannya.
Rangking PISA Estonia memang mengesankan, namun jauh dari gembar gembor pemberitaan media. Negara itu ibarat melakukan kudeta senyap atas rangking juara bertahan PISA Eropa yaitu Finlandia.
Estonia diam-diam membangun pendidikan berkualitas, namun jauh dari publisitas. Bagaimana kemudian Estonia menjadi negara dengan sistem pendidikan terbaik di Eropa hingga saat ini? Rangking PISA 2022 belum diumumkan. Sehingga Estonia masih kukuh belum tergoyahkan diposisi atas negara Eropa.
Berdasarkan hasil tes PISA yang disampaikan dalam laporan OECD tahun 2018, 77 persen siswa Estonia memiliki grotwh mindset. Tentu saja hal ini bisa menjawab mengapa negara itu kemudian menduduki peringkat satu di Eropa. Grotwh mindset membuat siswa akan terus belajar dan percaya diri bahwa kemampuan dan kecerdasan bukanlah bawaan dari lahir atau mewarisi gen orang tua.
Growth mindset juga membuat para siswa memiliki mental pejuang dalam memperoleh prestasi di sekolah. Mungkin sudah saatnya siswa dan guru di Indonesia untuk diberi pelatihan bagaimana memiliki grotwh mindset ketimbang fix mindset.
Bagaimana dengan sistem belajar di sekolah Estonia?
Teryata sistem pendidikan negara itu sangat unik. Dalam wawancara dengan BBC, Desember tahun 2019, Menteri pendidikan Estonia, malahan mengatakan bahwa mereka mulai mengikuti cara Asia dalam belajar. Yaitu belajar banyak dalam waktu yang panjang meskipun mereka akan beradu argumen dengan orang tua tentang pekerjaan rumah yang banyak.
Anak-anak di Estonia mendaftar di taman kanak-kanak di usia 3 tahun bahkan dibawah usia itu. Usia wajib belajar Estonia adalah 7 sampai 16 tahun, sama dengan Indonesia. Yang sangat menarik adalah siswa di Estonia betul-betul gratis dalam belajar, mulai dari uang sekolah, buku, uang, makan siang yang ditanggung bahkan transportasi Bus gratis.
Sehingga siswa disana tidak akan terlalu terlihat kesenjangan sosial yang dimiliki. Mungkin agar pendidikan kita maju seperti Estonia, saatnya meniru apa yang dilakukan negara itu dalam menjamin kesejahteraan siswa-siswanya. Karena untuk kurikulum kita sudah mencontoh negara-negara maju bahkan perubahan kurikulum beberapa kali mengikuti saran-saran OECD termasuk yang terakhir kurikulum Merdeka. Saatnya melihat faktor lain yang dilakukan negara maju yang pendidikannya terbaik di Eropa.
Saya teringat vidio viral kemarin, ada anak SD membawa makan siang berlauk ulat di sekolahnya yang kontan saja menimbulkan komen-komen keheranan teman–teman kelas dan juga gurunya. Saya sangat setuju ketika ada Capres yang menjanjikan makan siang gratis untuk anak-anak sekolahan.
Bagaimanapun sembako sangat mahal di negara ini terlebih pasca kenaikan BBM, dan wacana penghilangan pertalite akan sangat menurunkan daya beli dari golongan masyarakat berpenghasilan pas-pasan yang merupakan jumlah mayoritas masyarakat di negara ini, yang berimbas tidak bisa menyiapkan makanan layak untuk anak-anak mereka yang berada di usia sekolah. Dengan makan siang gratis, anak-anak dari golongan kurang mampu tidak harus belajar dengan perut kosong dan gizi mereka sedikit terpenuhi di sekolah.
Apakah mungkin adanya jaminan makan siang membuat siswa menjadi berprestasi skala dunia? Karena Finlandia pun demikian juga, negara itu juga menyiapkan makan siang untuk siswa disekolah. Sayangya OECD dalam laporan-laporannya belum pernah menyinggung secara khusus tentang makan siang, namun hanya memberikan laporan secara umum sudah tercakup dalam laporan ketersediaan fasilitas sekolah yang baik bisa mendongkrak nilai PISA.
Melihat rangking PISA Indonesia yang belum naik-naik dari sepuluh rangking terbawah sejak tes itu dilaksanakan di tahun 2000 sampai 2022 kemarin, yang artinya sudah 23 tahun dan 8 kali tes, dimana berkali-kali kurikulum diganti mengikuti saran OECD namun belum juga kelihatan hasilnya. Mengapa tidak mencoba memberikan program makan siang gratis? Mungkin saja rangking kita bisa membaik ketimbang uang milyaran dikorupsi, lebih baik dipakai beli makanan yang bergizi untuk anak sekolah.
Kita sudah meniru banyak hal tentang pendidikan dari negara-negara maju, hanya satu hal itu yang belum dilakukan konsisten. Menyiapkan makan siang gratis dan bergizi.
Setelah beberapa tahun meniru Finlandia, apakah kita tertarik meniru Estonia yang kata Mentri Pendidikannya mereka bahkan mengikuti Asia belajar dalam waktu yang panjang dengan materi yang banyak dan pekerjaan rumah yang banyak. Sehingga kalau dilihat-lihat kebelakang, tidak ada yang salah dalam kurikulum kita yang dulu-dulu, yang belum kita lakukan adalah integrasi semua fasilitas yang bisa mendukung proses belajar secara baik termasuk menghilangkan disparitas pendidikan kota dan desa, Jawa dan luar Jawa dengan fasilitas yang sama persis untuk semua sekolah di negara ini.
***
*) Oleh: Waode Nurmuhaemin, Doktor Manajemen Pendidikan, Penulis Buku dan Artikel Pendidikan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |