Kecenderungan Serta Pola Pemilih Muda Dalam Pemilu 2024

TIMESINDONESIA, MALANG – Dalam negara demokrasi, partisipasi politik, yakni kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintahan (Surbakti, 2010: 140), merupakan hal penting.
Asumsinya dalam negara demokrasi rakyat berdaulat, oleh sebab itu tentu juga berhak terlibat memengaruhi keputusan politik yang menyangkut kepentingan dirinya. Partisipasi politik dibedakan atas partisipasi aktif, yakni berorientasi pada proses input dan output politik dan partisipasi pasif yang hanya berorientasi pada proses output.
Advertisement
Akan tetapi di luar itu, ada kelompok apatis atau golongan putih (golput), yakni kelompok yang beranggapan masyarakat dan sistem politik yang ada telah menyimpang dari apa yang mereka cita-citakan (Gatara & Said, 2007: 142-143; Surbakti, 2010: 318). Milbrath dan Goel dalam Surbakti (2010) juga menambahkan daftar kategori partisipasi politik atas empat kelompok, di mana tiga yang pertama yang menunjukkan tingkatan partisipasi. Pertama, kelompok apatis, yakni mereka yang tidak terlibat atau menarik diri dari proses politik. Kedua, kelompok spektator, yang meskipun kurang tertarik dengan politik namun masih menggunakan hak pilihnya. Ketiga, kelompok gladiator, yakni mereka yang sangat aktif di dalam politik termasuk kategori ini adalah aktivis partai, pekerja kampanye, dan aktivis organisasi, dll. Keempat, pengkritik, yaitu orangorang yang berpartisipasi dalam bentuk non-konvensional (Surbakti, 2010: 143).
Lantas dimanakah posisi pemilih pemula atau bahkan pemuda pada kondisi golongan dalam kelompok tersebut? Selain itu, bagaimana kecenderungan dan pola pemilih pemula untuk tahun 2024? Mengingat kondisi secara umum akan ada banyak sekali pemilih pemula yang akan bergabung dan memberikan suaranya secara penuh pada kesempatan pesta demokrasi tersebut.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Akan tetapi sebelum masuk lebih jauh, ada baiknya untuk mempertimbangkan pola pesimistis beberapa kaum mudah terhadap proses pemilihan umum. Curtice (2002) misalnya melihat melihat ketertarikan pemilih muda terhadap politik makin memperlihatkan penurunan, dan bahkan ia menyebutnya sebagai fenomena krisis. Pendapat ini seharusnya menjadi pertimbangan penting terkait apa saja factor yang mempengaruhi anak muda untuk enggan serta terkesan acuh dalam berkontribusi saat pemilu. Bahlkan Curtice (2002) juga mempertanyakan kemungkinan harapan baru bagi transformasi politik yang akan dipromosikan oleh kaum muda.
Namun, disisi lain Dabach, Fones, Merchant, & Kim (2017) melihat, kaum muda skeptis terhadap politik karena pengalaman-pengalaman masa lalu yang dilewatinya. Trauma, eksklusi dan berbagai kesulitan yang lain membentuk cara pandang kaum muda terhadap politik. Hal ini nampaknya menjadi tantangan tersendiri bagi seluruh penyelenggara pemillu, terlebih lagi para calon presiden dan calon legislative turunannya agar mampu kembali mengembalikan pentingnya kesadaran pemuda dalam proses menyuarakan pendapat dalam pemilu.
Keraguan yang sama disampaikan oleh Garcia-Castanon, Garcia-Castañon, Rank, & Barreto (2011) bahwa era digital yang memberikan kesempatan luas pada kaum muda mengakses berbagai informasi politik belum tentu akan mendorong partisipasi aktif mereka di Pemilu. Untuk itu, penting melihat lebih jauh apakah keraguan benar-benar bisa terjadi dan mengancam pemilih muda di Indonesia.
Pemilih muda secara umum adalah pemilih pemula menarik untuk diperhatikan secara maksimal oleh penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) maupun peserta pemilu (partai politik dan calon). Sebab adanya pemilih pemula atau kaum muda ini terhadap KPU menjadi semakin penting untuk contributor penting sebagai pemilih yang cerdas, kemudian juga rasional dan kritis, yang lebih mengedepankan beberapa perhitungan sangat logis, mulai dari mempertimbangkan apa yang bisa (dan yang telah) dilakukan oleh sebuah partai atau seorang kontestan, dalam membuat keputusan paling rasional saat hendak memilih. Dan untuk semua kontestan partai politik adanya pemilih muda ini tentub sebagai pasar potensial dalam menghasilkan kantong-kantong suara baru.
Apalagi dengan maraknya penggunaan jejaring sosial berperan memengaruhi partisipasi politik pemilih muda secara massif dan tentunya kuat. Sejumlah studi partisipasi politik pada kelompok pemilih muda menemukan faktor-faktor pendorong partisipasi politik mereka. Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa ada hubungan kuat antara akses internet dan paparan online terhadap informasi tentang kampanye presiden dan efikasi, pengetahuan, dan partisipasi politik. Hingga akhirnya tanpa rasa efikasi politik, pemilih muda kemungkinan akan menjadi apatis, acuh tak acuh terhadap proses politik yang terjadi. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H,. M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |