Kopi TIMES

Dampak Fenomena Dinasti Politik

Kamis, 23 November 2023 - 14:37 | 55.89k
Muhammad Hanif Mahsabihul Ardhi, Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Muhammad Hanif Mahsabihul Ardhi, Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Pemilihan umum (pemilu) merupakan elemen yang sangat penting bagi negara demokrasi, termasuk bagi Indonesia. Saya percaya bahwa penyelenggaraan pemilu memenuhi tiga prinsip utama demokrasi, yaitu kedaulatan rakyat, keabsahan pemerintahan, dan pergantian pemerintahan secara teratur. 

Bagi saya, pemilu bukan hanya menjadi wujud dari kedaulatan rakyat, tetapi juga menjadi mekanisme dimana negara demokratis seperti Indonesia dapat mengisi jabatan publik di tingkat nasional dan lokal. Dalam pandangan Henry B. Mayo, Pemilihan Umum menjadi sarana di mana nilai demokrasi tercermin, karena melalui proses ini, terjadi transfer kekuasaan negara dari pemegang jabatan sebelumnya ke pemegang jabatan yang baru secara damai.

Advertisement

Salah satu praktik politik pergantian pemimpin yang lazim terjadi di Indonesia adalah politik berbasis kekerabatan atau dinasti politik. Politik berbasis kekerabatan atau dinasti politik adalah sebuah kekuasaan politik yang dilakukan oleh beberapa orang yang masih terikat dalam hubungan kekeluargaan. Dalam hal ini kekuasaan diwariskan secara turun-temurun dari suami kepada istri, anak dan seterusnya hal ini dilakukan agar kekuasaan politik masih tetap berada di lingkungan keluarga atau kerabat. 

Praktik dinasti politik sudah sejak lama terjadi di Indonesia. Salah satu daerah di Indonesia yang cukup fenomenal dan terkenal dengan dinasti politiknya adalah Provinsi Banten. Jejak politik Ratu Atut diikuti oleh anggota keluarganya, mulai dari saudara, suami, ipar, mertua, ibu tiri sampai anak-anaknya. 

Sehingga yang terbaru saat ini yang tengah hangat diperbincangkan adalah dinasti politik Presiden Joko Widodo yang diikuti oleh anaknya Gibran Rakabuming Raka sebagai walikota Solo sekaligus sebagai Calon Wakil Presiden 2024, Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum Partai Politik, menantunya Bobby Nasution yang sekarang menjadi Walikota Medan hingga Anwar Usman adik ipar Presiden Joko Widodo sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi kala itu.

Fakta yang ada menunjukkan bahwa praktik dinasti politik yang telah diterapkan, memberikan dampak merugikan dengan memotong hak-hak rakyat dan berpotensi menciptakan pemimpin yang tidak kompeten. Saya berpendapat bahwa terjadinya dinasti politik telah menjadi preseden buruk yang dapat memperkuat fenomena korupsi, kolusi, dan nepotisme di Indonesia, yang pada gilirannya dapat merugikan masyarakat. 

Hal ini terjadi karena sistem tersebut cenderung merangsang pelemahan tatanan demokrasi dengan mendorong pola dinasti dalam sistem politik. Dampak negatifnya semakin berkurangnya penyerapan aspirasi rakyat, pengawasan sistem, dan ketidakmampuan menciptakan keseimbangan antara lembaga-lembaga negara.

Bagi saya, demokrasi yang ideal seharusnya memastikan ruang aspirasi rakyat dalam proses politik sesuai dengan konstitusi. Sayangnya adanya praktik dinasti politik telah menjadi penghambat bagi partisipasi masyarakat dan merusak esensi demokrasi yang seharusnya berfokus pada kepentingan rakyat. Mekanisme pendelegasian dan kandidat yang seringkali didasarkan pada keinginan elit, bukan pada rekam jejak dan integritas calon, semakin menguatkan fenomena ini.

Perlunya Pembatasan Politik Kekerabatan 

Praktik politik kekerabatan dalam pemilihan umum akan memberikan dampak buruk bagi pembangunan sistem politik pemerintahan kedepan. Hal ini disebabkan karena peluang setiap warga negara untuk berpartisipasi menjadi sangat terbatas, karena cenderung dimonopoli oleh penguasa dan kerabatnya. Menurut Roy C Macridis ada sejumlah persyaratan untuk mewujudkan pemilu yang demokratis antara lain yaitu :

Pertama, Ada pengakuan terhadap hak pilih universal. Kedua, Ada keleluasaan untuk membentuk tempat penampungan aspirasi masyarakat yang beragam. Ketiga, Tersedia mekanisme rekruitmen politik bagi calon–calon yang demokratis. 

Keempat, Ada kebebasan pemilih untuk mendiskusikan dan menentukan pilihan. Kelima, Ada keleluasaan bagi setiap kontestan untuk bersaing secara sehat. 

Adanya komite atau panitia pemilihan yang independen. Keenam, Penghitungan suara yang jujur. Ketujuh, Birokrasi yang netral. 

Esensi demokrasi yang sejatinya melahirkan nilai kesetaraan dan adanya keleluasaan bagi setiap kontestan untuk bersaing secara sehat pada kontestasi pemilihan umum menjadi terhambat karena tidak terjadi sirkulasi yang baik dan seimbang. Melihat dampak dinasti politik dalam pemilihan umum yang sedemikian rupa, maka adanya pengaturan pembatasan hak politik kekerabatan menjadi suatu hal yang mendesak untuk segera dilakukan.

Ada beberapa alasan mendesak untuk mengatur pembatasan tersebut. Pertama, langkah ini penting untuk mencegah monopoli kekuasaan, sehingga pembatasan hak politik kekerabatan dapat mencegah akumulasi kekuasaan yang terpusat pada satu keluarga tetapi dibagi secara lebih merata di antara berbagai kelompok yang ada. 

Kedua, pembatasan ini diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, mengingat adanya dinasti politik dalam pemilihan umum dapat membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan oleh kerabat yang dalam waktu yang bersamaan sedang berkuasa. Adanya pengaturan ini juga untuk memastikan lembaga–lembaga negara dapat tetap menjalankan fungsinya secara lebih bijak berdasarkan undang–undang. 

Ketiga, Mendorong persaingan yang sehat. Salah satu ciri pemilu yang demokratis adalah dengan adanya pemilihan umum yang kompetitif dalam arti membuka peluang bagi calon yang berada di luar lingkungan keluarga untuk ikut berkontestasi. Sehingga kontestasi yang terjadi adalah perdebatan substansial mengenai ide–ide dan program–program yang ditawarkan. 

Keempat, langkah ini dapat membangun kepercayaan publik terhadap sistem politik dengan menghindari persepsi bahwa politik hanya tentang kekuasaan semata. Dengan adanya pembatasan hak politik kekerabatan, masyarakat cenderung lebih mendukung sistem politik yang memberikan kesetaraan bagi semua warga negara dan menghindari ketidakadilan yang mungkin muncul.

Melihat urgensi yang demikian, pengaturan pembatasan hak politik kekerabatan menjadi suatu hal yang penting untuk menjaga integritas dan keadilan dalam pemilihan umum. Namun juga perlu diatur secara bijaksana dengan memperhatikan faktor kebebasan berpolitik.

Kerangka Aturan Pembatasan  

Aturan mengenai dinasti politik atau pembatasan hak politik kekerabatan sejatinya pernah diatur dalam Pasal 7 huruf r Undang-undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, dalam pasal a quo menyatakan “warga negara Indonesia yang dapat menjadi calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut : 

r. tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” dalam penjelasan pasal tersebut menyebutkan yang dimaksud “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” yakni tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menanti kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan.”

Namun aturan pembatasan hak politik kekerabatan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dianggap menciderai hak politik warga negara untuk dipilih. Hal yang sebaliknya ternyata pembatasan hak politik warga negara pernah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 yang pada pokoknya putusan tersebut mengatur pembatasan hak politik mantan narapidana korupsi. 

Pembatasan terhadap mantan narapidana korupsi ini dinilai untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (good governance). Sejalan dengan itu, pada dasarnya aturan dinasti politik dengan melakukan pembatasan hak politik kekerabatan juga sejalan dengan upaya pencegahan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (good governance).

Oleh karenanya sebenarnya bisa saja dilakukan pembatasan terhadap hak politik warga negara selama pembatasan tersebut diatur dalam undang–undang atau yang sejajarnya. Hal tersebut selaras dengan Pasal 28 J ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi : dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. 

Terlebih lagi hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan pada dasarnya termasuk hak yang dapat dikurangi (derogable rights) karena tidak termasuk hak-hak yang diakui secara tegas sebagai hak yang tidak dapat dikurangi (non derogable rights). 

Praktik partai politik yang cenderung bersifat famili, pencalonan yang tidak kompetitif dan adil, serta peningkatan kasus korupsi menciptakan suasana yang penuh dengan ketidakadilan. Ketidakadilan ini dapat menghasilkan perlakuan yang tidak sebanding dalam pengakuan, pemberian hak yang setara, atau pelaksanaan hak-hak lainnya. 

Dalam konteks ini, pembatasan hak politik menjadi penting agar setiap individu memiliki peluang yang setara dalam pemerintahan. Oleh karena itu, tindakan preventif berupa pembatasan diperlukan untuk mengatasi masalah ini dan mengembalikan esensi demokrasi yang seharusnya adil dan setara bagi semua warga negara. Lebih baik mencegah dari pada mengobati.

Pengaturan setingkat Undang-Undang merupakan sebuah jawaban terhadap konsep pembatasan hak politik kekerabatan dalam pemilihan umum di Indonesia. Dengan adanya pengaturan ini menunjukan keberpihakan kita terhadap sistem demokrasi yang esensial. 

Dengan demikian saya menghimbau kepada pembentuk Undang–undang untuk melihat fenomena dinasti politik ini secara lebih serius dengan membuat peraturan setingkat Undang–undang untuk membatasi hak politik yang berbasis kekerabatan.

***

*) Oleh : Muhammad Hanif Mahsabihul Ardhi, Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES