
TIMESINDONESIA, SIDOARJO – Tahun 2023 sekitar 273 juta manusia itu hidup di negara Indonesia dengan 52 juta siswa, 3 juta guru dan 217.000 sekolah. Indonesia sudah menjadi negara dengan sistem pendidikan terbesar ke 4 di dunia, di bawah India, China dan Amerika. Tapi apakah ukuran yang super besar ini berbanding lurus dengan kualitasnya?
Untuk menjawab ini mari kita lihat data dari worldtop20.org dimana situs ini merupakan yang kerap membagikan peringkat pendidikan dari berbagai negara. Salah satu programnya adalah World Top 20 Education Poll. Melansir situs worldtop20.org, World Top 20 Education Poll rutin melakukan survei terkait peringkat 20 sistem pendidikan terbaik di dunia dari 209 negara.
Advertisement
Adapun peringkat tersebut berdasarkan lima tingkat pendidikan, yakni tingkat pendaftaran sekolah anak usia dini, tingkat penyelesaian Sekolah Dasar, tingkat penyelesaian Sekolah Menengah, tingkat kelulusan SMA, dan tingkat kelulusan Perguruan Tinggi. Selain itu, nilai Matematika, Sains, dan kemampuan membaca di tingkat dasar serta menengah pun menjadi penilaian utama.
Data statistik yang dikumpulkan berasal dari 6 organisasi internasional. Organisasi itu adalah OECD, PISA, UNESOC, EIU, TIMSS, PIRLS. Polling ini diadakan oleh organisasi nirlaba di bidang pendidikan, yakni New Jersey Minority Educational Development (NJ MED). Lalu, hasilnya akan dipublikasikan melalui situs worldtop20.org. Selain peringkat 20 teratas, situs ini sering juga mengurutkan peringkat pendidikan di dunia.
Di tahun 2023 ini, worldtop20.org kembali mengurutkan peringkat pendidikan di dunia. Terdapat 203 negara yang tercantum dalam pemeringkatan tersebut. Di posisi pertama ada Denmark, lalu disusul oleh Korea Selatan di posisi kedua, dan Netherlands di peringkat ketiga.
Sementara itu, Indonesia ada di urutan ke 67 dari 203 negara.
Urutan Indonesia berdampingan dengan Albania di posisi ke 66 dan Serbia di peringkat ke 68. Peringkat tersebut berdasarkan lima tingkat pendidikan. Inilah rincian persentase lima tingkat pendidikan di Indonesia.
Pertama, Tingkat pendaftaran sekolah anak usia dini, 68 persen. Kedua, Tingkat penyelesaian Sekolah Dasar, 100 persen. Ketiga, Tingkat penyelesaian Sekolah Menengah, 91.19 persen. Keempat, Tingkat kelulusan SMA, 78 persen. Kelima, Tingkat kelulusan Perguruan Tinggi, 19 persen.
Pertanyaannya, Kenapa bisa Indonesia diperingkat 67? Padahal termasuk sistem pendidikan terbesar ke 4. Apa ada yang salah dari pendidikan di Indonesia? Kalau ada yang salah bagaimana kita bisa memperbaiki kondisi ini? Mari kita bersama-sama merenungi beberapa catatan terkait kondisi pendidikan di Indonesia saat ini dan beberapa rekomendasi yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia.
Membicarakan soal pendidikan, Presiden Jokowi sebetulnya sudah menganggarkan 549,5 Triliun Rupiah untuk sektor pendidikan, tapi bagaimana penerapan ataupun alurnya, ternyata kontribusi sektor pendidikan kepada Gross Domestic Product (GDP) kita itu masih rendah sekitar 3,8% dan ini di bawah rata-rata negara di Asia Pasifik yang mana 4,6%. Jadi pendidikan Indonesia kalau dilihat dari anggaran besar akan tetapi kontribusi dan impact-nya ternyata relatif rendah.
Kelebihan dari sistem pendidikan Indonesia salah satunya berfokus pada mata pelajaran inti, jadi meskipun banyak orang yang berpendapat kalau Indonesia itu terlalu generalis banyak sekali pelajarannya atau kurang fokus tapi ternyata sistem seperti ini bisa membantu membangun fondasi dan pengetahuan yang solid. Jangan heran kalua di Indonesia lebih banyak generalis daripada spesialis.
Kedua, sistem pendidikan yang bersandar Nasional artinya satu kurikulum dan kurikulumnya terstandar dari pemerintah, ini akan membatu para siswa/i dari Sabang sampai Merauke lebih konsisten terhadap kualitasnya meskipun pada implementasinya banyak sekolah yang tidak berimbang.
Ketiga, terintegrasi dengan nilai-nilai nasionalisme seperti kegiatan upacara rutin juga mata pelajaran PPKN dan sejarah kebudayaan Indonesia dipelajari, ini adalah bukti sistem pendidikan kita yang terintegrasi dengan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme, dan ini menjadi nilai lebih, Kenapa? karena para siswa/i jadi lebih bisa mengerti dan bisa mengapresiasi sejarah dan kebudayaan negaranya sendiri.
Sedangkan untuk masukan atau mungkin bisa dibilang “kekurangan” dari kurikulum pendidikan di Indonesia salah satunya adalah kurikulum Indonesia itu cenderung tidak relevan dengan kebutuhan masa kini, ini sudah banyak sekali beritanya, banyak sekali yang membahas, banyak yang bilang kurikulum kita ketinggalan zaman, kurang mampu mempersiapkan para siswa/i untuk bersaing baik di dunia industri maupun dunia usaha, yang berdampak pada tenaga kerja kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing atau belum punya skill yang dibutuhkan, pengangguran banyak tapi ketika perusahaan mencari orang susah.
Kedua, Kurangnya wadah atau program untuk melatih critical thinking. Jadi murid-muridnya itu tidak sering bertanya, lebih dominan mencatat dan menghafal dan terkadang juga malah dimarahin kalau bertanya.
Ketiga, Ruang yang relatif sempit untuk mengekspor minat para siswa/i, ini menarik untuk dibahas, kenapa? karena disini membicarakan soal salah jurusan, bahkan ada statistik yang bilang 87% orang Indonesia itu salah jurusan. Bisa jadi karena ketidak pahaman orang kepada jurusan, karena minatnya tidak dilatih sejak dari dini dan pendidikan kita lebih fokus terhadap pelajaran inti seperti matematika, science, dan bahasa.
Itu ada di kurikulum para siswa/i. Semua belajar dari jam 07.00 sampai jam 12.00 bahkan ada yang jam 03.00 ada lagi yang ditambahi pekerjaan rumah (PR) pada akhirnya tidak ada waktu yang banyak untuk mengeksplorasi minat para siswa/i, dengan segala kelebihan dan kekurangan ini bagaimana kiranya pendidikan Indonesia kedepan? dan akan seperti apa?.
Indonesia emas 2045, Indonesia emas 2045 adalah istilah yang digunakan untuk menandai negara kita yang berusia 100 tahun, dimana banyak yang berharap di 100 tahun itu Indonesia seharusnya sudah bertransformasi menjadi negara maju, yang menjadi menarik atau spesial jawabannya adalah bonus demografi. Jadi masalah kuantitas penduduk ini adalah momen dimana terjadi pertumbuhan ekonomi yang signifikan karena penduduk usia dewasa produktif itu jauh lebih banyak daripada yang masih kecil ataupun yang sudah tua.
Kenapa kuantitas jadi penting sekali? karena semakin banyak usia produktif semakin banyak tenaga kerja, semakin banyak tenaga kerja semakin banyak produktivitas dan potensi keuangan semakin besar, ekonomi meningkat, bisnis semakin banyak, pekerja semakin banyak dan lain sebagainya, dan ini menjadi menarik lagi karena kelebihan kita cuma kuantitas saja.
Data yang banyak beredar tentang angka kehamilan yang tinggi di pandemi 2021 itu memperkirakan ada 420.000 bayi yang baru lahir jadi sangat banyak. Sementara itu, negara-negara maju malah berkurang selain tidak mau menikah juga sedang marak Child free di luar negeri. Bahkan Jepang akan kehilangan 16% penduduknya di tahun 2020 sampai 2030, jadi ini sangat amat menjanjikan.
Meskipun soal kuantitas tapi kalau negara kita tidak siap kualitasnya yang terjadi adalah Indonesia akan kesulitan menciptakan lapangan kerja. Kalau Sumber Daya Manusia (SDM) kurang mumpuni, seperti semuanya pekerja kasar, semuanya pekerja yang semua orang bisa melakukan, itu nantinya pekerja akan semakin murah, bakal semakin tidak berkualitas dan mungkin malah sering terjadi pertikaian satu sama lain, demi mendapatkan pekerjaan yang sebenarnya gajinya tidak sebesar, potensi negative itu akan terjadi kalau misalnya kualitas pendidikan dan kualitas demografi orang Indonesia itu tidak ditingkatkan.
Terus bagaimana caranya supaya Indonesia siap menghadapi bonus demografi, mulai dari kebijakan yang selaras infrastruktur dan yang paling penting adalah pendidikan. Pertanyaannya pendidikan kita sudah siap apa belum untuk menyambut bonus demografi?
Untuk menjawab itu mari kita lihat data-data berikut ini, partisipasi penduduk pada pendidikan dari data yang ada secara umum 95% penduduk Indonesia itu lulus dari SD 5% nya tidak lulus, 75% lulus dari SMP atau SMA 25% nya kemana? Memang sudah cukup baik, tapi masih butuh lebih tinggi lagi dan sebetulnya salah satu faktor yang menentukan seberapa tinggi kualitas SDM di suatu negara adalah yang lulus dari S1 yang sudah pernah kuliah. Istilah pendidikannya adalah net enrollment rate in tertiary education, di Asia Pasifik 27%.
Sementara North America itu 71%, jadi bisa dilihat kenapa negara barat cenderung lebih maju, sedangkan Indonesia bagaimana? jangankan rata-rata Global rata-rata Asia saja Indonesia belum sampai, di tahun 2018 Indonesia cuma 20% orang yang kuliah, kalah sama negara Malaysia yang angka rata–ratanya untuk 35%, perbandingan yang lain dengan negara yang penduduknya banyak seperti India atau China, di India 22% dan China 45%. Jadi tidak menjadi alasan Indonesia tetap harus di improve.
Kuliah mungkin tidak menjamin kesuksesan tapi tentunya banyak profesi yang mengharuskan untuk kuliah, yang kedua adalah kualitas guru, kualitas guru juga masih sangat rendah, sebenarnya guru kita tuh udah banyak secara kuantitas rasio guru yang ideal kalau kata Peraturan Pemerintah tuh satu guru memegang 20 murid atau satu guru memegang 15 murid sebenarnya kita sudah ada di angka yang ideal tapi kualitasnya itu tidak sebaik kuantitas dari gurunya itu sendiri.
Performa guru kita itu secara rata-rata di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) jadi cuma 66,94. Jadi ini masih di bawah standar ideal yaitu nilainya 80. Intinya kita punya banyak guru tapi apakah semua guru itu berkualitas? Yang jelas ada yang kualitasnya di bawah ada juga yang berkualitas di atas rata-rata, terus apa jalan keluarnya?
Mungkin untuk menjawab itu ada 3 poin yang harus diperhatikan pertama kita bisa meningkatkan APBN, mungkin anggaran Pendidikan Nasional sudah besar tapi bisa jadi penyerapannya belum sebesar itu, atau pengalokasian dana pendidikan yang kurang tepat ataupun banyak oknum yang berpotensi korupsi, tingkatkan anggaran untuk guru, tidak bisa mungkin cuma dua kali training, kerena jadi guru jauh lebih ketat karena memang butuh pelatihan yang lebih intensif.
Oleh karena itu, perlu anggaran yang lebih besar, bukan cuma untuk kualitas. Tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraannya. Mungkin sekarang kualitasnya masih rendah tapi semoga nanti kualitasnya bisa lebih tinggi gajinya juga bisa lebih tinggi, yang menjadi motivasi dan bisa meningkatkan fasilitas dan kompensasi buat guru, disisi lain guru juga bebani untuk membuat laporan administrasi maupun aplikasi yang sangat banyak dan bisa dibilang “ribet” terkadang sampai menomorduakan tugas utama yaitu mendidik.
Belum lagi membicarakan perbandingan kesejahteraaan Guru Negeri dan Guru Swasta yang mana mempunyai tugas yang sama yaitu mencerdaskan anak bangsa tetapi seakan perlakuannya berbeda dan seperti masih ada dikotomi antara guru negeri dan guru swasta. Selanjutnya, tingkatkan kualitas model kegiatan, belajar dan mengajar banyak peneliti dan pengamat pendidikan yang bilang Indonesia itu sudah bergonta-ganti kurikulum tapi belum bisa ada hasil yang signifikan karena implementasinya belum maksimal dan merata.
Penyelarasan kurikulum juga harus meletakkan dengan kebutuhan zaman, sekarang saja tugas-tugas seperti membuat essay berhitung, itu bisa sudah tidak relevan karena apa? sekarang sudah ada Artificial Intelligence (AI) seperti Chat GPT, chat GPT ini bisa bikin 1000 kata essay dalam waktu 1 menit, chat GPT ini bisa menyelesaikan matematika yang rumit dalam hitungan detik, dan ibaratnya kalau udah ada AI buat apa lagi kita harus belajar menghitung, selain karena logikanya, mending kita belajar menguasai critical thinking dan problem solving yang baik.
Para siswa/i itu harus juga diajarin tentang perkembangan zaman, begitu pula gurunya, karena di dunia kerja kita juga akan menggunakan tekhnologi AI itu, kalau dipikir-pikir dulu pekerja kasar yang bakal dihilangkan oleh robot, kemarin juga sempat ramai tentang Non-Fungible Token (NFT) yang katanya bakal bikin artis atau desainer jadi lebih sejahtera, akan tetapi buktinya sekarang designer pekerjaannya bisa hancur, karena banyak yang di layoff dari pekerjaannya.
Harapannya jelas yaitu pendidikan Indonesia ke depan bisa lebih inklusif dan lebih mudah untuk diakses oleh semua anak Indonesia terlepas dari latar belakangnya. Karena Education For All, dan tidak ada lagi dikotomi baik Pendidikan Negeri maupun Pendidikan Swasta.
***
*) Oleh: Mochammad Fuad Nadjib, Kepala SMA Islam Sidoarjo; Ketua PC PERGUNU Kabupaten Sidoarjo.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |