
TIMESINDONESIA, MALANG – Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem tentang pemahaman negara hukum. Dimana makna tersebut menjelaskan tentang menjadi negara yang baik dan ideal bagi Masyarakat dan Warga Negara dijelaskan dalam pasal 1 ayat 3 dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Negara hukum menurut Aristoteles adalah untuk mencapai kehidupan yang paling baik (the best life possible) yang dapat dicapai dengan supremasi hukum. Hukum adalah wujud kebijaksanaan kolektif warga negara (collective wisdom), sehingga peran warga negara diperlukan dalam pembentukannya.
Advertisement
Perkembangan hukum di berbagai negara mengarahkan kepada pemimpin atau penguasa negara menggunakan supremasi hukum sebagai perlindungan dan “pemahaman keamanan” yang diibaratkan sebagai hukum atau aturan dapat menjaga persatuan dan kesatuan serta kedamaian di dalam negeri. Hal ini menjadi sangat menarik dengan melihat fenomena kasus akhir-akhir ini di Indonesia, dimana membuat masyarakat bingung dan aneh dalam memahami hukum yang ada.
Pemahaman Hukum Progresif
Hukum progresif muncul dari pendapat seorang guru besar ilmu hukum dari Universitas Diponegoro (Satjipto Rahardjo) beliau berpendapat bahwa hukum itu seharusnya dibentuk untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Dari pandangan beliau tersebut memunculkan niat dari pemerintah membuat hukum yang baik, jujur, dan sesuai dengan keadilan yang nyata, hukum progresif memahami konsep keadilan sebagai hukum yang benar-benar memperhatikan sumber-sumber hukum yang baru untuk tercapainya keadilan.
Jika menelaah terhadap konsep hukum progresif terlihat jelas konsep hukum ini menyesuaikan cara pandang para Founding Father saat merancang Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dalam pasal 27 ayat 1 yang menyatakan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Hal ini menjadi fenomena yang tidak sesuai di Indonesia dikarenakan terdapat beberapa kasus yang tidak menjalankan makna pasal 27 ayat 1 dalam praktik yang diterapkan dalam kehidupan nyata di Indonesia, seperti kasus-kasus yang menyangkut kepada orang yang “memiliki” kekuasaan dan pengaruh.
Hal ini seharusnya menjadi sebuah tamparan kepada pemerintah terutama para penegak hukum untuk serius memberikan gambaran bahwa pasal 27 ayat 1 yang menyatakan “ segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” itu nyata dan dapat dirasakan seluruh lapisan masyarakat yang ada di Indonesia.
Hukum progresif sendiri pertama kali dikemukakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo dengan harapan agar dikemudian hari hukum itu berkualitas sebagai ilmu yang senantiasa mengalami pembentukan, legal science is always in the making. Hukum progresif adalah gerakan pembebasan karena ia bersifat cair dan senantiasa gelisah melakukan pencarian dari satu kebenaran ke kebenaran selanjutnya.
Hal inilah yang diharapkan bahwa penegakan hukum dapat berlaku adil dan sesuai dengan kasus yang ada. Sehingga rasa keadilan yang dimaknai dalam pasal 27 ayat 1 dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Pemahaman Hukum Humanis
Berbicara Hukum Humanis tidak luput dari berbicara masalah Hak Asasi Manusia (Kemanusian), Hukum Humanis sendiri merupakan sebuah perumpamaan dari kebijakan yang dilakukan oleh para penegak hukum di Indonesia untuk mengupayakan suatu bentuk keadilan kepada masyarakat yang terjerat masalah hukum. Salah satu produk dari konsep hukum humanis adalah Restorasi Justice, keadilan restoratif memiliki arti bahwa dalam proses tersebut melibatkan semua pihak terkait, memperhatikan kebutuhan korban, ada pengakuan tentang kerugian dan kekerasan, reintegrasi dari pihak-pihak terkait ke dalam masyarakat, dan memotivasi serta mendorong para pelaku untuk mengambil tanggung jawab.
Artinya ada upaya untuk mengembalikan pengertian tentang keadilan kembali seperti saat sebelum terjadinya tindak kejahatan. Restorasi Justice dari kata to restore, memulihkan kembali rasa keadilan seperti sebelum terjadi tindakan kriminal tersebut.
Permasalahan dari penerapan hukum humanis adalah terkadang suatu kejahatan yang dialami oleh lapisan masyarakat dipahami secara berbeda oleh penegak hukum. Contoh adalah kasus yang dilakukan oleh kalangan masyarakat biasa atau kejahatan yang dapat dikatakan klasifikasi Blue Collar Crime dengan kasus yang dilakukan oleh lapisan kalangan Masyarakat kelas atas yang dapat diklasifikasikan sebagai White Collar Crime.
Terkadang kalangan Blue Collar Crime mendapat sisi penegakan hukum yang berbeda daripada kalangan White Collar Crime. Hal tersebut dapat kita pahami dan terjemahkan kejahatan yang dilakukan oleh kalangan Blue Collar Crime tidak selalu identik sebuah kesengajaan, keresahan, dan kebengisan dapat juga karena terpaksa oleh keadaan dan dipaksa oleh sebuah keharusan.
Contoh di PHK saat pandemi dan menjadi pengangguran dan harus dituntut untuk menafkahi. Berbeda dengan kebanyakan kejahatan yang dilakukan oleh lapisan White Collar Crime dalam kejahatan yang mereka lakukan, dari tahap penyusunan dan rencana yang dibuat terkonsep dengan baik dan rapi.
Perihal terkait dengan permasalahan diatas alangkah baiknya konsep hukum humanis dan hukum progresif diperdalam di dunia pendidikan ilmu hukum. Agar kelak dapat mencetak bibit-bibit penegak hukum yang cakap dengan pemahaman hukum progresif dan humanis, dan tidak ada lagi menggunakan hukum yang saat ini dipahami sebagai warisan “Kolonial Belanda.”
Diberlakukan mulai dikikis sedikit demi sedikit, agar hukum yang berlaku di Indonesia disesuaikan dengan budaya Indonesia (hukum yang mengacu kepada sisi kemanusian dalam mengambil suatu putusan). Sehingga memenuhi rasa keadilan yang manusiawi sesuai dengan makna dari pasal 27 ayat 1 dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Terkait kedua makna hukum tersebut, keduanya sangat baik dan sesuai dengan perkembangan zaman dan perilaku masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penerapan kedua makna hukum ini lebih sering digunakan dalam praktek, penerapan, dan penegakannya agar tidak terkesan bahwa hukum (keadilan) hanya dapat dirasakan oleh kalangan “Berada” dan jangan sampai terjadi sebuah kenyataan bahwa penyelesaian masalah adalah jalur hukum (persidangan) semata.
Jika menganut dari teori the rule of law atau rechtsstaat atau demokrasi atau negara hukum yang dipelopori oleh A.V. Dicey merupakan sebuah konsep penyelenggaraan negara yang didasarkan atas hukum. Setiap tindakan penyelenggara negara mesti didasarkan atas hukum yang berlaku. Dalam arti, apapun yang hendak dilakukan dalam konteks penyelenggaraan negara mesti didasarkan atas aturan main (rule of the game) yang ditentukan dan ditetapkan bersama. Hal ini sebuah kebenaran dan kewajiban yang harus dijadikan pedoman.
Akan tetapi, kembali ke makna humanis dan progresif yang memiliki “sisi kebaikan” dari norma hukum yang mengikat dan memaksa seseorang untuk patuh. Semoga kedepan tidak ada kembali konsep penegakan hukum yang sedikit-sedikit pidana dalam proses penegakkan hukum bagi seluruh kalangan masyarakat.
***
*) Oleh : I.G. Ngurah Oka Putra Setiawan, S.H., M.H, Pengajar Universitas Terbuka UPBJJ, Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |