Refleksi Hari Guru dan Etika Menghormati Jasanya

TIMESINDONESIA, MALANG – Kita semua tahu bahwa hari ini adalah hari besar bagi seluruh guru di republik ini. Tepatnya tanggal 25 November selalu diperingati sebagai Hari Guru Nasional.
Tanpa menafikan peran guru sebagai penghasil generasi penerus bangsa dan pahlawan tanpa tanda jasa, festival ini mengajukan pertanyaan. Kapan Hari Guru ada? Mengapa demikian? Dan apa latar belakang sejarahnya?
Advertisement
Pada kesempatan kali ini penulis ingin memberikan sedikit informasi mengenai Hari Guru Nasional yang telah rutin kita rayakan selama 29 tahun ini. Lebih khusus lagi, pada tahun 1994, presiden saat itu, Bapak Suharto, mengeluarkan Perintah Eksekutif Nomor 78 Tahun 1994 pada Hari Guru Nasional.
Oleh karena itu, hingga saat ini tanggal 25 November setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Berdasarkan ketentuan tersebut, pemerintah berupaya untuk mendorong masyarakat Indonesia untuk lebih memperhatikan guru. Karena guru merupakan orang yang paling berjasa dalam kehidupan bernegara setelah orang tua, dan disebut sebagai orang tua kedua setelah ayah dan ibu.
Guru memang disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Namun mengapa hal tersebut tidak terjadi padahal sebenarnya mereka banyak berbuat untuk meningkatkan kecerdasan anak-anak di negeri ini?
Tanpa jasa guru yang mengajari kita membaca dan menulis. Kita tidak akan pernah bisa menulis atau membaca opini ini, dan masih banyak lagi jasa-jasa guru yang perlu ribuan halaman jika kita uraikan dalam bentuk tulisan.
Selain keputusan presiden, latar belakang sebenarnya Hari Guru adalah berdirinya Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB), yang kemudian berubah nama menjadi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada tahun 1912. Dengan terbentuknya serikat ini, akhirnya bermunculan organisasi lain, seperti Persatuan Guru Desa dan Persatuan Sekolah Biasa.
Namun saat ini sangat menyedihkan melihat etika siswa terhadap gurunya. Bahkan ketika seorang guru lewat, siswa mungkin tidak menunjukkan rasa hormat yang seharusnya mereka berikan kepada guru. Ada siswa yang mungkin menolak ketika ditegur oleh guru, namun kenyataannya guru mendidiknya agar mereka menyadari bahwa apa yang dilakukannya salah, dan agar hal serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari.
Dalam beberapa kasus, guru dilaporkan ke polisi dan bahkan dipenjara karena metode pengajaran mereka yang agak kasar. Tidak hanya itu, guru juga jauh dari kata sejahtera dalam hal kesejahteraan finansial.
Beberapa guru yang bekerja sebagai sopwan di beberapa daerah terpencil di negara ini berpenghasilan kurang dari 1 juta per bulan. Nilai tersebut tidak sebanding dengan pengorbanan dan jasa-jasanya.
Oleh karena itu, besar harapan kita semoga di Hari Guru Nasional ini dapat menggugah kita untuk lebih berterimakasih kepada para guru kita. Khususnya yang telah mendidik kita dan menjadikan kita seperti sekarang ini. Penulis juga menghimbau seluruh elemen masyarakat Indonesia dan pemerintah melalui surat terbuka untuk lebih memperhatikan kesehatan guru.
***
*) Oleh: Jakfar Shodiq, Peneliti di Lembaga Research Gawa Lelaku, Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |