
TIMESINDONESIA, SUMATERA – Setelah 7 tahun, kasus kopi sianida yang menyeret Jessica Kumala Wongso dipenjara selama 20 tahun kembali menyeruak. Film Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso yang disutradarai Rob Sixsmith adalah pangkalnya.
Kasus kopi sianida bermula dari kongko 3 orang teman, dua di antaranya Jessica dan Wayan Mirna Salihin, pada 6 Januari 2016 di Kafe Olivier. Pada hari naas itu, Jessica yang pertama tiba berinisiatif memesan es kopi Vietnam dan dua cocktail. Kejadian berikutnya adalah nasib buruk. Mirna yang tewas setelah meminum es kopi Vietnam dan Jessica yang ternyata diputus bersalah oleh pengadilan atas pembunuhan berencana.
Advertisement
Gagapnya Penegakan Hukum
Era digital ditandai tingginya aksesibilitas informasi dan keleluasaan masyarakat untuk memberi tanggapan secara langsung. Perilaku itu berkaitan erat dengan prinsip kecepatan, atau dromologi, yang menuntun masyarakat untuk menjadi yang tercepat memberi respon. Fenomena ini digawangi beragam sumber, media sosial dan sinematik misalnya, dimana keduanya merupakan mata air budaya pop.
Jumlah besar pengguna media sosial sejatinya memiliki dua sisi paradoks bila dihadapkan dengan kasus-kasus hukum. Di satu sisi media sosial memainkan peran besar untuk memantik pengungkapan kasus-kasus hukum, sebutlah misalnya kasus kematian Brigadir Joshua yang semula dibaluti narasi baku tembak untuk menutupi konspirasi pembunuhan yang didalangi Sambo.
Juga kasus penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy, dimana pengguna media sosial secara genit mengulas gaya hidup mewahnya hingga berujung pada terbongkarnya kasus pencucian uang oleh ayah Mario, Rafael Alun, yang kala itu menjabat di Ditjen Pajak.
Sinematika melalui pemberitaan di televisi juga memainkan peran penting pada dua kasus itu, dan di tengahnya masyarakat disuguhkan informasi untuk kemudian saling berspekulasi. Tontonan menjadi tuntutan, tuntutan menjadi tontonan. Sedangkan sistem penegakan hukum, dengan polisi, jaksa dan hakim di dalamnya, kerap terombang-ambing mengikuti arus. Di tengah pola inilah kasus kopi sianida berada, baik itu di tahun 2016 maupun ketika film dokumenter karya Sixsmith dinikmati publik.
Kuatnya atensi publik di tahun 2016 terlihat dari ramainya pemberitaan dan ragam komentar di media sosial yang berlomba menyuguhkan beragam teori. Terlepas dari kemungkinan judicial corruption, opini publik yang terjalin berkelindan telah berhasil mengurung jaksa dalam paradigma yang menempatkan Jessica sebagai pembunuh, terlepas dari tidak adanya bukti konkret.
Tekanan ini mengakibatkan jaksa berada pada posisi persaingan yang tajam dengan kuasa hukum untuk berlomba memenangkan perkara, bukan berupaya mencapai kebenaran untuk menghasilkan keadilan substansial. Hal itu terlihat dari kerangka berpikir jaksa yang menilai ada pertaruhan institusi kejaksaan seandainya Jessica dinyatakan bebas. Artinya, jaksa sejak semula tak hendak menegakkan keadilan namun mencari siapa yang harus diadili untuk memuaskan dahaga publik.
Kian menarik bila pola penegakan hukum dalam hubungannya dengan budaya pop dibandingkan dengan kasus-kasus lain yang erat berkaitan dengan kepentingan politik, misalnya kasus kejahatan HAM atau kasus Rempang. Pada jenis kasus ini media sosial dan sinematik juga secara kompleks berupaya menarasikan bagaimana ganasnya negara mengayunkan lengan kekuasaan, namun penegakan hukum justru mengabaikannya.
Artinya, pola penegakan hukum di satu sisi seolah menunjukkan adanya tendensi ke arah selera opini publik terhadap kasus-kasus hukum yang bernuansa pop, sementara di sisi lain pola penegakan hukum mengabaikan tekanan publik pada kasus-kasus yang kental dengan nuansa kepentingan politik.
2016 menjadi tahun dimana jaksa dan hakim benar-benar terjebak dalam opini publik di tengah budaya pop yang mendakwa Jessica bersalah di tengah kenyataan banyaknya kejanggalan. Misalnya penyebab kematian Mirna, tidak dilakukannya otopsi, dihapusnya rekaman CCTV ketika polisi membawa kopi yang diminum Mirna dan masih banyak lagi.
Pada akhirnya Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso berhasil membalikkan persepsi publik mayoritas sekaligus membenarkan pengamatan Robert P. Burns dalam bukunya A Theory of the Trials (1999); ”Justified” or perhaps “correct,” but never quite “true”.
***
*) Oleh : Ilhamdi Putra (Pengajar Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Manajer Riset LBH Pers Padang)
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |