
TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Gara-gara gerah menyaksikan baliho. Bergambar salah satu ketua umum partai. Menstimulasi gadis cantik asal Subang. Membikin video. Berisi protes terhadap pemasangan baliho tersebut.
Dalam video yang diunggah di media sosial. Gadis cantik meresahkan adanya baliho berdampak mengganggu keindahan. Lebih memperihatinkan lagi. Baliho yang jumlahnya amat banyak. Tak ber pajak. Realitas ini membuat gadis cantik gusar yang ditunjukkan pada bagian akhir video. Dirinya bilang: “kami muak.”
Advertisement
Sontak. Gadis cantik mengatakan “kami muak” di medsos. Mendadak viral. Menggegerkan dunia maya. Perhatian publik tertuju pada gadis cantik. Barangkali bisa disebabkan karena kritikan mengenai penempatan ratusan baliho di Subang menggunakan foto putera dari orang paling berkuasa di negeri ini.
Masih bisa ditambahkan lagi membuat video semakin viral. Model terpampang di baliho. Merupakan sosok menimbulkan kontroversi di arena politik. Kontroversi terjadi karena memproses sebagai orang nomer satu di partai dengan cara instant. Hanya selang dua hari menjadi anggota partai. Dia diangkat sebagai ketua umum. Proses menempatkan dirinya sebagai ketua umum partai ini dianggap bagian dari praktek politik dinasti.
Daya kritis gadis cantik mengatakan “kami muak” di depan baliho bergambarkan dari putera orang nomer satu. Berhasil merebut perbincangan publik. Kata “kami muak” sampai kini masih trending topik di media sosial. Tagar “kami muak” menghiasi di beragam media sosial. Dalam pemberitaan melalui vlog dan podcast. “Kami muak” sering menjadi perbincangan hangat.
“Kami muak” mampu bertengger pada papan atas percakapan di media sosial. Faktor penyebabnya dapat dipicu karena keberanian gadis cantik menyampaikan kritik menyasar lingkaran istana. Tindakan seperti ini tidak banyak orang mau melakukannya. Masalahnya. Ada resiko yang dihadapi ketika berperilaku kritis pada pucuk pimpinan. Resiko memperoleh teror, ancaman, tekanan serta terjerat undang-undang informasi dan transaksi elektronik.
Mengulik “kami muak” yang menghebohkan jejak digital. Sebenarnya berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) memiliki tiga arti harfiah yaitu pertama, sudah jemu karena sudah kerap kali makan dan sebagainya. Kedua, merasa jijik mau hendak muntah. Ketiga, merasa bosan atau jijik mendengar atau melihat. Bersumber dari terjemahan istilah ini dapat digali lebih mendalam untuk memaknai “kami muak.”
Menganalisis secara luas istilah “kami muak.” Terdapat fenomena begitu cepat menjalar pada ranah publik. Ibarat safana kering. Terkena percikan api. Mudah terbakar dan merambah ke mana-mana. Ke seluruh padang safana.
Sama halnya dengan padang safana kering. Realitas dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara sedang tidak baik-baik saja. Kini banyak masalah yang menghampiri bangsa ini. Begitu banyak masalah menumpuk yang berdimensi keagamaan, budaya, sosial dan politik diibaratkan sudah seperti padang safana kering yang rentan terbakar. Sehingga “kami muak” diumpamakan sebagai api karena disulut oleh kenyataan penuh masalah yang tengah terjadi di masyarakat.
Timbunan masalah terus menggunung dapat berperan sebagai sumber api yang menyebabkan berkobarnya “kami muak.” Muasalnya adalah sering kali dijejali peristiwa negatif secara beruntun yang membuat masyarakat jemu mengalaminya. Seperti masyarakat terhimpit oleh kondisi ekonomi yang semakin memburuk karena kesulitan memperoleh pekerjaan.
Belum usai memikirkan bagaimana mencari peluang pekerjaan yang kian sempit. Beban berat masyarakat ditambahi dengan kenaikan harga kebutuhan pokok semakin meroket, beberapa kali harga bahan bakar minyak mengalami lonjakan dan biaya pendidikan semakin tak terjangkau. Menjulangnya harga konsumsi rumah tangga dan pemenuhan biaya pendidikan mengakibatkan upaya mencukupi kebutuhan keluarga kian berat.
Di tengah masyarakat berjuang amat keras memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Para elit mempertontonkan drama yang seakan melupakan beragam kesulitan yang dialami oleh masyarakat. Melalui drama politik ini dipersepsikan pada elit. Tak memiliki kesungguhan menyelesaikan masalah yang menjerat masyarakat. Mereka hanya memikirkan diri sendiri untuk terus mengisi pundi-pundi ekonomi pribadi dan terus berupaya melanggengkan kekuasaan.
Para elit memang acap kali menjelaskan berbagai sepak terjang saat terjun di politik untuk memperjuangkan kesejahteraan masyarakat. Namun kenyataan yang ada. Secara obyektif. Mereka sedang memperjuangkan diri sendiri. Berupaya menikmati empuknya kursi kekuasaan. Terbukti saat mereka menduduki kursi kekuasaan. Tak pernah beranjak. Berusaha selalu duduk di singgasana kekuasaan. Dampaknya lupa pada nasib masyarakat. Hal ini dapat dilihat ketika mereka menjabat. Hanya kemakmuran mereka sendiri yang bertambah. Masyarakat tetap merasakan susah dalam menjalani kehidupan.
Bukan hanya melupakan nasib rakyat. Kompetisi untuk memperebutkan kekuasaan disuguhkan adegan saling serang antar kelompok elit. Satu kelompok elit berusaha mencari kesalahan dari kelompok elit lain yang berposisi menjadi lawan. Ketika sudah ketemu kelemahan dari lawan politik segera digelar di hadapan masyarakat. Tujuannya supaya lawan jatuh karena tidak mendapat simpati masyarakat.
Kelompok elit yang diserang pun tak tinggal diam. Berusaha dengan cara maksimal untuk membela diri. Bisa saja bikin playing victim. Bahwa sejatinya mereka menjadi korban. Hal lain yang dilakukan adalah mereka mengumpulkan amunisi melakukan serang balik. Saat amunisi memadai yang bisa membuat kelompok elit lain mendapatkan citra buruk. Amunisi itu segera diledakkan dengan harapan nama baik kelompok elit sasaran. Berantakan namanya. Episode saling serang tersebut disuguhkan secara berseri pada khalayak. Dampaknya khalayak. Bosan melihat drama saling hujat yang ditampilkan beruntun.
Meski masyarakat sudah bosan melihat drama yang diperankan oleh aktor politik. Mereka tetap meracik drama yang secara kualitas lebih buruk sehingga menyebabkan masyarakat merasa mual melihatnya.
Repertoar yang disuguhkan jauh dari ideal. Seharusnya pemimpin menjalankan demokrasi secara benar sehingga menghasilkan keadilan, kemakmuran merata dan memberi kesempatan putera terbaik bangsa memperoleh amanah memimpin negeri. Tetapi kisahnya berbanding terbalik. Para elit ternyata berperan sebagai tokoh antagonis dengan mementaskan politik dinasti. Kisahnya adalah raja bikin aturan dengan mengatur lembaga hukum untuk menambah pasal yang membolehkan anaknya menjadi pemimpin masa depan.
Lebih menyedihkan lagi. Raja bersifat diktator. Semaunya sendiri mengeluarkan banyak undang-undang demi kepentingan memperkuat kedudukan sebagai raja. Dia juga bikin ulah. Para punggawa kerajaan dibiarkan berbuat salah.
Kesalahan yang dilakukan oleh punggawa ternyata menjadi sandera agar menuruti perintah raja. Kenyataanya dapat dilihat dari saat punggawa melawan akan dibeberkan kesalahan yang dilakukan dan berakibat masuk penjara. Dalam situasi seperti ini. Punggawa tak bisa melawan. Takut terkena hukuman. Maka pilihannya tunduk perintah dan kemauan raja.
Rasa mual terhadap polah para elit yang tak terkendali itu mengorkestrasi teriakan "kami muak" di berbagai platform media sosial. Dengan begitu “kami muak” jangan dianggap sepele. Perlu melakukan penangan serius untuk meredam paduan suara “kami muak.”
Akibat yang terjadi saat ada pembiaran terhadap “kami muak” yang menggema bertalu-talu. Memicu angin berhembus kencang. Mengipasi bara api perlawanan yang susah untuk dipadamkan nya. Kejadian ini memungkinkan kekuasan yang dibangun dengan cara otoritarian. Bisa ambruk.
***
*) Oleh: Dr. Hadi Suyono, S.Psi., M.Si, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |