
TIMESINDONESIA, MALANG – Term tasawuf dipahami oleh masyarakat modern sebagai jalan hidup yang jauh dari perkara-perkara duniawi. Mendengar kata tasawuf, seketika terbayang rutinitas petapa yang tiap harinya disibukkan dengan tasbih dan sajadah sembari lisannya berbusa oleh kalimat zikir.
Mereka yang memproklamirkan diri sebagai ahli sufi atau mengaku memperdalam tasawuf cenderung acuh tak acuh pada perkara yang dianggap tidak ada kaitannya dengan akhirat. Walhasil, seorang filsuf modern dan guru besar ilmu kalam asal Mesir Prof. Hasan Hanafi menegaskan dalam bukunya al-Turats wa al-Tajdid bahwa tasawuf adalah sebab kemunduran Umat Islam.
Advertisement
Terlepas dari latar belakang Hasan Hanafi yang cukup kontroversial, agaknya pendapat beliau ini perlu mendapatkan atensi khusus dari para pegiat diskursus agama, baik secara teoritis maupun praktikal. Bila melihat realitas di Indonesia, secara umum memang terdapat banyak sekali majelis zikir dan tarekat yang bertebaran dimana-mana.
Kegiatan yang dilakukan di sana pun tak jauh dari kiat-kiat membersihkan hati dan mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan berbagai kajian tasawuf dan ritualnya. Untuk mencapai tujuan itu, maka yang sering digembar-gemborkan para petinggi majelis adalah senantiasa membersihkan diri dari segala urusan dunia.
Nahasnya, upaya pembersihan diri ini sering kali mengesampingkan dimensi sosial dan cenderung bersifat eksklusif. Mereka mampu terjaga semalam suntuk guna mentadaburi semesta sambil melafalkan wirid, tapi lupa keluarganya menunggu di rumah. Keasyikannya dalam "dimensi langit" ini membuat mereka enggan mengikuti isu-isu kekinian di sekitarnya. Seusai majelis, mereka pulang sambil menatap hina orang-orang yang tidak seperti mereka. Sungguh miris, padahal tujuan turunnya agama Islam adalah untuk "membumikan" nilai-nilai kebaikan.
Menghadapi polemik ini, perlu adanya kajian ulang mengenai interpretasi tasawuf serta implementasinya di era modern. Sehingga peran tasawuf dapat kembali diketengahkan di masyarakat. Rekonstruksi ini harus berasaskan pada antroposentrisme ajaran Islam, yang berkonsekuensi pada wajib hadirnya humanisme dalam setiap kegiatan keislaman. Meski nas agama jelas bersifat teosentris dan otoritatif, tapi dalam tataran penafsiran ini adalah dimensi yang harus bersifat dialogis. Artinya, dialektika antar nas, realitas, dan tradisi harus terus hidup agar tercipta konstruksi sosial yang ideal.
Sejenak mundur ke belakang, pada era Dinasti Abbasiyah di abad pertengahan sejatinya kelahiran ilmu tasawuf atau apa yang kita kenal dengan ilmu agama selalu berdampingan dengan ilmu-ilmu eksakta atau sains. Para pakar saat itu pun tidak membuat sekat antar keduanya, sehingga tercipta iklim intelektual dan spiritual yang harmonis. Pada saat itulah Islam mencapai puncak kejayaannya.
Dalam pendekatan tasawuf akhlak ala Musthafa Zahri, ada beberapa anak tangga yang harus dilewati sebelum mencapai puncak tertinggi makrifatullah, yaitu takhalli, tahalli, dan tajalli. Melalui pendekatan humanisme Hasan Hanafi, pemaknaan hierarki dalam tasawuf ini bukan sekedar penyucian batin secara gradual melainkan indikator kesalehan sosial. Puncak makrifatullah berarti "membumikan segala peran Allah" dalam kapasitas seorang manusia.
Ketika awal menapak dunia tasawuf, seseorang harus mengosongkan diri (takhalli) dari segala bentuk perbuatan dosa. Konsepsi ini sering disebut juga dengan taubat atau inabah. Pada fase ini, selain berusaha semaksimal mungkin menjauhi dosa individual dan mahda, seorang sufi juga harus membersihkan dari dosa-dosa sosial. Mulai meninggalkan gibah, suuzan, sampai tindak provokatif di media sosial. Takhalli tidak melulu soal giat shalat, puasa, dan zikir tapi juga dengan segala upaya membentuk struktur sosial yang bebas dari keburukan.
Pada taraf selanjutnya, tahalli dan tajalli seorang sufi bukan hanya menghiasi diri dengan segala sifat mulia untuk kemudian menjadi wujud persemayaman tuhan dalam dirinya. Dalam kacamata humanisme, setelah kepercayaan sosial terbentuk maka perlu adanya peningkatan kualitas masyarakat baik secara akademik, ekonomi, politik, maupun elemen lainnya.
Di sinilah rekonstruksi pemaknaan tahalli dari dimensi spiritual teosentris menuju sosial antroposentris. Ini berarti para sufi harus benar-benar terjun menangani pelbagai problematika suatu masyarakat sebagai bentuk menghiasi dirinya dan orang sekitar.
Di puncak tajalli, segenap dosa sudah ditinggalkan dan seluruh perbuatan baik telah dilakukan, maka saatnya penampakan wujud tuhan (nur ghaib) dalam dirinya. Alih-alih kembali pada aspek mistis dan irasional, persepsi tajalli adalah kesempurnaan konstruksi sosial dengan nilai-nilai keislaman. Tidak ada lagi korupsi di pemerintahan, tak satupun penduduk buta huruf, angka kemiskinan terus menurun, sampai kehidupan antar umat beragama penuh sinergitas dan toleransi. Inilah esensi dari penyucian jiwa yang diimplementasikan dalam dimensi sosial.
Pembacaan tasawuf menggunakan paradigma humanisme ini memang tidak lepas dari kontroversi. Secara fitrah perbedaan pendapat itu pasti terjadi. Konsepsi Hasan Hanafi secara panjang lebar dibantah oleh Imam Besar Al-Azhar Syaikh Ahmad Thayyib dalam Munaqasyah wa Rudud-nya. Walaupun progresifitas pemikiran Hasan Hanafi tidak diragukan, tapi beberapa hal dalam teologinya dikritik keras oleh Ahmad Thayyib. Perdebatan ini mengindikasikan hidupnya budaya dialektika dalam agama. Interpretasi tasawuf harus terus dielaborasi agar senantiasa relevan dengan perkembangan zaman.
Kendati demikian, apa yang ditawarkan di atas adalah bentuk respon atas realitas masyarakat modern yang cenderung pragmatis dan materialis. Apabila agama tidak dapat mengisi ruang kosong di masyarakat, maka kebingungan dan kesesatan itu akan makin subur tumbuh di sana. Sebagaimana setiap era memiliki kecenderungan sendiri atas pemahamannya atas term dalam Islam, tentu era modern berbeda dengan era primordial, klasik, maupun pertengahan.
Revitalisasi tasawuf merupakan kegiatan implementasi esensi tasawuf pada kehidupan masyarakat. Tasawuf tidak lagi hidup dalam dimensi teori yang ekslusif, melainkan telah membumi bersama keseharian umat Islam. Dengan pembacaan humanisme ini, harapannya tasawuf benar-benar menjadi solusi aplikatif atas problematika yang ada di era modern yang terintegrasi-interkoneksi dengan sains dan perangkat sosial yang berkembang di masyarakat modern ini.
***
*) Oleh: Krisna Murti, Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |