
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Laju investasi Indonesia pada 2024 besar kemungkinan masih diliputi kondisi penuh ketidakpastian tinggi akibat gejolak politik yang sulit ditebak menjelang pemilihan umum (pemilu) dalam negeri dan masih berlanjutnya akibat dari kebijakan pengetatan moneter Amerika Serikat. Kekhawatiran terjadinya kondisi perlambatan pertumbuhan ekonomi dan pelemahan investasi ini patut diwaspadai mengingat komponen tersebut menyumbangkan dampak multi efek yang sangat signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Ketidakpastian ekonomi yang terjadi pada 2024 diperkirakan dapat saja terjadi pada segala investasi, baik langsung (direct investment) sektor riil maupun investasi portofolio pada pasar modal. Nasib pertumbuhan ekonomi 2024 masih akan dihadapi ketidakpastian tinggi, dalam konteks ini faktor utamanya adalah soal kemungkinan resiko politik yang dapat muncul ditengah perhelatan Pemilu yang bisa melambatkan laju investasi.
Advertisement
Dalam proyeksi sederhana, kondisi ekonomi tahun depan hanya akan tumbuh di kisaran 4,8 persen sampai 5,0 persen secara tahunan (year on year). Pada posisi inilah, ekonomi Indonesia diprediksi akan melambat. Sekalipun saat pemilu ada alokasi belanja konsumsi pemilu, tapi investasi ini justru kemungkinan tertahan seiring arus fragmentasi politik nasional yang sulit ditebak dan kemana arah politik mayoritas masyarakat Indonesia.
Proyeksi Kebutuhan
Dinamisnya pergulatan politik membuat pasar sulit menghitung siapa yang menjadi pemenang pada kontestasi pemilu tahun depan. Sebab, pasar saham takut pada perubahan ekstrem dan ketidakpastian. Kalau ada yang berubah secara tiba-tiba, maka pengusaha akan menunggu lebih lama dan investasi akan menurun.
Pada Pemilu 2019, pasar saham sempat anjlok signifikan karena Prabowo yang saat itu menjadi kandidat calon presiden tidak bisa menerima kekalahannya dari Jokowi. Saat itu, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung tinggi dan stabil sepanjang kampanye pemilu sampai penyelenggaraan pemilu. Namun, ketidakpastian saat pengumuman hasil pemilu, IHSG merosot tajam.
Risiko kedua terhadap pasar investasi portofolio adalah arah kebijakan moneter Bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed). Perkembangan terbaru, inflasi tahunan AS sudah menurun dari 3,7 persen pada September 2023 menjadi 3,2 persen pada Oktober 2023, lebih rendah dari ekspektasi pasar, (The Fed, 2023).
Akan tetapi inflasi yang turun itu belum tentu diikuti dengan penurunan suku bunga acuan. Pasar memprediksi, meski inflasi mulai turun, kenaikan suku bunga acuan AS akan terus berlanjut setidaknya sampai semester I tahun 2024 dan baru melandai pada semester II tahun 2024 ketika tingkat inflasi AS sudah menurun mendekati 2 persen sesuai target The Fed.
Tren inflasi yang masih tinggi pada negara negara maju akan diikuti dengan respon kebijakan kenaikan suku bunga. Saat suku bunga tinggi, penyaluran kredit akan menurun. Saat itu terjadi laju pertumbuhan investasi pun akan turun. Oleh karena itu jika melihat pola dari tren ekonomi global memang pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan akan merosot dan gejala ini akan berdampak pada perekonomian nasional Sepanjang Januari sampai September 2023, realisasi investasi masih terjaga meski ditengah tahun politik.
Selama periode ini realisasi investasi sudah mencapai 75,2 persen dari target atau sebesar Rp1.053,1 triliun. Laju investasi masih mampu tumbuh 18 persen secara tahunan. Indikasi semacam inilah yang menjadi pokok pertimbangan penting bagi publik saat menghadapi kontestasi pemilu.
Pilar Tantangan
Secara optimis, kontribusi Pemilu akan bisa menambal dampak pelemahan ekonomi di Indonesia. Bahkan secara sederhana banyak analis ekonomi memperkirakan Pemilu 2024 akan berkontribusi sebesar 0,2% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) 2023 dan 0,27% untuk PDB 2024. Karena diprediksi PDB 2023 sekitar 0,2% dan juga 2024 sebesar 0,27%.
Ada kontribusi besar terhadap PDB itu datang dari belanja pemerintah untuk urusan Pemilu. Untuk 2023 saja pemerintah sudah menganggarkan sebesar Rp 11,52 triliun dan untuk 2024 jumlahnya bertambah menjadi Rp 15,87 triliun. Dampak langsung telah menambah ke pertumbuhan konsumsi pemerintah dalam komponen PDB.
Pada rasional ini, menjaga kondisi iklim politik untuk dorongan kestabilan ekonomi jelas menjadi kunci utama pembentukan keberlanjutan investasi di Indonesia. Setidaknya dasar pemikiran ini dapat kita tautkan pada eksplanasi sejarah Indonesia yang terjadi pada masa Soeharto. Era besar pembangunan dan investasi Indonesia mulai berkembang saat Soeharto secara formal menjalankan tugasnya pada Maret 1968.
Pemerintahan Soeharto, melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), sukses membangkitkan investasi ekonomi yang telah terpuruk. Masalah-masalah ekonomi yang diwariskan pemerintahan Soekarno, seperti tingkat inflasi yang tinggi, defisit anggaran, kemiskinan, perlambatan pertumbuhan ekonomi, dan hutang luar negeri yang besar, segera diberikan perhatian.
Jika selama era Soekarno Indonesia secara politis dekat dengan Blok Timur. Oleh karenanya menutup pintu terhadap kerjasama Barat di era Soeharto, Indonesia terdesak dengan situasi untuk membuka kembali hubungannya dengan negara-negara Barat serta berbagai organisasi multilateral seperti halnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan the International Monetary Fund (IMF) untuk mendapatkan bantuan merestrukturisasi perekonomiannya yang lumpuh, terutama dalam memecahkan masalah hutang luar negeri.
Pada 1974 saat Repelita pertama berakhir, Indonesia berhasil mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, rata-rata per tahun terjadi peningkatan sebesar 8.6 persen selama periode 1968 sampai 1974. Kecepatan pertumbuhan ekonomi ini sangatlah tinggi bila dibandingkan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 2 persen selama periode 1960-1965. Tingkat inflasi, yang mencapai puncaknya pada 635.4 persen pada 1966, dapat dikurangi sampai tingkat rata-rata per tahun sebesar 28 persen, (Statistical Yearbook of Indonesia, 1999).
Yang paling mencolok dilakukan oleh pemerintah Soeharto adalah saat mengundang negara-negara Barat untuk berinvestasi. Satu kebijakan yang ditempuh adalah meluncurkan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU No. 1/1967 PMA), yang sukses membiarkan investor asing menggunakan sumber-sumber daya dan teknologi dari luar Indonesia dengan memperbolehkan perusahaan-perusahaan untuk menyewa tenaga kerja asing, dan mengizinkan investor asing untuk dapat mentransfer keuntungan ke negara asal mereka setiap saat. Kebijakan ini terbukti cukup sukses.
Hal ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya nilai investasi asing yang disetujui. Dari 192,39 juta pada 1967 ke 331,60 juta dollar AS pada 1968, peningkatan sebesar 72 persen dalam waktu setahun.
Tahun terakhir Repelita pertama, 1974, nilai investasi asing yang disetujui saat itu adalah sebesar 1,052 milyar dollar AS. Selama periode recovery 1967-1974, nilai kumulatif investasi asing yang disetujui mencapai level yang cukup tinggi sebesar 3,945 milyar dollar, lebih dari 20 kali lipat level investasi asing yang disetujui pada 1967.
Jika masa Soekarno, Indonesia hanya mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 3,2 persen per tahun, Indonesia di jaman Orde Baru mampu menggapai 6,7 persen selama periode 1968-1996. Sebagai perbandingan terhadap nilai GDP Indonesia pada 1969 yang sebesar 7,097 milyar dollar, Indonesia pada 1996 memiliki GDP senilai 227,37 milyar dollar.
Melihat data diatas tak salah jika setiap peristiwa politik yang terjadi dalam sebuah negara sangat serius mempengaruhi kondisi stabilitas ekonomi negara secara keseluruhan. Pada sisi ini para investor meminta jaminan keamanan dan pengaruh kepercayaan. Proses pemilu kiranya memang menyedot energi yang sangat signifikan. Peranannya sangat krusial untuk menentukan kebijakan bangsa kedepan yang mendorong respon pasar seiring dengan fluktuasi indikator ekonomi selama kontestasi pemilu.
Dalam rasional inilah, kita bersama sama harus mau berkomitmen kuat menjaga soliditas ekonomi demi mendukung kestabilan pasar modal dan juga iklim investasi nasional secara utuh melalui kesadaran dalam menjaga kondusifitas pemilu di Indonesia agar berlangsung lancar dan damai. Jika kondusifitas pemilu berhasil dilaksanakan seluruh masyarakat maka linearitas perkembangan investasi juga akan berdampak secara positif. Semoga saja melalui cara ini kendali investasi dan kestabilan ekonomi akan tetap terjaga.
***
*) Oleh: Haris Zaky Mubarak, MA, Analis dan Ketua Riset Jaringan Studi Indonesia dan Mahasiswa Doktoral Universitas Indonesia.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |