
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Fenomena menarik dalam dunia kerja belakangan ini adalah: pekerja tidak selalu harus hadir di lokasi kerja dan pada jam kerja tertentu. Ini tidak hanya terjadi di swasta, bahkan juga di instansi pemerintahan.
Ada yang berpendapat ini merupakan dampak pandemi COVID-19. Seperti diketahui, saat pandemi diberlakukan work from home (WFH), baik pekerja swasta maupun aparat sipil negara (ASN). Tujuannya, untuk mengurangi penyebaran pandemi dengan pembatasan pertemuan antarorang.
Advertisement
Pasca pandemi, ternyata WFH dinilai baik untuk diteruskan. Selain dinilai tidak membawa dampak negatif terhadap kinerja, sebaliknya ada manfaat positif. Di Indonesia misalnya, manfaat yang dirasakan adalah berkurangnya kepadatan lalu lintas akibat mobilitas pekerja berkurang. Dampak lebih lanjut: polusi udara menurun.
Dari situlah, muncul kebijakan tetap memberlakukan WFH bagi pekerja. Baik di instansi pemerintahan, maupun swasta. Pemerintah bahkan memberlakukan ketentuan WFH 50 persen bagi ASN per Agustus 2023 lalu. Meski, sebatas untuk ASN di Jabodetabek.
Dalam perkembangannya, WFH pun lantas menjadi work from anywhere (WFA) atau bisa bekerja di mana saja. Tidak selalu harus di kantor, tidak juga harus di rumah. Yang diutamakan adalah: tugas dan kewajiban pekerja tetap terlaksana dan tercapai sesuai target. Pemanfaatan teknologi informasi dan digitalisasi menjadi penunjang utama kinerja pekerja maupun instansi/perusahaan tetap bisa dioptimalkan meski WFA. Perkembangan teknologi memungkinkan bertemu atau rapat, pemberian persetujuan, akad pernjanjian maupun transaksi bisa dilakukan secara online.
Free Working Arrangement (FWA)
WFA dinilai merupakan bagian atau salah satu wujud konsep Flexible Working Arrangement (FWA). Sesuai sebutannya, konsep WFA memungkinkan pekerja untuk fleksibel menentukan waktu dan lokasi bekerja, bahkan juga alokasi beban kerjanya.
Menariknya, konsep FWA sudah ada sebelum pandemi COVID-19. Di Amerika Serikat bahkan sudah diterapkan sejak tahun 1970-an. Di Indonesia, beberapa perusahaan seperti PT. HM Sampoerna, Bank BTPN sudah menerapkan konsep FWA sebelum pandemi Bahkan, instansi seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Pemeriksa Keuangan diberitakan sudah memberlakukan FWA pada Desember 2022 lalu.
Sebagaimana dimuat di laman milik Badan Kepegawaian Negara (BKN), yaitu bkn.go.id,, salah satu rujukan FWA dikaitkan dengan Sustainable Development Goals (SDG) 2030. SDG seperti diketahui adalah target pembangunan internasional yang disepakati antarnegara. Dalam salah satu diskusi tentang SDG 2030, dibahas tentang FWA yang disebut sebagai upaya meningkatkan keseimbangan kehidupan pekerja. Ini menyesuaikan dengan tujuan SDG yang antara lain adalah ..pembangunan yang menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, ..serta menjamin keadilan dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Indonesia sebagai negara yang juga terikat dengan pemenuhan target SDG 2030 mengadopsi konsep FWA itu. Bahkan juga ditindaklanjuti dengan penerbitan peraturan sebagai payung hukum. Yaitu, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 21 Tahun 2023 Tentang Hari Kerja dan Jam Kerja Instansi Pemerintah dan Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam Pasal 8 Perpres yang dirilis pada April 2023 itu, disebutkan bahwa Pegawai ASN dapat melaksanakan tugas kedinasan secara fleksibel (ayat 1). Lalu pada ayat 4 disebutkan Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugaskedinasan Pegawai ASN secara fleksibel, termasuk kriteria jenis pekerjaan diatur dengan Peraturan Menteri.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN/RB) selaku menteri terkait, sudah menerbitkan peraturan baru. Yaitu, Permen PAN/RB Nomor 6 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Kinerja Pegawai Aparatur Sipil Negara. Sudah ada beberapa perubahan dalam Permen tersebut terkait upaya meningkatkan kinerja ASN. Namun, belum mengait langsung dengan konsep FWA, khususnya lagi Perpres Nomor 21/2023.
New Public Service (NPS)
Di sisi lain, tata kelola pemerintahan atau birokrasi atau lebih luas lagi administrasi publik memang terus mengalami pergeseran fungsi dan peran. Sebagaimana diketahui, administrasi publik atau awalnya disebut administrasi negara, awalnya dipahami sebagai sistem yang diciptakan pemerintah/pemegang kebijakan politik untuk mengatur masyarakat, bergeser menuju fungsi untuk melayani masyarakat.
Dalam ilmu administrasi, pergeseran ini ditunjukkan dengan istilah dari old public adminstration (menonjol nuansa kekuasan dengan sifat mengatur/memerintah), menuju ke new public service (fungsi melayani masyarakat).
Ada tujuh prinsip NPS yang awalnya dikenalkan Janet V. Denhardt dan R.B. Denhardt dalam buku The New Public Service: Serving Not Steering (2003). Prinsip utama NPS seperti judul buku tersebut yaitu, bahwa pemerintah selaku pelaksana administrasi publik tidak lagi seharusnya mengatur, tetapi sebatas melayani. Di Indonesia, pakar administrasi Prof. Dr. Warsito Utomo mendefinisikan pergeseran fungsi administrasi lebih tajam lagi. Dari awalnya fungsi untuk mengatur masyarakat (administration of public), bergeser untuk melayani masyarakat (administration for public), menuju trend baru administrasi yang diatur dan diselenggarakan oleh masyarakat sendiri (administration by public).
NPS bisa dibilang adalah pengembangan dari konsep Reinventing Government dari David Osborne dan Ted Gaebler. Ada sepuluh prinsip Reinventing Government yang juga diterjemahkan sebagai ’’mewirausahakan birokrasi’’ itu. Antara lain, birokasi harus memberdayakan masyarakat agar mampu mememenuhi kebutuhan administrasi mereka sendiri. Selain itu, target birokrasi harus mengutamakan hasil dan bukan proses/input.
Pemerintah sendiri sudah menyadari perlunya terus melakukan perbaikan dalam upaya meningkatkan kinerja birokrasi. Antara lain, ditunjukkan oleh sebuah kajian yang dilakukan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia. Kajian LAN tahun 2020 itu menyimpulkan, bahwa pelaksanaan reformasi birokrasi belum berjalan sebagaimana diharapkan. Antara lain, dinilai terlalu berorientasi ke dalam (baca kepentingan pemerintah), dibandingkan untuk masyarakat.
LAN pun merekomendasikan perubahan paradigma dalam reformasi birokrasi. Antara lain dengan meningkatkan peran stake holder dengan ditempatkan sebagai sentral proses perubahan melalui pelibatan masyarakat mulai dari proses perencanaan dan penyusunan program hingga pelaksanaan administrasi negara. Ini artinya, sejalan dengan konsep NPS dan konsep Reinventing Government. Juga, sejalan dengan pendapat Prof. Dr. Warsito, bahwa masyarakat sebagai subyek atau pelaku utama administrasi itu sendiri.
Strategi Peningkatan Kinerja
Konsep FWA dan NPS membawa implikasi harus ada perubahan dalam manajemen kinerja. Khususnya, manajemen kinerja aparatur sipil negara (ASN). Baik yang menyangkut prinsip-prinsip manajemen kinerja, terutama sasaran dan parameter dalam mengukur kinerja.
Merujuk rekomendasi LAN bahwa kinerja birokrasi harus dikaitkan langsung dengan kebutuhan stakeholders (terutama masyarakat) atau dengan dampak (outcome) pembangunan, maka sasaran program tidak boleh lagi sekadar pemenuhan aturan atau dokumen. Tetapi, harus diubah menjadi : mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik dan berintegritas.
Demikian pula untuk ukuran keberhasilan, tidak boleh lagi sekadar berupa kelengkapan dokumen, namun harus lebih kompleks. Yaitu, kemampuan memberikan nilai tambah terhadap organisasi, stakeholders dan capaian sasaran pembangunan. Dengan kata lain, harus dilakukan penetapan kembali tujuan atau sasaran kinerja organisasi ASN di level manapun. Termasuk, parameter atau ukuran keberhasilannya.
Permen PAN/RB Nomor 6 Tahun 2022 memang sudah mengatur bahwa hasil kerja terdiri dari output, outcome dan layanan. Namun, belum secara jelas dikaitkan dengan sasaran pembangunan dan kebutuhan masyarakat setempat. Demikian pula untuk penetapan ekspektasi kinerja atau sasaran, juga belum memenuhi rekomendasi LAN maupun prinsip NPS untuk lebih banyak lagi melibatkan peran masyarakat. Sebagai catatan, pelibatan peran dan ekspektasi publik dapat dilakukan melalui kotak saran atau metode lain.
Sementara, terkait konsep FWA, pemerintah sepertinya sudah menyiapkan sejak lama untuk penerapannya. Ini bisa dibaca dari poin-poin perubahan dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang penilaian kinerja pegawai negeri sipil. Dalam PP Nomor 46 Tahun 2011 masih ada poin disiplin untuk aspek perilaku kinerja. PP pengganti, yaitu PP Nomor 30 Tahun 2019 tidak lagi mencantumkan poin disiplin.
Yang diperlukan kini adalah penajaman aturan soal ukuran kinerja ASN terkait dengan proses kerja mengacu konsep FWA. Sekaligus, sebagai tindak lanjut dari Perpres Nomor 21 Tahun 2023, yang memang memerlukan penetapan peraturan teknis lebih lanjut untuk pelaksanaaannya.
Untuk itu, sekali lagi, diperlukan terobosan berupa penerbitan aturan pelaksana untuk mendukung peningkatan kinerja pada era FWA dan NPS. Regulasi itu akan melengkapi pemanfaatan teknologi, dan selanjutnya keduanya akan menjadi strategi utama untuk meningkatkan kinerja, seiring dengan perkembangan konsep dan fungsi administasi, baik bagi perusahaan swasta, dan lebih khusus lagi bagi birokrasi.
***
*) Oleh: Dr. Ir. Bambang Nugroho, MT., M.AP. adalah seorang ASN, dosen dan juga seorang investor .
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Rochmat Shobirin |