Kopi TIMES

Stereotipe Pendidikan Feminis 

Senin, 04 Desember 2023 - 10:25 | 47.36k
Izcha Pricispa, Mahasiswa Sosiologi Universitas Bangka Belitung.
Izcha Pricispa, Mahasiswa Sosiologi Universitas Bangka Belitung.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BANGKA BELITUNG – Hingga saat ini tidak sedikit kaum perempuan yang masih aktif menggaungkan perjuangan atas persamaan hak dengan laki-laki atau biasa kita kenal dengan istilah kesetaraan gender. Menurut Oakley (1972) dalam Sex, Gender, and Society, Gender itu diartikan sebagai suatu perbedaan yang bukan berdasarkan kodrat tuhan dan biologis. Sebutan untuk perjuangan perempuan sendiri dikenal dengan istilah feminisme. 

Feminisme merupakan suatu bentuk perlawanan perempuan atas ketidakadilan yang dimana laki-laki dianggap sebagai superior sedangkan perempuan dianggap sebagai inferior. Pada dasarnya perempuan mempunyai peran dan hak yang sama dengan laki-laki sehingga pada akhirnya akan menciptakan kebabasan perempuan untuk setara dengan laki-laki. 

Advertisement

Feminisme sosialis merupakan perjuangan untuk menghapus sebuah sistem kepemilikan. Selaras dengan ide Marx yaitu masyarakat harus setara tanpa adanya kelas, pembedaan gender atau lain sebagainya. 

Hemat penulis, pendidikan sejatinya harus didapatkan oleh semua orang tanpa memandang status gender ataupun kelas. Meskipun negara telah menjamin hak yang sama atas pendidikan baik itu untuk laki-laki maupun perempuan, realitas yang ada ternyata masih banyak stereotype negatif masyarakat terkait dengan "setinggi apapun pendidikan perempuan maka ia tetap akan turun ke dapur" hal inilah yang kemudian menghambat perempuan untuk berkarier. 

Dalam hal ini sudah terlihat sangat jelas bahwa ada pembeda antara laki-laki dan perempuan. Perempuan seolah-olah tidak mempunyai ruang atau bahkan hak yang sama dengan laki-laki dalam konteks Pendidikan. Stereotipe masyarakat yang seperti ini juga seakan-akan menjadi sebuah kodrat bagi seorang perempuan sehingga menyebabkan terbelenggunya kebebasan serta hak-hak bagi perempuan, padahal kodrat perempuan hanya 3 diantaranya: hamil, melahirkan dan menyusui. 

Feminisme sebagai Tonggak Kesetaraan Gender

Gerakan feminisme sebagai tonggak kesetaraan gender bertujuan untuk mendekonstruksi stereotipe negatif terhadap pendidikan perempuan. Negara juga sudah menjamin kesetaraan hak dalam pendidikan baik itu untuk laki-laki maupun perempuan seperti yang telah tercantum dalam UUD Negara Republik Indonesia Rumusan Pasal 31 Ayat (1) yang menyatakan bahwa “setiap warga negara berhak mendapat Pendidikan” Tidak hanya itu, hak perempuan dalam memperoleh pendidikan juga dimuat dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 terkait dengan Hak Asasi Manusia pada pasal 48 menyatakan bahwa “Wanita berhak memperoleh Pendidikan dan pengajaran dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan”. Oleh karena itu, perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama dalam mendapatkan akses pendidikan. 

Selanjutnya, stereotipe negatif terhadap perempuan secara gamblang menunjukkan superioritas laki-laki kepada perempuan dalam masyarakat yang bersumber pada ideologi patriarki. Stereotipe negatif masyarakat inilah yang kemudian harus didekonstruksi. Gerakan Feminisme merupakan tonggak dalam upaya untuk meruntuhkan sistem patriaki yang dianggap mengganggu perempuan sehingga dapat memicu konflik antar kelas gender. 

Diskrimniasi perempuan dalam sistem pendidikan tentu saja berpotensi untuk mengancam keseteraan gender serta menyebabkan kesenjangan hak asasi bagi perempuan dalam bidang pendidikan.
Faktor ekonomi juga menjadi salah satu penguat stereotype negatif masyarakat terkait dengan "perempuan tidak perlu sekolah tinggi". Oleh karena itu, faktor ekonomi dapat menjadi hambatan bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. 

Kemudian terdapat pula sistem patriarki, norma-norma dan sosial budaya yang membatasi kesempatan perempuan dalam pendidikan. Kedua hal ini perlu diubah agar terciptanya kesetaraan akses pendidikan bagi perempuan. 

Kapitalisme dan patriarki saling terkait dan saling memperkuat, sehingga perjuangan untuk kesetaraan gender tidak dapat di pisahkan dari kesetaraan ekonomi dan sosial. Feminisme sosialis menekankan pentingnya memberikan akses pendidikan yang setara bagi laki-laki dan perempuan, serta memerangi ketidakadilan ekonomi yang memengaruhi akses pendidikan perempuan. Feminisme sosialis juga menekankan pentingnya memerangi ketidaksetaraan ekonomi yang pada akhirnya memengaruhi akses pendidikan bagi perempuan. 

***

*) Oleh: Izcha Pricispa, Mahasiswa Sosiologi Universitas Bangka Belitung.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES