Kopi TIMES

Menggugat Sikap Barbar Gus Yahya Terhadap Gus Imin

Selasa, 05 Desember 2023 - 12:20 | 46.44k
M. Ramly Syahir, Lc Mahasiswa Utusan PBNU Ke Irak Tahun 1992 dan Kandidat Doktor di IAIN Kediri.
M. Ramly Syahir, Lc Mahasiswa Utusan PBNU Ke Irak Tahun 1992 dan Kandidat Doktor di IAIN Kediri.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, KEDIRI – Menyudahi perseteruan antara Gus Yahya Cholil Staquf (Ketum PBNU) dengan Gus Abdul Muhaimin Iskandar (Ketum PKB) tidak semudah membalikkan telapak tangan. Penyebabnya adalah karena keduanya sama-sama memiliki jabatan bergengsi di dua organisasi yang berbeda. Hanya saja jabatan Gus Yahya dipandang lebih prestisius dibanding jabatan Gus Imin, karena Gus Yahya menahkodai 150 juta anggota NU. 

Perseteruan keduanya mengingatkan pada perseteruan abadi antara Tom and Jerry. Di film kartun legendaris itu, terlihat Tom si kucing berwatak kejam yang selalu mengintai gerak-gerik Jerry si tikus cerdik. 

Advertisement

Ada dua pesan moral dari film kartun yang digarap kali pertama di tahun 1940 tersebut. Pertama, adanya perseteruan  abadi antara sosok yang superior yaitu Tom melawan si Jerry tikus kecil yang tidak sepadan dengan Tom. Kedua, Bagi yang superior, akan dengan mudah melakukan tindakan barbarisme ala Tom kepada Jerry. 

Tentang barbarisme ini mengingatkan kepada teori sosiologi kekuasaan yang disampaikan oleh Karl Mark. Menurut sosiolog berkebangsaan Jerman ini, kekuasaan akan menjadi sumber konflik yang ditandai oleh berbagai perbedaan kepentingan yang pada akhirnya melahirkan penindasan dari pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah.

Dalam konflik antara kedua Gus yang pernah dibesarkan oleh Gus Dur ini, terlihat jelas Gus Yahya berwatak barbar kepada Gus Imin. Hal tersebut bisa terlihat dari; Pertama, Gus Yahya tidak mengakomodir orang-orang Gus Imin dan kader PKB lain di kepengurusan PBNU. Gus Yahya justru lebih memilih Mardani Maming, kader PDIP sebagai bendahara Umum (Bendum) PBNU dan Nusron Wahid (Kader Golkar). 

Kedua, Gus Yahya begitu reaktif dan garang ketika melihat Gus Imin atau pun pengurus PKB lain yang coba-coba mendekati pengurus NU di semua tingkatannya. Ancaman kepada tiga  PCNU (Bondowoso, Banyuwangi dan Sidoarjo) menjadi bukti jelas betapa barbarnya Gus Yahya kepada Gus Imin.

Tidak cukup di situ, saat Gus Imin ditunjuk sebagai calon wakil presiden (cawapres) mendampingi Anies Rasyid Baswedan, Gus Yahya mereaksi begitu cepat menggelar jumpa pers dan menegaskan bahwa “tidak ada calon atas nama NU.” Penegasan sinis tersebut semakin meneguhkan bahwa apa yang disampaikan oleh Karl Marx bahwa kekuasaan selalu melahirkan penindasan dari yang kuat kepada yang lemah menjadi nyata adanya. 

Sebagai pihak tertindas, Gus Imin menyikapi serangan Gus Yahya tersebut dengan sikap santai dan tidak terlalu reaktif. Gus Imin hanya menjawab pertanyaan jika ditanya tanpa menggelar jumpa pers sebagaimana yang dilakukan oleh Gus Yahya. 

Perseteruan kedua kader NU tersebut akan lebih menarik jika ditarik ke dalam diskursus besar yaitu tentang korelasi PBNU jika tanpa PKB, atau sebaliknya. Jika pertanyaan yang diangkat adalah seberapa besar kerugian PKB tanpa PBNU ? Pertanyaan semacam ini bisa dijawab bahwa PKB tetap terimbas jika tanpa dukungan PBNU. Kerugiannya hanya terletak pada berkurangnya dukungan suara PKB dari warga NU. Namun kerugian tersebut tidak sebesar yang akan diterima oleh NU jika tidak didukung oleh PKB sebagai sayap politiknya. Mengapa demikian? 

Mari kita buka sejarah. Ketika NU masih bergabung dengan Partai Masyumi, posisi NU tidak memiliki bargaining power dengan pemerintah di parlemen. Kondisi ini membuat NU seperti terkebiri. Karena itulah pada perkembangan berikutnya, beberapa tokoh NU menyerukan agar NU berubah menjadi partai politik. Keinginan tersebut baru terealisir pada muktamar ke-19 di Palembang tahun 1955 yang memutuskan NU menjadi partai politik. Ketika NU menjadi partai politik yang mandiri, NU memiliki nilai tawar dalam mengawal kebijakan pemerintah yang di antaranya adalah NU bersikap tegas menolak gerakan komunisme bersama ABRI. 

Selama 18 tahun, NU merasakan efektifitas politik kebangsaan yang dimainkannya melalui kendaraan partai NU, walaupun sempat terjadi tarik-menarik keberadaan NU di ranah politik praktis. Konflik tersebut bermula dari sikap KH. Idham Chalid yang dinilai kurang aktif di tubuh organisasi NU karena terlalu sibuk mengurus politik praktis. Saat itulah beliau dituntut mundur dari ketua PBNU dan menyetujui pengunduran diri pada 6 Mei 1982, walaupun seminggu berikutnya beliau menarik kembali pengunduran dirinya karena didesak oleh kubu Cipete seperti KH. Anwar Musaddad dan KH. Ali Yafi. Keputusan tersebut membuat kecewa kubu Situbondo, dimana pada muktamar 1984, diputuskan NU kembali ke Khittah atas upaya dari KH. As’ad Syamsul Arifin dan KH. Mahrus Ali.

Keberadaan PKB bagi NU sejatinya dijadikan kendaraan politik untuk memainkan politik kebangsaannya terutama dalam menangkal kemunculan ideologi yang mengancam eksistensi kehidupan berbangsa dan bernegara, wabil khusus mengawal akidah Ahlussunnah wal jama’ah (aswaja). Di sinilah PBNU sejatinya tidak perlu memutus hubungan dengan PKB. Jika-pun keberadaan PKB dirasa kurang optimal, perlu dibangun iklim dialogis untuk memecah kebuntuan. PBNU juga tidak perlu membela mati-matian Yeni Wahid yang tengah berseteru dengan Gus Imin.

Gus Imin sendiri harus membuka diri untuk mengakomodir apa yang menjadi keinginan kubu Yeni Wahid yang tentunya dalam batas-batas kesepahaman. Terasa berat memang bagi kubu Gus Imin saat kubu Yeni Wahid kononnya menuntut persyaratan yang memberatkan kubu Gus Imin. Walhasil, Gus Yahya harus berhenti membenci Gus Imin dan memberikan ruang gerak bagi PKB sebagai sayap politik NU. Gus Yahya sejatinya lebih menjadi katalisator dalam setiap konflik di antara kader-kader handal NU. 

Jika Gus Yahya terus membangun barbarisme terhadap Gus Imin dan kader PKB lainnya, maka jangan berharap ia bisa menahkodai PBNU dua periode. Apalagi santer terdengar di kalangan elit NU dan PKB, bahwa Gus Yahya mendepak kader-kader PKB, namun membuka lapak untuk kader-kader partai selain PKB.

***

*) Oleh: M. Ramly Syahir, Lc Mahasiswa Utusan PBNU Ke Irak Tahun 1992 dan Kandidat Doktor di IAIN Kediri.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES